Meu-‘en Peng
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
(Dosen FKIP Unsyiah)
Ya Allah,
Jangan
kutuk kami walau kami bergelimang suasana yang tidak halal,
(jangan
kutuk kami walau kami bergelimang suasana) yang Engkau murkai,
(baik) yang memberi (maupun) yang menerima. Amin.
ilustrasi uang |
Sepertinya doa yang dipanjatkan Tripa di bagian
akhir artikel “ADM”-nya (Serambi
Indonesia, 2 Desember 2010) mustahil dikabulkan Allah. Betapa tidak, di
satu sisi, sebagaimana dinukil Tripa, Allah menegaskan bahwa yang disogok dan
yang menyogok sama-sama masuk neraka. Di sisi lain, Allah menegaskan juga bahwa
sesungguhnya Allah tidak mengubah janji-Nya. Yang taat dimasukkan ke dalam
surga dan yang kufur dicampakkan ke dalam neraka.
Menarik sekali mencermati tulisan
Tripa yang mengangkat fenomena-fenomena kecil (tetapi sangat urgen) yang
terjadi di seputar kita. Memang fenomena klasik tersebut sudah mengakar dalam
masyarakat kita; sudah mendarah daging dalam kehidupan kita. Selain uang adm, fee, tektok ureung uroh, masih
ada beberapa lagi, seperti uang kopi,
uang rokok, uang lelah, uang transport,
uang pelicin (ketebelece), dan uang hangus. Seorang pegawai
administrasi yang bertugas memproses surat untuk pihak tertentu misalnya, tega
mengulur waktu berhari-hari dengan berbagai alasan yang dicari-cari gara-gara
tak disodori beberapa carik rupiah di depan oleh pihak pengorder. Sebaliknya,
segera licin jika ada uang yang diselipkan langsung ke dalam reugam-nya.
Dalam perspektif linguistik-semantis,
semua frasa yang inti atau unsur utamanya uang
itu bermakna hak-hak di luar jalur resmi yang tak ada dalam daftar tarif
keuangan negara. Dalam perspektif syariat semua frasa tersebut bermakna
ambilan-ambilan yang tidak halal meskipun kerap diiringi dengan kata ikhlas. Pada kesempatan ini saya
bermaksud menimpali; mengetengahkan substansi yang sama dalam perspektif yang
lebih makro mengenai fenomena yang semakin menggejala di dalam masyarakat kita.
Manusia cenderung memerosokkan diri ke
dalam lubang yang sama meskipun dia tahu bahwa lubang tersebut penuh onak dan
duri. Entah politisi, entah akademisi, entah praktisi; entah pejabat bangsa
yang bermaktabat, entah rakyat jelata yang sekarat; entah tengku yang meu-abu entah guree yang meuleubee. Tak
pandang bulu. Itulah yang terepresentasi dalam uangkapan Aceh bak peng gadoh janggot.
Berkaitan dengan wacana tersebut, ada
beberapa uangkapan lain yang berkembang dan menjadi suatu yang ironi dalam
masyarakat. Meunyo tapateh haba kitab,
meupineueng tupe kap h’an meuteume rasa ‘jika terlalu perpegang pada aturan
agama, apa pun tak dapat dinikmati’; jino
bek takheuen nyang haleue, meunyang hareuem payah tateume ‘sekarang,
jagankan yang halal, yang haram pun susah didapat; jino meunyo tauroh kerja h’an
mada ngon ie babah puteh ‘sekarang jika mau jadi pegawai, tidak cukup dengan bermodalkan potensi
intelegensi; (mesti ada uang pelicin)’.
Ungkapan-ungkapan seperti itu sengaja
diciptakan oleh orang-orang yang pesimistis; kaum-kaum yang prustatif. Bukankah
pesimis dan prustasi merupakan sifat yang tidak terpuji dalam ajaran agama
kita. Anehnya, pengaruh ungkapan tersebut telah menghipnotis semua barisan,
mulai dari masyarakat yang berpendidikan tinggi sampai dengan masyarakat awam.
Masyarakat merasa-rasa bahwa yang demikian itu boleh-boleh saja dilakukan;
mengira-ngira Allah memberi toleransi atas yang demikian itu. Inilah yang
disebut kesalahkaprahan dalam bersyariat.
Beberapa kisah yang saya alami
barangkali dapat mempertegas bahwa virus ini telah lama mewabah di antara kita.
Empat belas tahun yang lalu, ketika saya memohon petunjuk kepada guru saya
hendak mengikuti tes CPNS, guru saya mengatakan, jino meunyo tauroh kerja h’an
mada ngon ie babah puteh. Dia melanjutkan, zaman sekarang kemapanan ilmu
yang kita miliki tak berarti jika tidak dibarengi dengan segepok uang yang
dapat kita sodori kepada pihak-pihak tertentu. Meskipun mendapat wejangan yang
pesimis, saya tetap maju ngon ie babah
puteh. Alhamdulillah saya gol menjadi CPNS saat itu.
Pada waktu yang lain, teman saya yang
bersarjana syariat Islam minta dipinjamkan uang beberapa puluh juta rupiah.
Katanya, jika ia dapat menyerahkan uang sebesar itu kepada orang dalam yang ada
di instansi tempat dia melamar, kemungkinan besar dia akan menjadi PNS di
instansi itu. Saya katakan bahwa saya tidak memiliki uang sebesar itu. Saya
tambahkan, seandainya ada, saya tidak akan memberikannya demi memuluskan urusan
seperti itu. Imbasnya, teman saya ini marah dan memutuskan silaturahmi.
Pada waktu lain lagi, ketika saya
pulang ke kampung, seorang tengku minta bantu bagaimana caranya agar saya dapat
mengurus anaknya untuk lulus masuk perguruan tinggi negeri. Dia mengiming-imingi
uang untuk tujuan yang diyakininya mulia itu. Saya katakan, sistem rekrutmen mahasiswa
PTN dilakukan secara online, dikendalikan
secara nasional di Jakarta. Mustahil saya dapat mengendalikan penglulusan
seseorang. Akhirnya, sang teungku mengeluarkan suara sumbang, “Rugo kah na inan, meusidroe syeara h’an katem bantu” ‘Rugi kau ada di situ, seorang
saudara pun tak mau kau bantu’. Akibatnya, tali persaudaraan kami pun menjadi
renggang karena itu.
Terakhir, beberapa oknum guru
menghubungi kami, panitia sertifikasi guru rayon 1, menanyakan bagaimana
caranya agar mereka dapat lulus sertifikasi guru tanpa harus melalui proses
yang normal. Mereka bersedia melampirkan bebera juta rupiah untuk melicinkan
urusannya itu. Kami katakan bahwa proses sertifikasi di rayon mekanismenya
bersistem online, menggunakan software yang dikendalikan langsung di
Jakarta. Kami mengatakan bahwa kalau persoalan urus-mengurus, silakan cari
koneksi di Jakarta. Akhirnya, oknum guru ini pun menyelenehkan kami karena
dianggap tak kooperatif.
Fenomena
seperti itu tampaknya semakin menggila dan merajalela; seakan-akan telah
menjadi aturan yang tak terlulis yang dianggap legal-legal saja untuk dilakoni.
Semua urusan mesti meu-en peng. Sebentar
lagi akan bergulir perhelatan kolosal rekrutmen PNS dn pilkada. Di satu pihak,
instansi penerima angkatan kerja selalu beretorika, tak ada kutipan apa pun
bagi putra putri bangsa colon pelamar. Di pihak lain, para calon pelamar kerja atau
colon pemangku jabatan tetap berikhtiar men-standby-kan
sejumlah uang untuk bermain di kancah ini demi jelasnya sebuah masa depan;
sebuah kekuasaan. Aroma kasak-kusus tentang tarif yang disepakati, calo yang
harus ditemui, dan formasi yang diincar kini mulai tecium. Kecurangan-kecurangan
dalam rekrutmen PNS dan money politic
tampaknya terus mengalir bak pengarung jeram tanpa ada yang mampu membendung. Inilah
yang dalam ungkapan Aceh disebut peng jen
jok keu iblih; yang memberi dipanggil jin,
yang menerima disapa iblis. Homhai.
Sebagai solusi, tampaknya, ungkapan bernada
pesimistis di atas perlu kita balik. Meunyo
h’an tapateh haba kitab, meujakhap-jakhap
dalam nuraka ‘Jika tidak perpegang pada aturan agama, kita akan diazab
dalam neraka’. Pada momentum tahun baru Hijriah ini, antara lain, mari kita
berhijrah dari urusan-urusan yang dimurkai Allah kepada upaya-upaya yang diridai
Allah. Semoga kita selalu diberi taufik dan hidayah-Nya.
Terkait
dengan persoalan ini, seorang ulama sufi berpetuah bahwa jangan sampai di dalam
darah dan dagingmu mengalir saripati makanan dari sesuatu yang syubhat karena
yang demikian itu akan berdampak pada kerusakan keturunanmu. Pernyataan ulama
sufi tersebut bermakna bahwa jika kita sayang kepada anak-anak kita, generasi
kita, janganlah mencekoki mereka dengan makanan yang syubhat (tidak jelas;
halal atau haram), apalagi jelas-jelas haram. Dengan mengasupi makanan yang
syubhat atau haram kepada mereka, berarti kita telah menzalimi mereka; memformat
mereka untuk tumbuh dan berkembang di jalan jurusan menuju neraka. Nauzubillahiminzalik. Seorang ustaz yang
lain juga menegaskan bahwa gaji-gaji atau honor-honor atau hak-hak lainnya yang
kita terima dari proses atau rekrutmen yang curang merupakan pendapatan yang
haram. Jangan sampai nafkah ilegal itu mengalir ke relung-relung sel dan nadi
anak cucu kita karena kita tidak pernah akan menuai doa dari anak yang salih,
dan mungkin darah dan daging kita itu juga akan bermuara pada lembah jalaran
api yang menyala-nyala.
Kenyataannya, sepertinya fenomena ini tetap
berkecambah merambah segala lini profesi. Markus-markus dan gayus-gayus
tambahan yang bertimbunan terus bermunculan silih berganti. Mungkin inilah lorong
gelap yang sedang ditempuh oleh anak cucu yang terlanjur terasupi saripati
makanan yang syubhat atau haram dari generasi-generasi pendahulunya sebagaimana
yang disitir ulama sufi itu. Nauzubillahiminzalik
Summa Nauzubillah.
Yang faktual dan kontekstual mewarnai
tetap meunyo hana peng di dalam jaroe
seupot lam nanggroe peungeueh lam rimba, meunyo na peng di dalam reugam beuthatteuh bangai deuehteuh
mulia. Ada uang abangku sayang, tak ada uang abang melayang. Demikian
uangkapan dalam bahasa uang.
Ya Allah, jangan biarkan kami terus menapak di jalan
berduri dan berbatu. Hentikan langkah kami jika kami terinjak duri dan
tersandung batu, dan tuntunlah langkah kami di jalan yang benar lagi lurus.
Ampunilah kami atas kesesatan napak tilas ini. Amin.
Posting Komentar