Oleh Azwardi, S.Pd., M.Hum.
Ada selentingan isu yang dialamatkan kepada saya; Pak
Azwardi. Isu tersebut semakin santer dan mewacana di antara kita. Seolah-olah apa yang dilakukan Pak Azwardi itu
bertentangan dengan ruh pendidikan/keguruan/pembelajaran sehingga jangan sampai
menjadi inspirasi atau contoh atau model bagi orang lain, lebih-lebih bagi
calon guru. Tak ayal, cara Pak Azwardi itu dirujuk sebagai contoh yang tidak
baik untuk lakon standar tertentu. Apa
yang dilakukan itu adalah sering menginsert menu ceramah di dalam perkuliahan.
Memang, saya bukan pakar yang ahli pendidikan apalagi
guru yang ahli pembelajaran yang lihai megejawantahkan pembelajaran yang
bernuansa PAKEM. Saya hanya bagian dari sebagian kecil alumni Gemasastrin yang “dipercayakan”
mengabdi di almamaternya tuk membackup,
khususnya salah satu guru saya yang jago linguistik, Dr. Abdul Djunaidi, M.S.
(almarhum) yang mungkin hanya berkompetensi pedagogik bernuansa “PAKH’AM” .
Saya tidak mendalami ilmu kependidikan secara khusus di
institusi berbasis kependidikan sebagaimana yang dilakoni sebagian besar
kolega-kolega saya lainnya, kecuali beberapa mata kuliah seperti Dasar-Dasar
Pendidikan, Profesi Keguruan, dan Microteaching/PPL
saat S1. Saya mendalami linguistik (namun, tak sedalam guru saya itu) di
Program Studi Ilmu Sastra Bidang Kajian Utama Linguistik (Fakultas Sastra) Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Gelar akademik saya
disatujeniskan dengan ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya, yaitu humaniora;
Magister Humaniora, disingkat M.Hum.
Tentang pendidikan/keguruan/pembelajaran (secara umum)
saya menyentuhnya secara otodidak; tanpa guru; hanya melalui
referensi-referensi mutakhir yang ditulis oleh ahli-ahli pendidikan/keguruan/pembelajaran.
Dampaknya, antara lain, saya pernah “dipakai” menjadi staf ahli konsultan
pendidikan, peneliti kebijakan pendidikan anak usia dini, (terbaik tingkat
nasional dan menjadi model bagi seluruh Indonesia), peneliti kebijakan
pendidikan daerah dan surveyor Badan Standar Nasional Pendidikan Jakarta (bersama
Pak Mukhlis), pengolah data, asesor, dan fasilitator Pendidikan dan Pelatihan
Profesi Guru sertifikasi guru di Rayon I. Kecuali itu, saya juga pemegang sertifikat
Active Learning in School (ALIS) dan Active Learning in Higher Education (ALIHE), menulis
artikel tentang kependidikan dan keguruan di media massa dan mengelola beberapa
jurnal ilmiah pendidikan.
Salahkah jika saya
menginsert “ceramah” di dalam perkuliahan.
Salahkah jika saya memberi “kuliah tambahan”, antara lain, berupa pencerahan
wawasan, motivasi akademik, pengalaman berkarya, nasihat bersyariat, dsb.
berkaitan dengan konteks perkuliahan? Bukankah pembelajaran itu sebaiknya
dilaksanakan secara terintegrasi? Bukankah memberi contoh kalimat seperti Ali digidit anjing, Ibu memasak di dapur,
sangat tidak lebih baik daripada berita koran, seperti Anggota DPRK Kota Langsa diamuk massa karena bermesum dengan pasangan
yang bukan istrinya atau Banyak dosen
Unsyiah yang bolos mengajar.
Bukankah pendidikan/pembelajaran itu tidak hanya aksi tranfer knowledge, tetapi juga moral ability?
Entah apa, siapa, dan seberapa salahnya, entahlah...homhai.
(Jika memang salah, dan tak tertoleransikan salahnya,
maafkan dan berikanlah wejangan kepadanya, jangan menjadikannya sebagai bahan
olok-olok di depan khalayak, itu tak sehat.)
Yang jelas, jika ada aturan tertulis di kampus ini yang
mengatur, misalnya, dosen pengajar
Linguistik Umum, Morfologi, Metode Penelitian PBSI, Analisis Kesalahan
Berbahasa, dan Aplikom tidak boleh mengeluarkan suaranya selain tentang
Linguistik Umum, Morfologi, Metode Penelitian, Analisis Kesalahan Berbahasa,
dan Aplikom, saya akan menghadap Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh, untuk
minta dipensiundinikan dari dosen.
Menurut hemat saya, sesungguhnya pendidikan/pembelajaran yang
minus moral ability akan teroutput insan-insan ahli picik,
pendekar-pendekar silat lidah, jago-jago markus, bandit-bandit pendidikan, dsb.
Itulah sebagian dari tanda kiamat. Nauzubillah,
summa nauzubillah.
Posting Komentar