PEREMPUAN Aceh, Khairun Nisa, terpilih sebagai Putri Kopi Dunia Aceh dalam ajang Pemilihan Putri Kopi Dunia (Word Queen og Coffee) dan berhasil meraih juara tiga Putri Kopi Indonesia 2011. Begitu berita yang terilis di halaman depan harian Serambi Indonesia, menyertai beberapa berita sukses inong Aceh yang terpublis sebelumnya.
Tulisan ini bukan hendak menggugat prestasi-prestasi inong Aceh yang sering bersinar di kancah nasional, regional, dan internasional, melainkan menyurah sebuah fenomena miris yang teramati yang sedang dilakoni oleh segelintir inong Aceh masa kini. Fenomena tersebut, sepertinya bertentangan dengan perangai dan spirit Kartini, pahlawan nasional yang perempuan itu.
Ilustrasi gambar |
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berdatangan dari luar Aceh untuk sebuah misi rescue; pertolongan kepada rakyat Aceh yang ditimpa usibah besar berupa bencana alam gempa dan tsunami beberapa tahun silam. Ketika ditilik lebih lanjut, ternyata asumsi Peutua Beuna meleset. Ternyata mereka sebagian besar adalah dara-dara Aceh tulen yang karena memiliki koneksi atau potensi dalam bidang tertentu terekrutlah menjadi pekerja-pekerja pada NGO/LSM tersebut.”Kalau memang demikian, berarti nyan inong cot…; inong peukanjai bansa; nyan hana lam kamuh inong Aceh”, simpul Peutua Beuna dengan nada geram.
Warung kopi; di Aceh biasa disebut keudè kupi, merupakan sebuah tempat mangkal, kongkow, dan sebagainya sambil minum plus sarapan. esertanya tidak bercampur; hanya kaum bapak dewasa. Dalam sehari minimal empat kali kaum ini bertandang ke warung kopi. Selain sebagai tempat minum, warung kopi merupakan semacam terminal tempat bertemunya orang-orang dengan berbagai kepentingan; wadah transaksi, ruang komunikasi, media up-grade dan up-date berbagai informasi, dan sarana tempat mengolah berbagai wacana mulai dari persoalan sosial keagamaan sampai dengan perkara hukum dan keamanan; mulai dari persoalan pertanian kerakyatan sampai dengan perkara politik kenegaraan.
Semua terakumulasi menjadi sesuatu yang mengasyikkan untuk dikonsumsi setiap hari sebagai materi pencerahan dan pencerdasan. Uniknya, simpulan-simpulan sementara tentang wacana-wacana yang berkembang di warung kopi, tidak dikonsumsi sendiri oleh pihak laki-laki (suami), tetapi semua poin penting “diputar ulang” sebagai bahan “meut’ott’ot” menjelang tidur dengan sang istri. Jadi, meskipun si istri tidak nimbrung di warung kopi, dia tidak ketinggalan informasi.
Apa yang miris tentang perempuan di warung kopi? Pada suatu petang di sebuah warung kopi terekam sepenggal peristiwa nyeleneh; sekelompok anak muda terdiri atas beberapa laki-laki dan beberapa perempuan terlihat sedang hanyut dan tenggelam dalam sebuah suasana kebersamaan. Dengan menyandarkan dadanya di tepian meja dan merentangkan tangan ke bidang meja, anak-anak perempuan ini terlihat sangat enjoy, padahal mereka sedang berada dalam kebisingan suara manusia, kegaduhan suara benturan barang pecah belah, dan kepengapan ruang yang disesaki bergumpal-gumpal asap rokok.
Sungguh itu merupakan suasana yang tak lazim bagi perempuan. Rasanya tak percaya bahwa mereka itu adalah makhluk Allah yang bernama perempuan. Tak percaya, tapi nyata. Pemandangan yang sama juga terlihat di sudut-sudut lain warung kapi itu, bahkan juga di warung-warung kopi lain di negeri “seribu satu warung kopi” ini. Kalau sekadar rehat atau break sarapan di warung-warung yang bersuasana keluarga, seperti kantin kejujuran sekolah, kantin miso/bakso/ siomay, dan warung es campur di seputar Pasar Aceh, barangkali tidak ada masalah. Akan tetapi, menyejajarkan bahu, nimbrung, mejeng, kongkow, ketawa-ketawa, ngakak, di “warung kopi laki” yang digambarkan di atas, bagi perempuan sungguh sesuatu yang melawan kodrat; bertentangan dengan nilai-nilai luhur.
Kini, dampak sosial dari kekompakan dan kebersamaan dalam suatu sistem organisasi semacam NGO/LSM itu telah menyulutkan paradigma baru yang mungkin belum bertemima dalam sistem adat dan budaya Aceh. Pascatsunami, meskipun sebagaian besar NGO/LSM luar telah meninggalkan Aceh, budaya kebersamaan dan kekompakan antara kaki-laki dan perempuan dalam suatu sistem tetap menjadi sesuatu yang terkontinyukan; meskipun tak ada lagi meeting-meeting penting yang harus diikuti, tetap diciptakan meeting-meeting sinting lainnya, tentunya digelar di tempat-tempat yang santai; seperti warung kopi dan sejumlah nama turunannya: kantino, cafe, resto, dan warung tenda. Dalam diri perempuan-perempuan itu engkin telah teraliri faham kesetaraan gender yang difahami secara keliru sehingga mereka berhak juga menikmati manis, pahit, bangoe, dan sangernya kopi plus kepulan asap rokok yang mengawan tebal di langit-langit sekitar mereka bareng laki-laki menghadap satu meja.
Dipelopori oleh gaya dan laku aktivis-aktivis perempuan yang berkiprah pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi, kini perempuan-perempuan yang bukan aktivis pun telah terkontaminasi karenanya. Dalam Islam, aktivitas perempuan secara fisik di luar rumah dibatasi. Hal tersebut bukan berarti Islam meremehkan peran, kesempatan, kemampuan, dan hak para perempuan, melainkan demi memartabatkan kaum perempuan itu sendiri. Dalam hal melaksanakan shalat sebagai ibadah utama sekalipun misalnya, bagi perempuan tidak dianjurkan melaksanakannya secara berjemaah di masjid atau menasah; lebih baik dikerjakan di rumah saja. Hal ini tujuannya tidak lain adalah demi memelihara diri dari fitnah. Berbeda dengan laki-laki, sangat dianjurkan untuk shalat di masjid atau meunasah secara berjemaah.
Berkaitan dengan hal itu, dalam adat dan kebiasaan masyarakat Aceh,sangat tidak patut perempuan kongkow di warung kopi. Jika itu terjadi, merupakan suatu bentuk keaiban bagi keluarga yang bersangkutan. Makanya, dulu tidak pernah kita temukan perempuan Aceh yang mangkal di warung kopi, kecuali hanya membeli untuk dibawa pulang. Dalam terminologi adat Aceh, perempuan paripurna lazim disebut purumoh ‘orang rumah’ yang secara kontekstual bermakna orang yang dibatasi aktifitasnya pada urusan-urusan di rumah.
Hal ini terinspirasi dari nilai-nilai Islam. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa, eskipun tak berpeluang bertempur di medan perang membela agama, bagi perempuan selalu berpeluang memperoleh pahala yang setara dengan pahala syahid. Tentunya jika ia ikhlas berbuat sesuatu demi kebahagian keluarganya di rumah. Bahkan, dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa manusia yang pertama masuk surga adalah perempuan, yaitu Mutiah, istri sahabat Nabi, tersebab perempuan itu, antara lain, tak pernah meninggalkan rumah karena ia sangat taat kepada suaminya demi menjaga martabatnya dari segala fitnah.
Namun, dalam konteks kekenian, paradigma tersebut mungkin menjadi tidak populer lagi karena dianggap pengebirian dan pemproteksian hak-hak perempuan. Entahlah.Kita tidak berharap dengan terukirnya prestasi inong Aceh di ajang Kontes Perempuan Kopi, perempuan tersebut menjadi duta untuk mengampayekan agar perempuan-perempuan Aceh mau meramaikan warung-warung kopi di Aceh, baik sebagai penikmat yang gemar menyeruput dari bibir gelas kopi maupunsebagai pelayan yang mengantarkan gelas-gelas berisi kopi panas.
Yang kita inginkan adalah perempuan Aceh setiap hari bersedia dengan ikhlas menyeduh segelas kopi untuk dihidangkan kepada ayah atau suami tercinta sebagai wujud kepedulian, kecintaan, kehormatan, ketakziman, dan kehangatan kepada kepala keluarga; pemimpin bagi dirinya. Dengan demikian, petani kopi, pedagang kopi, penyeduh kopi, dan penikmat kopi mendapat berkah karenanya. Akhirnya, aroma kopi seduhannya akan tercium kembali kelak di langit-langit surga dengan aroma yang berlipat-lipat.
Azwardi, Serambi Indonesia, 27 April 2011. Penulis adalah dosen FKIP Unsyiah.
Posting Komentar