Mengapa Guru
Tidak Berkualitas?
oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
(Dosen FKIP Unsyiah)
Tidak berlebihan jika kita terus mewacanakan kependidikan,
khususnya keguruan. Kemajuan suatu bangsa, terutama, diukur berdasarkan
barometer pendidikan. Terwujudnya pendidikan yang berkualitas berkorelasi
positif dengan tingkat kesejahteraan hidup manusia. Itulah sebabnya, pemerintah
Indonesia
merasa perlu mengalokasikan anggran belanja negara hingga mencapai 20% untuk
sektor terpenting ini (meskipun hingga kini masih tetap wacana). Cukup
beralasan memang.
Cukup sering tersiar wacana yang nadanya menyatakan
bahwa mutu pendidikan atau mutu guru rendah. Pernyataan-pernyataan tersebut,
baik secara empiris maupun teoretis, memang tidak terbantahkan. Namun, kita
jangan tergesa-gesa untuk melegitimasi bahwa yang paling bersalah adalah guru.
Tunggu dulu! Mari kita cungkil sedikit akar permasahannya!
Banyak faktor terkait dengan peningkatan mutu pendidikan,
baik secara kebijakan maupun teknis pelaksanaan. Dalam konteks pembaruan pendidikan
ada tiga isu utama yang perlu terus disoroti, yaitu pembaruan kurikulum,
peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektivitas metode pembelajaran.
Kurikulum harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial, relevan,
tidak overload, dan mampu mengakomodasikan
beragam keperluan dan kemajuan teknologi (Nurhadi, dkk, 2003:1). Kualitas
pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran.
Kemudian, secara mikro harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran
(metode) yang efektif di kelas yang lebih memberdayakan potensi siswa.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan prioritas utama lembaga-lembaga
pendidikan, baik lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Peningkatan mutu
tersebut, antara lain, difokuskan pada peningkatan mutu proses pembelajaran.
Asumsi yang dipegang teguh adalah proses pembelajaran secara signifikan
mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan perkataan lain, semakin baik mutu
proses pembelajaran akan semakin baik pula hasil pembelajaran tersebut. Mutu proses
pembelajaran berkaitan erat dengan, antara lain, guru, bahan belajar (buku),
dan alat-alat penunjang pembelajaran.
Perbaikan kualitas pendidikan diarahkan pada peningkatan kualitas proses
pembelajaran, pengadaan buku paket dan buku bacaan atau buku referensi, serta
alat-alat pendidikan/pembelajaran. Peningkatan kualitas proses pembelajaran
dilakukan melalui in-service training
guru yang sasarannya adalah meningkatkan penguasaan landasan kependidikan,
materi pembelajaran (subject matter), metode dan strategi mengajar,
pembuatan dan penggunaan alat pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran.
Guru memegang peran penting dan strategis dalam proses pembelajaran. Proses
pembelajaran sebagai suatu aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap siswa berkaitan langsung dengan aktivitas guru, baik di
sekolah maupun di luar sekolah. Sebagai suatu sistem kegiatan, proses
pembelajaran selalu melibatkan guru. Keterlibatan guru tersebut mulai dari
pemilihan dan pengurutan materi pembelajaran, penerapan dan penggunaan metode
pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran, pembimbingan belajar, sampai
pada kegiatan pengevaluasian hasil belajar.
Berkaitan dengan peran tersebut, suatu proses pembelajaran akan berlangsung
secara baik jika dilaksanakan oleh guru yang
memiliki kualitas kompetensi akademik dan profesional yang tinggi atau
memadai. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan diupayakan melalui
pengutamaan peningkatan mutu guru. Selengkap dan secanggih apa pun prasarana
dan sarana pendidikan, tanpa didukung oleh mutu guru yang baik, prasarana dan
sarana tersebut tidak memiliki arti yang signifikan terhadap peningkatan mutu
pendidikan
Melalui tulisan singkat ini saya tidak
bermaksud menggurui, apalagi mendiskreditkan suatu pihak. Ini sekadar wacana pencerahan kepada publik,
sebagai bukti kepedulian atas kenyataan yang teramati
Mengapa guru (di NAD) tidak
berkualitas? Pada kesempatan yang singkat ini mari kita iseng-iseng mencari satu
dua kambing hitamnya! Pertama, coba kita tilik, dari mana guru itu terorbit.
Bagaimana perlakuan yang diberikan ketika guru itu berguru. Bagaimana
kompetensi dasar ketika guru itu diterima sebagai mahasiswa calon guru.
Bagaimana tingkat kesejahteraan calon guru itu ketika menimba ilmu di perguruan
tinggi, dan berbagai pertanyaan miris lainnya yang mungkin kita pertanyakan
Antara lain, Unsyiah adalah universitas
jantung hatinya rakyat Aceh. Di sana ada sebuah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yaitu
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Institusi tersebut merupakan
lembaga yang sangat berperan dalam menuntukan berkualitas atau tidaknya guru
yang selanjutnya ‘mencerdaskan’ anak-anak (terutama anak rakyat Aceh)
Ada apa dengan LPTK FKIP
Unsyiah? Mari kita tengok
sekilas! Meningkatkan
kualitas pendidikan masyarakat Aceh secara makro melalui tindakan-tindakan yang
nyata merupakan tanggung jawab LPTK FKIP Unsyiah. Artinya, FKIP Unsyiah
dituntut menghasilkan sarjana-sarjana yang potensial dan berkualitas yang dapat
berkontribusi secara aktif dan positif bagi terwujudnya kualitas pendidikan di
NAD yang pada akhirnya dapat memajukan NAD secara umum. Tidak dapat disanggah
bahwa kemajuan suatu bangsa bermula dari pendidikan. Barometer kemajuan bangsa
diukur dari kualitas pendidikan anak bangsanya. Hari ini dunia mengetahui bahwa
kualitas pendidikan NAD sangat rendah, padahal anggaran pendidikannya cukup
besar; melimpah ruah. Bandingkan anggaran pendidikan antara NAD dan Jawa Barat
dengan rasio jumlah pendudunya dalam lima tahun terakhir. Menurut saya, kita
tidak perlu mencari-cari apa penyebab rendahnya kualitas pendidikan Aceh jika
hasil pencarian itu tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Cukup banyak
sudah hasil penelitian yang hanya berfungsi sebagai laporan sekaligus sebagai
syarat legitimasi pencairan uang-uang rakyat untuk selanjutkan berpindah ke
kantong-kantong pribadi.
Secara subtantif-teoretis,
taraf prestasi atau kualitas pendidikan dikategorikan baik didasari atas
prestasi atau tingkat kecerdasan siswa yang secara umum baik; siswa akan berprestasi
atau cerdas tidak terlepas dari prestasi atau kecerdasan yang dimiliki gurunya;
guru akan berprestasi atau cerdas terkait dengan prestasi atau kecerdasan yang
dimiliki dosennya (gurunya ketika menimba ilmu di LPTK); dosen akan berprestasi
atau cerdas bergantung kepada fasilitas atau sarana yang dimiliki institusinya,
baik saat mendalami ilmu maupun ketika melaksanakan tugasnya.
Kita tidak perlu melanjutkan
mata rantai sebab-akibat tersebut. Secara kasat mata siapa pun, terlebih
civitas akademika Unsyiah, dapat melihat bahwa sampai hari ini mahasiswa calon
guru (orang yang atasnya kelak dibebankan tanggung jawab moral kemajuan
pendidikan) tidak memiliki sarana belajar yang representatif (jika tak ingin
dikatakan tak ada sama sekali). Jangankan cukup tersedia sumber belajar, alat
pembelajaran, dan berbagai teknologi pembelajaran yang seharusnya ada, ruang
kuliah yang merupakan sarana minimal pun tidak dimiliki oleh LPTK yang FKIP/sekolah
calon guru. Sangat ironis memang. Selama ini calon-calon ‘Umar Bakri’ itu
belajar di ruang-ruang pinjaman yang hanya layak dikatakan sebagai kandang
kambing, terlebih yang berada di Jalan Kuta Inong Balee itu (boleh dicek).
Sangat kontras memang jika FKIP dibandingkan dengan ‘saudara-saudara
kandungnya’ yang lain yang bukan LPTK, yaitu FH, FE, FT, FP, FK, FKH, dan FMIPA
di lingkungan Unsyiah.
Ketika saya menjadi mahasiswa,
15 tahun yang lalu, ruang kuliah tempat saya menimba ilmu juga ruang pinjaman
itu. Namun, kondisinya jauh lebih layak dibandingkan dengan apa yang tersedia hari
ini. Dulu cukup tersedia papan tulis whiteboard
plus spidol, meja dosen, dan kursi mahasiswa yang layak pakai, namun
sekarang tidak. Papan tulis kembali ke blackboard
plus kapur tulis. Hari gini gurunya
calon guru masih meu’ap gapu? Tidak ada prestise menjadi gurunya calon guru atau
calon guru di sana. Mana yang digembar-gemborkan bahwa
Unsyiah sudah go public, berbasis Information and Communication Technology
(ITC)? Kamuflase; omong kosong; pèh t’em;
meunan kutak, meunoe kucang, meudéh kutèktèk.
Ternyata kita maju ke belakang.
Realitas kondisi tersebut dapat dimaknakan sebagai
ketidakadilan atau diskriminatif
‘orangtua’ terhadap ‘anak-anaknya’. Alhamdulillah, pascatsunami ada
pihak asing yang bersimpati, bersolidaritas terhadap LPTK tersebut, misalnya
dengan membantu sebuah gedung lab microteaching yang kini sudah siap
pakai, ruang-ruang kuliah partisi yang bersifat emergensi, dan mobiler lainnya.
Terima kasih untuk donator itu. Saya yakin dan percaya, Rektor Unsyiah yang
terorbit secara melejit dari LPTK FKIP Unsyiah, sekaligus sebagai ‘orang tua
kandung’ akan mampu mendongkrak level prestasi pendidikan NAD lebih baik ke
depan serta dapat mewujudkan keadilan secara proporsional dalam rumah tangga
Unsyiah ini berdasarkan nanuri keguruan yang dimilikinya. Dengan demikian, tiga
rekomendasi penting dari professional
standards for qualiified teacher ([1] atribut profesional; [2]
profesionalisme, pemahaman, dan pengetahuan; [3] keterampilan guru yang
profesional), sebagaimana dilansir Sutrisno (Serambi Indonesia Edisi Selasa, 31 Juli 2007), dapat tercapai
dengan baik.
Kedua, merosotnya mutu guru juga diperparah oleh LPTK
swasta yang ’membabi buta’ menggelar pendidikan tenaga kependidikan dengan
segala keterbatasan (input, proses, dan outcome).
Betapa banyak pihak-pihak yang menyelenggarakan pendidikan tenaga kependidikan
berkedok mencerdaskan bangsa (sebenarnya membodohkan bangsa). Hal itu terlihat,
antara lain, dari proses rekrutmen yang tanpa standardisasi yang jelas, proses
pembelajaran yang ‘cilet-cilet’, fasilitas
penunjang yang sangat minim, dan outcom
yang tingkat standar kompetensi kependidikan, keguruan, dan keilmuannya
dipertanyakan.
Demikianlah beberapa cacatan yang menurut saya sangat
penting untuk dijadikan bahan renungan bagi orang-orang yang diamahahkan
masyarakat sebagai penuntu kebijakan, khususnya di bidang pendidikan dan
keguruan. Janganlah kita menyalahkan dosen, guru, siswa, dan mahasiswa secara
sepihak. Mereka semua juga manusia.
Posting Komentar