Home » » Pemuda Bahasa dan Literasi

Pemuda Bahasa dan Literasi

Written By Unknown on Sabtu, 12 November 2016 | 08.57

Pemuda Bahasa dan Literasi
(Refleksi Bulan Bahasa 2016)

Oleh Azwardi

Allah Swt mengajarkan kepada Nabi Adam nama-nama benda (QS. Al-Baqarah: 31). Penciptaan bahasa yang bermacam-macam merupakan tanda kebesaran Allah (QS. Ar-Rum: 22).

DUA ayat di atas cukuplah sebagai bukti bahwa Allah Swt menginginkan hambanya agar saling mengomunikasikan sesuatu dengan bahasa sebagai alat utamanya. Dengan Language Acquisition Divices (LAD) atau piranti pemerolehan bahasa yang telah dianugerahi Allah Swt, kita dapat memberdayakan segala potensi untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Berkaitan dengan itu, dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika manusia meninggalkan dunia, tiga jenis amal yang terus mengalir pahala kepadanya, antara lain, ilmu atau karya yang bermanfaat.

Karakteristik utama ulil albab (orang yang berpikir) adalah gemar membaca dan menulis. Melalui membaca kita memperoleh ilmu dan pengalaman, melalui menulis kita mengembangkan dan meyebarkan ilmu dan pengalaman. Semua input pengetahuan yang telah diserap idealnya dapat direkonstruksi; ditransformasikan; disampaikan ulang kepada khalayak. Dengan demikian, proses pengembangan dan penyebaran ilmu terus berlanjut. Makanya, di perguruan tinggi, tujuan utama pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan kepada terwujudnya keterampilan menulis ilmiah bagi calon-calon ilmuan.

Karakteristik abad 21 adalah informasi, komputasi, otomasi, dan komunikasi. Sejalan dengan itu, dalam rangka menyongsong model pembelajaran abad 21 guna mempersiapkan generasi seratus tahun Indonesia Merdeka (2045), pemerintah telah merancang dan menerapkan Kurikulum 2013 (K13). K13 menempatkan bahasa Indonesia sebagai penghela mata pelajaran lain dan karenanya harus berada di depan mata pelajaran lain. Kemampuan berbahasa dibentuk melalui pembelajaran yang berkelanjutan. Kompetensi yang diharapkan meliputi (1) pengetahuan tentang jenis, kaidah, dan konteks suatu teks, (2) keterampilan menyajikan suatu teks tulis dan lisan, baik terencana maupun spontan, dan (3) pembentukan sikap kesantunan dan kejelian berbahasa dan penghargaan terhadap bahasa Indonesia sebagai warisan budaya bangsa.

Bahasa resmi ASEAN
Berdasarkan tuntutan mutakhir di atas, jelas terlihat bahwa untuk dapat bersaing dalam percaturan global mengahadapi abad 21, pemuda Indonesia harus menyadari dengan benar kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dan mengimplementasikannya secara terintegrasi dalam berbagai aktivitas penyebaran dan pengembangan ilmu melalui tindakan baca-tulis atau literasi, apalagi saat ini, sebagaimana dikatakan Ketua Asosiasi Dosen Republik Indonesia, Dr Achmad Fathoni Radli M.Pd bahwa bahasa Indonesia kini sudah menjadi bahasa resmi ASEAN.

Pemuda, bahasa, dan literasi memiliki ikatan erat yang sedikit pun tidak dapat dipisahkan. Keeratan itu disebabkan oleh fungsi literasi itu sebagai pendukung keberhasilan pemuda (siswa mahasiswa) dalam mengerjakan tugas akademiknya. Di sisi lain, pesatnya inovasi dan kreasi dalam berbagai hal di kancah globalisasi membuat siswa atau mahasiswa harus mampu menyandingkan diri supaya mandiri. Lebih spesifik, pentingnya literasi bagi siswa atau mahasiswa juga didasari atas pertimbangan ketersediaan informasi di berbagai media, seperti buku, jurnal, ensiklopedi, majalah, dan surat kabar yang berbasis online membuat tuntutan ini kian hari semakin besar.

Literasi, khususnya literasi ICT, diawali dari mengakses informasi melalui teknologi internet, mengelola informasi, mengintegrasikan, mengevaluasi, dan menciptakan produk literasi. Bermacam-macam bentuk produk yang dapat diciptakan oleh siswa atau mahasiswa misalnya, antara lain, berupa buku, jurnal, makalah, dan artikel ilmiah. Selain itu, siswa atau mahasiswa juga diharapkan mampu menulis dan menuangkan ide-ide yang kreatif dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat luas. Setiap informasi yang diperoleh dari kegiatan membaca diharapkan dapat melahirkan satu produk turunan lainnya.

Di era teknologi informasi yang sedang berkembang pesat saat ini, menggiring generasi muda untuk berliterasi secara ideal bukanlah perkerjaan yang mudah. Betapa tidak, budaya dengar, tonton, hunting, posting, chating, gaming, dan sebagainya dianggap lebih penting dan lebih populer daripada budaya membaca dan menulis. Gerai-gerai pulsa dan data lebih semarak dibandingkan dengan toko buku. Hal itu dianggap lebih instan mendapatkan kepuasan batin tersendiri. Setiap hari waktu-waktu potensial teralokasikan secara sia-sia demi suatu komunikasi liar, yang bila dikalkulasikan, lebih banyak negatifnya ketimbang positifnya.
Bagi generasi muda yang tercatat sebagai pelajar (siswa dan mahasiswa) seringkali melakukan kecurangan akademik. Tugas-tugas sekolah atau kuliah yang harus mereka kerjakan banyak berupa dokumen plagiasi yang lempang-lempang saja di-copy-paste dari karya orang lain tanpa mengindahkan prosedur ilmiah. Mereka tidak mau berlama-lama dan bersusah-susah untuk membaca, memahami, dan mereproduksi kembali dengan redaksi bahasa sendiri menjadi karya otentiknya, apalagi jika apresiasi yang diperoleh dari guru atau dosennya tidak beda dengan apa yang diterima oleh siswa atau mahasiswa yang benar-benar berkarya orisinil dan kreatif.
Fenomena kecurangan ini akan menjadi virus dan mewabah ke mana-mana bila guru atau dosen tidak antisipatif terhadap tindakan plagiat yang dilakukan oleh siswa atau mahasiswa, dan kondisi ini secara masif akan mematikan semangat berliterasi secara sehat di kalangan generasi muda.

Belum kiamat
Dunia literasi belum kiamat. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk “bertaubat”, memantik minat berliterasi bagi generasi muda, baik bagi diri sendiri maupun untuk orang lain. Bagi diri sendiri, upaya yang dapat dilakukan, antara lain: (1) memaksa diri untuk membaca setiap hari, minimal satu artikel sederhana, (2) meluangkan waktu untuk berkunjung dan meminjam buku di perpustakaan, (3) menyisihkan biaya untuk dapat membeli buku secara periodik, dan (4) membiasakan diri untuk menulis setiap hari, minimal satu paragraf dengan menggunakan bahasa Indonesia yang benar dengan topik apa saja.

Untuk orang lain, tindakan nyata yang dapat diupayakan, antara lain: (1) memprakarsai gerakan cinta buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya, (2) memprakarsai gerakan gemar membeli buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya, (3) memprakarsai gerakan gemar membaca buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya, dan (4) memprakarsai gerakan gemar menulis buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya.

Agar dapat sedikit menulis dengan baik diperlukan membaca yang banyak. Membaca yang banyak diperlukan untuk memperluas wawasan, memperkaya skemata, dan mempertajam kepekaan terhadap isu-isu atau ide yang akan ditulis. Seorang JK Rawling, misalnya, ia dapat menghasilkan sebuah novel yang best seller dunia, Harry Potter, sebab ia telah “mengunyah” ribuan novel karya pengarang lain. Jadi, tanpa banyak membaca tak ada sedikit menulis. Maka, adakanlah bahan bacaan sebanyak-banyaknya dan membacalah sesering mungkin dengan cara melatih diri agar mau meluangkan waktu secara khusus untuk membaca setiap hari sebagai modal untuk menulis.

Kenyataan menunjukkan bahwa ketersediaan perpustakaan pribadi atau sudut baca di rumah-rumah penduduk sangat minim, baik pada masyarakat terpelajar maupun masyarakat umum. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan prinsip dasar visi dan misi literasi dalam peradaban Islam, yakni iqra’ (bacalah). Perintah membaca tentunya harus dipahami juga dengan seruan menulis. Seolah-olah aktivitas baca-tulis hanya milik atau kewajiban segelintir orang, seperti akademisi, jurnalis, dan sastrawan. Terkait dengan kondisi ini, sebagai satu upaya memantik minat baca dan mencerdaskan masyarakat, beberapa waktu yang lalu, melalui salah satu satker BRR NAD-Nias pernah dibiaya suatu penelitian mengenai pembangunan taman bacaan di Aceh pascatsunami. Sampai saat ini, sepertinya belum ada tindak lanjut dari pemerintah tentang rekomendasi hasil penelitian kebijakan tersebut.

Memprakarsai gerakan cinta, gemar membeli, membaca, dan menulis buku, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya merupakan tindakan nyata yang dapat kita lakukan sebagai wujud kepedulian kita dalam membumikan kegiatan literasi. Di setiap rumah warga idealnya harus tersedia perpustakaan mini atau sudut-sudut baca yang mudah dijangkau, menyediakan aneka bahan bacaan, khususnya bahan bacaat utama keluarga, seperti referensi agama, pendidikan, sosial, kesehatan, teknologi, dan seni budaya. Sebagai seorang kepala keluarga, secara rutin (misanya sebulan sekali) mau mengalokasikan biaya rumah tangganya untuk pengadaan bahan bacaan demi kelengkapan dan kemutakhiran koleksi referensi bagi keluarganya.

Bila dia seorang guru atau dosen bahasa Indonesia misalnya, bersedia mengalokasikan sebagian dari gajinya untuk membeli buku atau referensi-referensi terbaru yang terkait langsung dengan bidang profesinya, dengan cara setiap bulan menambah masing-masing satu koleksi bidang keagaamaan, kependidikan, kebahasaan, kesastraan, dan buku umum lainnya. Demikian juga dengan siswa atau mahasiswa, mesti ada usaha menghemat dan menabung demi bisa beli buku setiap bulan dari penyisihan uang jajan hariannya.

Bila buku telah terbeli, lambat laun upaya membacanya mesti dipantik. Pemantikan minat baca juga perlu dipaksa dengan cara menyediakan waktu setiap hari secara berencana meskipun dengan durasi yang tidak lama. Mulailah dengan membaca bahan-bahan bacaan yang ringan dan menyenangkan karena hal itu akan memicu kecanduan membaca. Bila rasa candu telah mengalir dalam jiwa, membaca apa saja juga akan menjadi kebutuhan yang menyenangkan. Tidak enak perasaan bila sehari belum membaca.

Pada pase berikutnya, bila candu baca telah menggelora dalam jiwa, seseorang disebut “kutu buku”. Pada pase ini orang tersebut mulai dilanda semacam “gegana; galau, gelisah, dan merana”, ingin menulis dari banyak hal yang sudah diketahuinya untuk dipersembahkan kepada orang lain sebagai karya kreatifnya. Selanjutnya, bila minat sudah sampai pada level ini, gejolak rasa seseorang tentang sesuatu tidak dapat terleraikan dengan baik sampai ia menumpahkan atau menuangkannya dalam gelas tulisan. Tidak enak badan dan perasaan bila sehari belum menulis. Dengan perkataan lain, menulis dapat membuatnya sehat, lahir dan batin. Maka, menulislah! Dirgahayu Bahasa Indonesia!

* Azwardi, S.Pd., M.Hum., Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: azwardani@yahoo.com

Artikel ini pertama kali dimuat di media Cetak Serambi Indonesia
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur