SETELAH membaca tulisan Said Mursal (Serambi Indonesia, Sabtu 27 Maret 2010) tentang “Negeri Aneh Darussalam”, saya terinspirasi menimpali, mengangkat batang terendam yang berkaitan dengan fenomena tersebut, khususnya tentang pernak-pernik keanehan penerapan syariat Islam di Aceh. “Negeri Aneh Darussalam” ini patut bangga dengan berbagai predikat nomor satu yang pernah, sedang, dan (mungkin) akan disandangnya. Kebanggaan kita atas semua kenomorsatuan itu hanya fatamorgana; kebanggaan tanpa makna, kebanggaan yang semu, kebanggan yang munafik.
Mari kita bongkar sedikit seputar kenomorsatuan kita di ranah syariat Islam. Apa betul nanggroe ini telah menerapkan syariat Islam sebagaimana mestinya (seperti yang dikehendaki Allah Swt). Seperti makan kacang rebus, mari kita lhueh yang besar-besar terlebih dahulu, yaitu tentang perkara korupsi (ceumeucue), tentang perkara politik (peulitek), dan tentang perkara zina (meuinong). Perkara pertama berkaitan dengan harta, perkara kedua berkaitan dengan tahta, dan perkara ketiga berkaitan dengan wanita. Ketiga perkara inilah, kata Nabi kita, yang sangat potensial membuat manusia celaka dunia akhirat. Terkait dengan tiga hal tersebut, dalam ungkapan masyarakat Aceh terdapat beberapa adagium, yaitu bak peng gadoh janggot, bak bret gadoh akai; bak peng ijo mataih.
Dalam hal makan (dan cari makan atau cari ‘ap), manusia beragama Islam berprinsip makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan; makan sebelum lapar, berhenti makan sebelum kenyang. Terjadinya korupsi dalam berbagai bentuk, pada sumua tataran, biangnya adalah karena orang Islam membalikkan prinsip hidup di atas; hidup untuk makan; makan saat masih kenyang. Namun, orang Aceh berprinsip sebaliknya. Katanya, meukeusud mangat tapajoh bu, tatheuen deuek dile. Bahkan, berkaitan dengan makan-memakan, orang Aceh punya prinsip yang lebih radikal, yaitu peunajoh timphan, piasan rapai; seumayang keudua, nyang keuphon khauri. Jika prinsip-prinsip seperti ini yang dianut, manusia tersebut akan celaka, gila. Bu sikai ie sikai, ngob jantong gadoh akai.
Ketika manusia manusia sudah gadoh akai ‘hilang akal’ (ka mabok), terjadilah pelanggaran-pelanggaran syariat secara beruntun. Politik kotor yang arogan demi meraih kekuasaan pun lempang-lempang saja dilakoni. Jika sudah demikian, ujung-ujungnya perbuatan keji (zina) pun menjadi tren bagi mereka, seperti yang disinyalir Mursal itu. Arab punya moto; “waktu adalah pedang”, Inggris; “waktu adalah uang”, Aceh; “na peng na inong, hana peng hana inong”. Ungkapan Aceh tersebut mengindikasikan tabiat negatif bahwa orang berusaha meraup uang sebanyak-banyaknya (bahkan dengan cara-cara yang haram sekalipun) dan menghabiskannya demi inong. Uang rakyat yang sangat bera
rti bagi kaum ‘dua pha’ begitu mudah dihamburkan untuk bersenang-senang para kaum ‘peuet pha’.
Untuk mengantisipasi perilaku jahat seperti itu, leluhur Aceh berpesan, “Kajak sikula hai aneuk mangat bek roh jipeungeuet le gob; kajak beuet hai aneuk mangat bek roh kapeungeuet gob; bu beulele eungkot beucut-cut, donya beuna akhirat beutatuntut. Biang binasa umat adalah perut (nafsu makan; ‘ap) dan kemaluan (nafsu syahwat; birahi); pruet ruhung boh meugantung. Oleh karena itu, kendalikanlah dua hal itu dengan cara sering-seringlah berpuasa. Mari kita bongkar lagi beberapa qanun aneh antara lain, qanun tentang pakain ketat, qanun tentang khalwat, dan qanun tentang meukat. Di Aceh, bagi perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab atau memakai pakaian ketat membalut aurat atau memakai pakaian tipis transparan, jika sewaktu-waktu WH turun ke jalan, sweeping, mereka kena garuk dan dibariskan untuk diberi peringatan atau digelandang ke markas WH, syukur-syukur jika tak ‘dijahili’ di sana. Entah apa sanksi hukum bagi mereka yang telah jelas-jelas melanggar qanun itu. Di sisi lain, para pedagang pakaian ketat atau pakaian minim, lempang-lempang saja menjualnya, bahkan memajangnya pada miniatur-miniatur manusia demi memikat daya tarik pembeli. Fenomena tersebut tidak masalah karena tak ada qanun larang jual, yang ada qanun larang pakai. Semestinya qanun larang jual dulu yang harus diproduksi, bukannya qanun larang pakai. Aneh memang.
Demikian pula tentang qanun khalwat, akan membidik siapa saja yang berdua-duan dengan yang bukan muhrimnya di tempat yang sepi lagi sunyi. Jika tercium WH, pasti cepat dipagap ke markas mereka. Syukur-syukur lagi jika tak ‘digarap’ dan tak sampai ke panggung pencambukan. Di pihak lain, kuku qanun khalwat tak berdaya menggaruk siapa saja yang berduaan, bermesraan, bahkan berpelukan erat dengan yang bukan muhrimnya di tempat yang tidak sepi alias tempat umum. Mengapa tak berdaya menggaruk? Jawabnya, pasalnya pembuat qanun belum melawok ‘menggodok’ qanun itu. Lihat saja setiap hari di jalan-jalan raya, betapa bebasnya seorang inong duduk ngakang meutipek ‘lengket’ di punggung dan punggong agam yang bukan muhrimnya. Coba lihat tingkah polah para keluarga bahagia lagi sejahtera di pasar-pasar swalayan, warung-warung cepat saji, saat sedang waktu salat magrib misalnya, istri-istri sambil ditemani suami-suami, asik memenuhi keranjang belanjaannya. Di blok lain, ada yang sedang menikmati makan-makan bersama keluarga dengan sangat enjoy tanpa ingat sedikit pun kewajiban salat fardu magrib atasnya. Sekali lagi, ungkapan peunajoh timphan, piasan rapai; seumayang keudua, nyang keuphon khauri memang terbukti adanya. Pemilik kantin, cafe, dan toko tak melarang pelanggannya berada di dalam kantin, cafe, dan tokonya meskipun sudah jelas bahwa aturan tutup toko saat waktu salat magrib sudah ada. Ke lokasi-lokasi seperti itu tak pernah terdengar khabar para polisi syariat berekspansi ke sana. Mengapa? Homhai.
Kunci kekuatan dan kejayaan Islam ada pada salat berjemaah. Coba ekspedisi ke seantero Aceh. Berapa banyak dan besar-besarnya masjid. Lalu hitung berapa banyak jemaahnya, khususnya pada waktu-waktu salat fardu. Semangat membangun masjid tak berbanding lurus dengan semangat memakmurkannya, kecuali salat Jumat. Seolah-olah fungsi masjid hanya untuk salat Jumat. Atau seakan-akan salat yang fardu hanya salat Jumat. Seumayang wajéb uroe Jumu’at, seumayang sunat uroe raya, meudo’a watè cirét, meuratép watè geumpa.
Fenomena yang teramati hari ini di negeri syariat Islam ini justru sebaliknya. Orang Islam berjemaah meninggalkan salat fardu. Lihat juga betapa berjubelnya orang berkendaraan yang bukan para musafir di jalan-jalan raya saat sedang waktu magrib yang singkat itu. Akhirnya, kita semua sangat berharap syariat Islam benar-benar tegak secara kaffah di Serambi Mekkah ini. Semua itu bermula dari iktikad tulus ikhlas orang-orang yang dipercayakan mengemban amanat rakyat dan tentunya dukungan dan doa dari berbagai elemen masyarakat. Semoga! [Serambi Indonesia, 24 Juni 2010]
* Azwardi, S.Pd., M.Hum. adalah dosen FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh.
Posting Komentar