Home » » ‘Peudeuh-peudeuh’

‘Peudeuh-peudeuh’

Written By Unknown on Sabtu, 15 Februari 2014 | 08.15

BUDAYA menampak-nampakkan sesuatu kepada orang lain (peudeuh-peudeuh) tampaknya semakin menggejala di masyarakat kita. Fenomena tersebut, mulai dari persoalan ibadah (hubungan dengan Allah) sampai dengan persoalan sosial (hubungan dengan manusia).

Berhubungan dengan ibadah (mahdah), banyak orang yang melakukannya bukan semata-mata karena Allah, melainkan karena manusia. Misalnya, seseorang yang menunaikan ibadah haji, selain memang karena menunaikan kewajiban yang diperintahkan Allah, kasad dalam hatinya juga ada unsur agar mendapat pengakuan manusia atasnya.

Berkaitan dengan ibadah sosial, banyak orang yang melakukannya bukan semata-mata karena melaksanakan syariah Allah, melainkan karena pertimbangan tidak enak sesama manusia (hana meu-‘oh). Misalnya, seseorang mau mengunjungi orang lain (seperti membezuk orang sakit, bertakziah kepada orang meninggal, atau bersilaturrahmi biasa) karena orang lain itu ada mengunjunginya. Kalau orang yang mengunjunginya membawa amplop berisi uang sebesar Rp100.000,00 misalnya, giliran ia mengunjungi orang tersebut juga membawa amplop yang berisi uang dengan nilai nominal yang sama.

Jadi, perbuatan yang dilakukannya itu tidak lebih sekadar membalas kunjungan; mencari impas. Padahal, kadar nilai amal silaturrahmi yang ikhlas cukup besar di sisi Allah, lantas mengapa tega kita manipulasikan menjadi perbuatan yang tanpa makna.

Selain itu, misalnya, pada suatu kampung, ketika ada salah seorang warga yang meninggal dunia, malamnya ratusan masyarakat berbondong-bondong datang ke meunasah atau ke masjid untuk melaksanakan samadiyah yang pahalanya dialamatkan kepada almarhum atau almarhumah. Di pihak lain, ketika ada pengumuman bahwa malam-malam tertentu ada pengajian umum di meunasah atau di masjid, masyarakat yang hadir hanya belasan orang. Padahal, memberikan samadiyah hukumnya sunat, sedangkan mengikuti pengajian hukumnya wajib.

Jadi, tidak logis jika orang mau melakukan yang sunat sementara yang wajib ia abaikan. Jika kita kaji-kaji lebih lanjut fenomena tersebut, ternyata animo masyarakat melakukan samadiyah tersebut bukan didasari atas pertimbangan syariah, melainkan karena pertimbangan adat. Kalau kita tidak tidak mau bersamadiyah kepada orang, nanti orang tidak mau bersamadiyah kepada kita. Jadi, yang dikedepankan tetap dasar hana meu-oh.

Fenomena sosial lain, misalnya, ketika ada pejabat yang mendapat penghargaan dari seseorang atau lembaga, unsur-unsur pejabat lain yang berada di level bawah pejabat itu, rame-rame menyampaikan ucapan selamat secara tertulis di media massa. Jika kita telaah, sesungguhnya, tujuan publikasi ucapan selamat dan kiriman papan bunga dan parcel tersebut tidak lain adalah menampakkan kepada orang yang berhajat tersebut bahwa ia peduli terhadap atasan atau mitranya itu. Jadi, ada kepentingan lain di balik tindakannya itu.

Masih berkaitan dengan ibadah sosial, fenomena dalam prosesi pilkada misalnya, betapa banyak kandidat yang pasang aksi, pasang janji, dan pasang taji (glöng ukè) di hadapan publik yang semua itu dilakukan mungkin demi meninggikan gengsi, marwah, dan status quonya di mata publik. Menjelang pilkada, mereka berlomba-lomba peudeuh-peudeuh droe di berbagai ruang publik (baliho, poster, spanduk, surat kabar, televisi, dan sebagainya), berlomba-lomba peutoe-peutoe droe ke berbagai elemen publik, dan berlomba-lomba peujroh-jroh droe di hadapan publik. Setelah prosesi tersebut sukses dan berlalu, sengap lagè teupeulen panyöt; meusidroe tan deuh lé; dan mereka itu akan peudeuh-peudeuh droe lagi lima tahun yang akan datang. Apakah ambisi mereka untuk meraih tampuk kekuasaan atau kepemimpinan didasari oleh cita-cita yang murni untuk mewujudkan kemaslahatan umat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab misalnya, (ini patut dipertanyakan). Yang kita lihat jelas dengan kasat mata tidak lain adalah sikap arogansi; gontok-gontokan, fitnah-fitnahan, jegal-jegalan antarsesama dalam mencapai dan mengamankan kepentingan masing-masing, sementara konstituen atau publik dipaksa menonton sajian lakon miris dan mengikuti irama dagelan keegoan mereka. Apakah lakon seperti itu bukan dikatakan manivestasi ria? Homhai. Yang pasti ujôb teumeu’a ria teukabô, di sinan nyang lé ureueng binasa. Demikian ungkapan bahasa Aceh.

Selain dalam hal ibadah, baik ibadah mahdah maupun ibadah sosial, prilaku ria juga sering muncul dari sikap seseorang dalam memakai suatu benda (rumah, kendaraan, pakaian, perhiasan, dll.). Dalam hal ini pelaku ria terlihat dari sikapnya yang cederung memenuhi keinginan daripada kebutuhannya; mereka ini lebih mengedepankan gaya daripada dayanya. Misalnya, bagi seseorang yang telah memiliki keluarga, baginya, memiliki rumah adalah kebutuhan (prioritas utama), dan memiliki mobil merupakan keinginan (prioritas selanjutnya). Sesungguhnya, keinginan masih dapat ditunda, sedangkan kebutuhan tak bisa dijeda. Inilah tipe manusia yang melangkahi kebutuhan menggapai keinginan. Tipe manusia seperti ini jauh dari kebahagiaan yang sejati karena dasar sikap dan tindakannya berpondasikan ria.

Tidak ada yang salah dari semua yang dilakukan orang itu, baik ibadah mahdah yang berhubungan langsung dengan Allah maupun ibadah sosial yang berkaitan dengan manusia. Yang tidak benarnya adalah tindakan kita dalam memanipulasi ibadah. Ibadah-ibadah yang cukup bernilai di mata Allah tega kita ciutkan seciut-ciutnya hanya demi ria; peudeuh-peudeuh kepada manusia. Tersebab ria binasa amal. Inilah yang dalam peribahasa disebut gara-gara setitik nila rusak susu sebelanga.

Dalam kitab Sirus Salikin disebutkan bahwa salah satu penyakit hati adalah ria. Ria diberi pengertian sebagai tindakan seseorang menapak-nampakkan ibadahnya kepada manusia dengan tujuan mencari kesenangan atau kepuasan hati. Tindakan seseorang dapat dikatakan ria jika terpenuhi tiga hal, yaitu (1) adanya niat beria, (2) adanya sesuatu yang diriakan, dan (3) adanya sasaran periaan. Salah satu dari tiga unsur tersebut tidak terpenuhi, maka itu bukan dikatakan ria.

Allah menolak amalan hambanya yang didasari atas ria karena ria itu sendiri hukumnya haram dan tergolong dosa besar bagi yang memakainya. Orang ria identik dengan orang munafik, demikian kata seorang ulama tasawuf. Maka, untuk memperkecil, menghilangkan, dan mengantisipasi sifat ria hadir dalam diri seseorang tidak ada jalan lain selain dengan ilmu sehingga dapat memosisikan dirinya pada makam ‘arifin atau muttaqin atau syuhud. Oleh karena itu, berguru untuk mempelajari ilmu tasawuf atau ilmu tarikat, sebagai salah satu ilmu yang diwajibkan Allah untuk dipelajari merupakan solusi terbaik. 

Oleh Azwardi, Serambi Indonesia, 15 November 2011.
* Penulis adalah Dosen FKIP Unsyiah.
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur