Mendesak
Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh
(Refleksi Bulan Bahasa 2008)
oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
(Dosen PBSI FKIP Unsyiah)
Dalam UUD RI ’45 tercantum bahwa bahasa daerah merupakan
bagian dari aset yang perlu dipelihara dan dibina. Sebagaimana bahasa Indonesia , Bahasa
Aceh (BA) juga perlu dipelihara dan dibina. Pembinaan dan pemeliharaan BA perlu dilakukan
secara bertanggung jawab oleh semua pihak, khususnya masyarakat Aceh. Secara
hukum keberadaan dan pemeliharaan bahasa daerah termaktup di dalam UUD RI ’45.
Selanjutnya, secara operasional, bahasa daerah dikuatkan dengan penegasan
fungsi dan kedudukannya sebagai khazanah budaya bangsa. Jadi, sangat beralasan
masyarakat Aceh peduli terhadap pemakaian BA yang baik dan benar, sesuai dengan
kaidah keilmuan yang berlaku.
BA merupakan salah satu bahasa
daerah di NAD. Bahasa ini digunakan secara aktif sebagai sarana komunikasi
antarwarga masyarakat NAD. Sebagaimana bahasa-bahasa lain di dunia, BA juga
mempunyai kaidah-kaidah tertentu, antara lain, kaidah penulisan atau pewujudan
fonem yang relatif berbeda bila dibandingkan dengan kaidah penulisan
bahasa-bahasa lain.
Penulisan
BA di berbagai tempat, misalnya media luar ruang, media massa cetak, media
massa elektronik, dan media hiburan terlihat sangat beragam. Hal tersebut mencerminkan bahwa pemakaian BA
ragam tulis sangat kacau. Hal ini terjadi, antara lain, karena pengguna BA
belum memiliki legitimasi pemakaian kaidah sistem tulis atau ejaan yang secara
formal disepakati oleh pihak-pihak yang berkompeten dan disahkan oleh
pemerintah untuk selanjutnya digunakan oleh seluruh masyarakat pemakai BA secara
konsisten. Dengan perkataan lain, pengguna BA, secara tegas, merasa belum
memiliki pedoman baku mengenai kaidah ejaannya (meskipun sebenarnya sudah ada
kaidah ejaan yang dihasilkan dalam Seminar Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Aceh tahun 1980 yang penyempurnaannya dilakukan oleh tim dari Universitas Syiah
Kuala pada tahun 1979).
Dalam
kenyataan penggunaan BA sehari-hari, khususnya bahasa tulis pada media luar
ruang dan media massa sering kita jumpai pemakaian BA yang salah atau tidak
sesuai dengan kaidah bahasa tersebut. Cermati dan bandingkan pemakaian BA dalam
konteks berikut (data salah dan data benar)!
No.
|
Salah
|
Benar
|
1.
|
Bedoh Beurata, Makmu Sejahtera
|
Beudöh Beurata, Makmu Sijahtra
|
2.
|
Neu
|
Neucuba Rasa
|
3.
|
Krue seumangat Persiraja!
|
Kru seumangat Persiraja!
|
4.
|
Wareèh
|
Waréh
|
5.
|
Wareeh Wartel
|
Wartel Waréh
|
6.
|
Angel Springbed
Rasakan lumpoé nyang goét
|
Angel Springbed
Rasakan lumpoe
nyang göt
|
7.
|
Neu periksa
yooh goh lom neu bloëi
|
Neuparéksa yôh goh neubloe
|
8.
|
Launching Balee
Raihan
|
Launching Balè
Raihan
|
9.
|
Rincoeng Meupucoek
|
Rincông Meupucôk
|
10.
|
Aceh mulia sabee
roe darah
|
Aceh mulia sabé
rô darah
|
11.
|
Saleum Group
|
Saleuem Group
|
12.
|
BEUTAGALAK KEUTEUMPAT
NYANG GLEH
JAGA HAI WAREH
BEUCEUDAH LINGKA
|
BEUTAGALAK KEU
TEUMPAT NYANG GLÉH
JAGA HAI WARÉH
BEUCEUDAH LINGKA
|
13.
|
PT PINTOE
ACEH
|
PT PINTÔ
ACEH
|
14.
|
NA ATA DROE
KEUPEUI ATA GOB
|
NA ATA DROE
KEUPEUE ATA GOB
|
15.
|
Jaringan Udeep
Beusaree
gampoeng loen
sayang
|
Jaringan Udép
Beusaré
gampông lôn
sayang
|
16.
|
Nanggroe Aceh Seuramo Meukah
Hase Meulimpah Laot Dengon Glee
|
Nanggroe Aceh Seuramoe Meukah
Hasé Meulimpah Laôt Deungön Glé
|
17.
|
Takzim keu guree
meuteumeu ijazah
Takzim keu neubah meuteumeu hareuta
Takzim keu nabi meuteumeu syafaat
Takzim keu Allah meuteumeu syuruga
|
Takzim keu gurèe
meuteumèe ijazah
Takzim keu nangmbah meuteumèe areuta
Takzim keu Nabi meuteumèe syafa’at
Takzim keu Allah meuteumèe syuruga
|
18.
|
Meunyoe geumpa rayeuk plung laju ke teumpat yang manyang, bek to laôt
|
Meunyo geumpa rayek plueng laju bak teumpat nyang manyang, bèk toe laôt
|
19.
|
rout plung
ie beuna
|
röt plueng
watèe ie beuna
|
20.
|
brouh lam peukan bek lee ta pupoe
lam toeng
tapasoe bak bineh jalan
oh uroe beungoh di cok lee moto
lueng jih hana dhoe ilee ie keuncang
|
brôh lam peukan bèk lé tapupö
lam tông
tapeuduek bak binéh jalan
’oh beungöh
uroe jicok lé moto
lueng hana dhoe
ie jilé bagah
|
21.
|
Bek tuwoe neupeu
udep lampu honda
|
Bèk tuwö neupeu-udép lampu honda
|
22.
|
Bengkel las Beudoh
Beusaree
|
Bengkel las Beudöh
Beusaré
|
23.
|
Rumah Makan Ujông Batéé
|
Rumah Makan Ujông Batèe
|
24.
|
Rangkang Ie Teube
|
Rangkang Ie Teubèe
|
25.
|
Gampng Gleeh
Tanyoe Sehat
|
Gampng Gléh
Tanyoe Sihat
|
26.
|
Grand Nanggroe Hotel
|
Hotel Grand Nanggroe
|
27.
|
Cafe Ulee
Kareng
|
Cafe Ulè
Karéng
|
28.
|
Jalan Inoeng Bale
|
Jalan Inöng
Balèe
|
29.
|
tuhoe
|
tuho
|
30.
|
ASOE LHOK
|
ASOE LHÔK
|
31.
|
SAWEU GAMPONG
|
SAWEUE GAMPÔNG
|
32.
|
Hihayat Duek Pakat
Lee
Herman RN
|
Hihayat Duek Pakat
Lé Herman RN
|
Jika diperhatikan secara
saksama, dalam konteks tersebut terdapat banyak kesalahan, khususnya kesalahan
penulisan. Penentuan salah-benar dalam kajian ini didasari atas kaidah normatif
BA yang telah disepakati oleh ahli BA, yaitu merujuk kepada ejaan yang
dihasilkan dalam Seminar Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Aceh tahun 1980 dan
karya Asyik (1987). Sisten ejaan BA standar yang digunakan saat ini merupakan
penyempurnaan dari ejaan lama yang disusun oleh tim dari Universitas Syiah
Kuala pada tahun 1979.
Berdasarkan data yang
teramati, kesalahan dominan terjadi pada penulisan kata dan huruf atau ortografi.
Penulis tidak bisa membedakan secara tegas tanda-tanda diakritik dalam BA,
yaitu grave (è), aigu (é), trema (ö), dan makron (ô). Kemudian, juga terdapat
kesalahan penulisan persesuaian kata ganti orang. Selain itu, kesalahan juga
terjadi akibat pencampuran penggunaan struktur bahasa Inggris dalam BA. Selain
itu, kesalahan juga sering terjadi akibat penerjemahan bahasa secara tekstual,
padahal secara teori kebahasaan bahasa tidak boleh diterjemahkan secara tekstual,
tetapi harus diterjemahkan secara kontekstual (dipadankan). Hal tersebut perlu
dilakukan sehingga kekakuan hasil terjemahan dapat dihindari.
Tiga tahun pascatsunami di
Provinsi NAD telah terjadi perbauran budaya dan bahasa. Perbauran budaya dan
bahasa, khususnya bahasa Inggris, tidak dapat dibendung. Hal tersebut merupakan
konsekuensi dari tingginya solidaritas dan mobilitas masyarakat, baik nasional
maupun internasional dalam upaya rehab-rekon Aceh. Secara kebahasaan, akibat
dari kondisi seperti itu, akhir-akhir ini penulisan BA pada media massa,
khususnya media luar ruang cenderung mengebaikan kaidah bahasa yang baik dan
benar.
Kesalahan berbahasa dapat terjadi
pada bahasa ragam lisan dan ragam tulis. Kesalahan pada bahasa ragam tulis
bersifat permanen. Akibatnya, kesalahan yang terjadi pada ragam tulis dapat memberi
dampak negatif yang lebih luas dan lebih permanen. Pembaca akan meniru tulisan
yang dibacanya, menjadi skemata, dan menulis pada tempat dan waktu yang lain.
Kesalahan itu akan terus berulang jika tidak mendapat perhatian dan perbaikan
yang semestinya. Oleh karena itu, kesalahan ragam tulis perlu segera ditanggapi
dan diatasi.
Pihak-pihak yang berkompeten
membina dan mengembangkan bahasa, seperti Balai Bahasa Banda Aceh, hendaknya memiliki
program kerja rutin mengidentifikasi, mengakamodasi, dan menindaklanjuti segala
permasalahan yang terjadi menyangkut dengan pemakaian BA oleh masyarakat.
Kemudian, pelajaran BA sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal di
Provinsi NAD hendaknya mendapat perhatian yang serius dari Dinas Pendidikan,
baik terkait dengan penyediaan tenaga pengajar yang profesional maupun
peyediaan buku-buku paket yang standar. Selain itu, siapa saja anggota
masyarakat yang ingin menggunakan BA, khususnya BA ragam tulis hendaknya
berkonsultasi dengan ahli BA.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa penggunaan BA ragam tulis semakin mendapat tempat di kalangan
masyarakat meskipun dalam penggunaannya terdapat banyak permasalahan. Sejak
tahun 70-an, di wilayah yang dominan penutur BA, BA sudah menjadi salah satu mata pelajaran
yang diajarkan di SMP sebagai mata pelajaran muatan lokal. Kini, bahkan BA sudah
diajarkan mulai SD sampai dengan SMP.
Permasalahan utama
yang dialami oleh para guru dalam pembelajaran BA adalah tidak tersedia buku
ajar yang representatif. Buku buku yang dipakai terpaku pada buku usang yang
boleh dikatakan sudah “out update).
Selebihnya ada beberapa buku yang penerapan kaidah ejaannya berbeda-beda antara
buku yang satu dan buku lainnya.
BA ragam tulis hingga saat ini
masih ‘berbalut’ masalah, terutama menyangkut sistem penulisan. Hal ini
disebabkan belum adanya ejaan BA yang baku yang dapat menjadi acuan bagi para penulis BA.
Pembakuan tersebut menjadi penting, antara lain, ketika para penulis dihadapkan
pada kenyataan penulisan kata yang sama dengan makna yang jauh berbeda, semisal
[kéh] ‘kantong’ dan [kèh] ‘korek api’, [lé] ‘oleh’ dan [le] ‘banyak’. Cara yang
umum ditempuh oleh para penulis untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
memberikan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan
bunyi-bunyi (Djunaidi, 2004:7). Namun, cara tersebut tetap merupakan masalah
tersendiri. Para penulis beralasan bahwa penggunaan tanda aksen, sirkonfleks,
dan umlaut di atas vokal tidak praktis, tidak ada dalam mesin tik, dan
membingungkan. Dalam sebuah lokakarya, Asyik (1992) mengemukakan bahwa sejak
ejaan BA lahir pada tahun 1980, para penulis BA mulai terbagi ke dalam dua
golongan. Golongan pertama adalah penulis buku pelajaran BA, yang dengan setia
selalu menulis dengan sistem ejaan tahun 1980. Di pihak lain, golongan kedua
adalah masyarakat umum, seperti penulis di surat kabar, majalah, penggubah
lagu, atau penulis hikayat, yang tidak mau menggunakan tanda aksen,
sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi.
Ada dua catatan penting yang dapat dikemukakan
berkaitan dengan pemakaian huruf-huruf di atas vokal. Catatan pertama adalah
simbol huruf antara penulis yang satu dan penulis yang lain sering tidak sama
dan bahkan ketidaksamaan kadang-kadang terdapat dalam satu tulisan. Hal ini tidak dapat dibiarkan karena salah satu
ciri bahasa adalah mempunyai sistem. Catatan kedua adalah ada beberapa
huruf yang ditampilkan itu dapat melahirkan kritik. Huruf ee
sebagai pengganti huruf é dapat
menuai kritik pada kata tertentu, misalnya asee ‘hasil’. Dalam bahasa
Aceh ee dapat diartikan juga sebagai diftong, misalnya dalam kayèe ‘kayu’, abèe ‘abu’, batèe ‘batu’, sehingga
kata asee dapat juga berarti ‘anjing’ karena dalam sistem
tadi, kata ‘anjing’ akan ditulis asee. Demikian pula, huruf oe
sebagai pengganti ô juga akan menghadapi tantangan pada kata tertentu,
misalnya taloe ‘kalah’. Dalam bahasa Aceh oe
adalah diftong, seperti dalam bloe ‘beli’, lakoe ‘suami’, kamoe ‘kami’, sehingga kata taloe ‘kalah’ dapat pula berarti taloe ‘tali’.
Kenyataan di atas memperlihatkan bahwa pembakuan ejaan BA sudah sangat
mendesak. Pembakuan tersebut sangat diperlukan untuk, antara lain, (1) adanya
suatu keseragaman dalam tata tulis BA, (2) adanya suatu rujukan yang menjadi
acuan bagi para penulis BA, dan (3) mengkongkretkan BA sebagai bahasa yang bersistem.
Oleh karena itu, pertemuan para tokoh masyarakat, instansi terkait, penentu
kebijakan, dan para pakar bahasa, khususnya pakar BA, dalam suatu forum resmi
untuk menghasilkan putusan bersama menyangkut pembakuan ejaan BA sepatutnya
dapat segera dilaksanakan. Pusat Studi
Bahasa Daerah (Pusbada) Universitas Syiah Kuala telah menggagas dan sedang
memprakarsai rencana pembakuan ejaan BA dalam sebuah pertemuan ilmiah
(semiloka). Untuk itu, perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, khususnya
pemerintahan Aceh.
Tujuan utama semiloka tersebut adalah sebagai berikut: (1) menghimpun
berbagai pendapat dari berbagai kalangan tentang BA dan pemakaiannya sehingga
diperoleh gambaran yang representatif tentang BA, (2) memaparkan kondisi
terkini pemakaian BA ragam tulis oleh berbagai kalangan yang memperlihatkan
adanya keragaman dalam penerapan ejaan BA sehingga diperlukan adanya kesamaan
pendapat para ahli BA tentang pentingnya ragam tulis BA yang baku yang dapat
menjadi acuan bagi para pemakai BA, khususnya dalam dalam berkomunikasi secara
tulis; (3) melalui berbagai sudut tinjauan, tim perumus lokakarya dapat
menghasilkan keputusan bersama tentang ejaan BA baku sebagai pedoman bagi
masyarakat dalam pemakaian BA ragam tulis, dan (4) memperkokoh identitas BA
sebagai sarana komunikasi masyarakat Aceh yang bersistem.
Berkaitan dengan hal itu, semiloka tersebut dapat melahirkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Aceh, Keputusan Bersama tentang Ejaan Bahasa Aceh
Baku dalam lembaran resmi Pemerintah Aceh, qanun tentang kebijakan (policy) bahasa dan sastra daerah agar semua pihak terikat untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, dan masukan utama bagi penentu kebijakan di NAD untuk
menyelenggarakan kongres bahasa daerah.
Posting Komentar