Becermin
ke Negeri Lancang Kuning
(Catatan
Seminar Nasional Bahasa Indonesia di Riau)
oleh Azwardi*
Provinsi Riau, dengan
ibu kota Pekan Baru, merupakan pusat tamaddun Melayu. Kemajuan di segala bidang
cukup kentara terlihat di bumi Lancang Kuning ini. Data konkret tentang segala
informasi penting terkini dan terhangat yang berkaitan dengan Provinsi Riau,
Kota Pekan Baru, dan sekitarnya dengan mudah dan cepat dapat kita temukan melalui
portal pusat informasinya yang telah meyediakan akses informasi online secara lengkap. Selain memiliki
sumber daya alam yang melimpah, provinsi ini juga kaya akan peradaban; bahasa,
sastra, dan budaya. Semuanya terbina dengan sangat baik. Pada kesempatan ini
saya hendak berbagi sekelumit cerita tentang sebuah kesan yang berbeda mengenai
political will pemerintah di bidang
pemberdayaan bahasa, sastra, dan budaya di daerah ini.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 21-23 Desember 2010,
Pemda Riau mengundang pakar bahasa sastra dan budaya, gubernur, rektor, ketua
DPRD, kepala dinas pendidikan dari seluruh Indonesia, dan undangan lainnya dari
negeri jiran. Saya termasuk salah seorang yang terundang dalam event tersebut. Rupanya, sang penguasa
provinsi kaya migas itu punya hajatan besar, yakni meyelenggarakan sebuah
Seminar Nasional Bahasa Indonesia. Tak tanggung-tanggung, milyaran rupiah
dialokasikan untuk itu. Seluruh peserta seminar yang diundang, pembiayaannya, mulai
dari tranportasi, akomodasi, dan konsumsi, serta fasilitas lain berkelas VIP;
bintang lima, sepenuhnya ditanggung Pemda Riau. Sangat apresiatif untuk sebuah
kegiatan yang tak banyak disukai orang ini.
Dasar pemikiran kegitan tersebut sederhana saja. Mereka
sangat apresiatif terhadap bahasa, sastra, dan budayanya. Bahasa, sastra, dan
budaya merupakan jatidiri suatu bangsa. Bahasa menunjukkan bangsa, sastra
melukiskan estetika, dan budaya mencerminkan etika. Kesantunan berbahasa,
bersastra, dan berbudaya menentukan harmonisasi bangsa. Terlebih lagi, bahasa
Melayu Riau yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia, sehingga tulisan Utamakan Bahasa Melayu dipampang di
sudut-sudut strategis wilayah dan kota mereka. Dalam rumusan hasil seminar
nasional tersebut, antara lain, digelindingkan kesepakatan penting bahwa bahasa
Indonesia direkomendasikan menjadi bahasa Perserikatan Bangsa-Bangsa dan akan
segera dibangun monumen bahasa Melayu di Riau. Luar biasa.
Dalam seminar tersebut, antara lain, berkembang wacana
bahwa karya-karya besar berbahasa Melayu justru sangat banyak tercipta di Aceh.
Sastrawan besar Aceh tempo dulu berhasil menelorkan karya-karya agung yang
monumental yang substansinya berbicara tentang petuah-petuah bijak yang semuanya
dirangkai dengan bahasa Melayu yang mendayu-dayu, santun, dan penuh pesona
makna. Tersebutlah, di antaranya, Nuruddin Arraniry dengan “Tajus Salatin”-nya,
Hamzah Fansuri dengan “Syair Perahu”-nya, Syamsuddin as-Sumatrani dengan “Kitab
Martabat Tujuh”-nya, dan Abdurrauf al-Singkili dengan “Miratuth Thullab”-nya.
Aceh memiliki sastrawan besar yang berkarya dengan bahasa Melayu yang banyak dibandingkan
dengan pemilik bahasa Melayu itu sendiri. Di Riau, yang sangat terkenal mungkin
Raja Ali Haji dengan “Gurindam Dua Belas”-nya. Berdasarkan kenyataan tersebut,
semestinya, Acehlah yang lebih apresiatif terhadap pembinaan, pengembangan,
pelestarian tradisi baca-tulis ini.
Ada beberapa catatan yang terpetik dari apa yang
dilakukan oleh Pemda Riau tentang wujud kepeduliannya terhadap kemajuan bahasa,
sastra, dan budayanya. Pertama, mereka sangat apresiatif terhadap eksistensi
bahasa daerahnya, yakni bahasa Melayu Riau di samping bahasa nasional, yaitu
bahasa Indonesia. Hal ini tecermin dari komunikasi nonformal mereka yang bangga
dan penuh percaya diri menggunakan bahasa daerahnya. Bahkan, dalam komunikasi
formal pun mereka kerap meng-insert kosakata
bahasa daerahnya. Kedua, mereka sangat peduli terhadap eksistensi
lembaga-lembaga daerah, seperti Lembaga Adat Melayu (LAM), Komunitas Sastra
Melayu, Yayasan Tenas Effendy, dan Yayasan Sagang. Pemberdayaan lembaga-lembaga
seperti itu mendapat prioritas dari pemerintah. Mereka sangat yakin dan percaya
bahwa simbiosis mutualime dari kepedulian dan kemitraan harmonis ini, buahnya adalah dari lembaga-lembaga tersebut
terorbit budayawan, sastrawan, dan semiman yang dapat menjadi pihak pengekpos,
pembuka akses, yang mengartikulasikan dan melestarikan kearifan-kearifan
lokalnya. Ketiga, mereka menjunjung tinggi adat lokalnya. Dalam setiap
momentum, bukan hanya dalam perhelatan lokal kedaerahan, melainkan dalam setiap
perhelatan nasional kenegaraan pun, mulai dari para undangan, peserta, dan
panitia kegitan, mereka konsisten memakai pakaian adat beratribut daerah;
pakaian adat Melayu. Mereka hakkul yakim bahwa upaya pengutan kapasitas
kelembagaan lembaga-lembaga derah ini berdampak sangat positif terhadap kemajuan
daerah, dan ini merupakan aset besar yang sangat potensial dalam percaturan
regional, nasional, dan internasional.
Aceh juga memiliki lembaga lokal, seperti MPU, MDP, MAA, Pusbada,
Pusat Kajian Melayu, dan JKMA yang juga akan berperan strategis dalam memublikasi
Aceh di kancah regional, nasional, dan internasional. Masalahnya adalah belum
terlihat kepedulian serius pemerintah dalam upaya pemberdayaan lembaga-lembaga
tersebut secara optimal sehingga terlihat “tajinya”. Khusus dalam hal pembinaan
bahasa, sastra, dan budayanya juga tak terlihat komitmen yang berarti. Tampaknya,
kemauan politik belum terlihat menusuk secara serius ke jantung sektor abstrak
ini. Berdasarkan kenyataan yang teramati, langit apresiasi bahasa, sastra, dan
budaya di di Tanah Rencong ini masih bergayut mendung kelabu. Tidak seperti Bumi
Lancang Kuning, yang praktis cerah tak berawan.
Beberapa indikator berikut merupakan bukti kemendungkelabuan
atmosfier bahasa, sastra, dan budaya kita. Satu, pada saat Aceh masih memiliki
banyak uang dari berbagai donatur, Pusat Studi Bahasa Daerah (Pusbada) gagal
melaksanakan Semiloka Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh tersebab tak ada anggaran. Padahal
untuk suksesnya acara tersebut, hanya diperlukan uang tak sampai setengah
milyar. Kegiatan ilmiah tersebut sangat mendesak demi menyatukan berbagai
varian bahasa masyarakat Aceh dalam bahasa tulisnya.
Dua, berkaitan dengan pembangkitan minat baca masyarakat,
pada saat BRR NAD-Nias sedang merehap rekon Aceh pascatsunami, pernah ada
pembiayaan beberapa proyek penelitian kebijakan tentang pentingnya pembangunan
taman bacaan di berbagai wilayah di Aceh. Setahu saya, sampai hari ini,
rekomendasi penelitian tersebut belum terealisasi satu pun. Laporan-laporan
penelitian tersebut hanya menjadi bahan dan laporan satgas tertentu saat itu
demi cairnya uang dari kran-kran anggaran.
Tiga, beberapa tahun silam di Universitas Syiah Kuala
telah terbentuk sebuah lembaga kajian yang diberi nama Pusat Studi Bahasa
Daerah (Pusbada). Namun, sampai sekarang lembaga ini tidak dapat berbuat
apa-apa tersebab tak ada alokasi dana dari pihak-pihak yang berkompeten, baik
dari internal kampus maupun pemda. Yang lebih sedih lagi, sekretariatnya pun
belum “membumi”; masih berjalan-jalan. Jangankan uang, kantor pun enggan
diberi. Sekali lagi, tak ada yang tertarik menginfestasikan modalnya di sektor
abstak ini.
Terakhir, sebagaimana terekspos di ruang surat pembaca Serambi Indonesia Edisi 29 Desember 2010,
berkaitan dengan pelaksanaan Seminar Internasional Sastra Nusantara di MPBSI
PPs Unsyiah, terlihat bahwa sesama pelaku sastra belum terjalin komunikasi yang
harmonis dalam membangun citra komunitas serumpun. Yang terartikulasikan malah
cercaan yang bernada mendiskreditkan suatu pihak di sidang khalayak.
Riau memang negeri yang kaya akan sumber daya alam. Sama
seperti Aceh. Namun, kesadaran akan pentingnya peningkatan sumber daya manusia
menjadi prioritas pembangunan. Misalnya, dalam rangka memantik minat baca, Riau
telah membangun gedung perpustakaan yang sangat megah; diberi nama Perpustakaan
Soeman HS (nama seorang sastrawan nasional yang berasal dari daerah itu);
memiliki 300.000 koleksi buku; segala fasilitas penuh kenyamanan terdapat di
gedung pencerahan publik ini.
Selain perpustakaan, ruang-ruang publik tumbuh subur di
sana. Cukup banyak penerbitan yang terbit di daerah ini, antara lain, Koran Riau, Riau Pos, Riau Terkini, Riau
Today, Detik Riau, Tribun Pekan Baru, Rakyat Riau, Riau Pesisir, Media Riau,
Pekan Baru Pos, Batam Pos, Tribun Batam, Harian Pos Metro, Harian Batam New,
Haluan Kepri, Koran Buruh, Suara Mahasiswa, dan Batamag.
Dari mulut ke telinga kita selalu beretorika: yang burit itu kendi, yang merah itu saga, yang baik itu budi, yang
indah itu bahasa; bahasa menunjukkan
bangsa; gadöh aneuk mupat jirat, gadöh
adat pat tamita. Ruh ungkapan-ungkapan penuh makna seperti itu tak pernah menyusup
dalam jasad tersebab adab yang terjerembab. Selorohan berkesan dari seorang teman
di sana, “Jangan datang
ke negeri ini, kalau tak
mau kantongmu kering;
jangan lancang di negeri ini, kalau tak
mau dirimu kuning” patut kita
renungi. Saya sudahi sajalah tulisan ini, mengingat apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta. Demikian
sitiran sang pujangga Melayu, Raja Ali Haji.
*Penulis adalah dosen FKIP Unsyiah.
Posting Komentar