Potret Idealisme Mahasiswa Kita
oleh Azwardi, S.Pd., M.Hum.
Di mana-mana, di dunia, mahasiswa memegang peranan penting, memiliki
kapasitas dan otoritas publik yang tinggi, agen pergerakan, pemantik perubahan.
Mahasiswa merupakan generasi penerus perjuangan bangsa. Artinya, estafet
kepemimpinan suatu bangsa diserahkan kepada generasi yang telah atau pernah
mengenyam pendidikan tinggi. Dengan perkataan lain, mahasiswa, yang hari ini
berkesempatan menempati kursi perguruan tinggi sangat potensial menjadi
pemimpin di masa yang akan datang. Pengalaman empiris telah membuktikan hal
itu.
Syahdan, meskipun demikian, tidak semua mahasiswa berpeluang dapat
merebut estafet tersebut. Hanya segelintir mahasiswa yang terorbit menjadi
pemimpin-pemimpin masa depan yang qualified,
yaitu mereka yang memiliki empat fraksi (1) kompetensi, (2) kualifikasi, (3)
kontribusi dan (4) kejujuran (morality);
mereka yang memiliki visi dan visi kemahasiswaan yang ideal; mereka yang
memiliki idealisme yang baik, komitmen moral yang tinggi, dan kepedulian sosial
baik; mereka yang berpikir logis dan kritis, bertindak smart, dinamis, kreatif,
dan inovatif.
Mahasiswa yang berpikir kritis tentunya care ‘peduli’ dan respek atas segala persoalan yang mencuat, baik
yang tercuat dari dalam dirinya maupun yang terlihat di luar dirinya; baik yang
terjadi dalam sistem internal (civitas akademika) maupun sistem eksternalnya
(masyarakat luas). Mahasiswa yang memiliki pola pikir seperti ini tentunya
tidak akan berbuat hal-hal yang tidak logis, seperti melakoni hidup dengan santai,
enjoy aja, dan suka bermalas-malas, sementara atasnya sesak dengan beban, baik
beban akademik maupun beban nonakademik. Mahasiswa yang berpikir logis dan
kritis tentu tak cuek dengan persoalan-persoalan krusial atau
ketimpangan-ketimpangan soasial yang terjadi di seputar dirinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ciri substansial mahasiswa adalah rajin
membaca dan rajin menulis. Melalui membaca kita meyerap ilmu, dan melalui
penulis kita mentranformasikan ilmu. Itulah cirri masyarakat belajar,
masyarakat ilmian atau ilmuan. Peribahasa mengatakan, “Rajin pangkal pandai,
hemat pangkal kaya”. Banyak bembaca banyak tahu, banyak menulis banyak memberi
tahu, belajar memperkaya jiwa mempertajam wawasan.
Di pihak lain, memiliki ilmu ilmu tinggi, tetapi tidak dibarengi
dengan moral yang baik akan menjadi petaka bagi kehidupan manusia. Hari ini
betapa banyak di atas bumi ini berkeliaran orang-orang berilmu atau tinggi
ilmunya tapi tidak bermoral. Hal ini terlihat langsung dari sikap dan gaya
dalam melakoni hidunya. Bukankah leluhur orang Aceh berpetuah, “Kajak sikula hai aneuk mangat bek roh
jipeungeuet le gob, kajak beuet hai
aneuk mangat bek roh kapeungeut gob” ‘Tuntutlah ilmu (umum; di sekolah)
biar kita tak ditipu orang, dan tuntutlah ilmu agama (mengaji di pesantren)
biar kita tak menipu orang’. Dalam ungkapan tersebut mengandung filosofi
‘keseimbangan antara ilmu dan moral. Adakah hal itu terjadi sebaliknya.
Jawabnya ada, dan banyak. Mengapa itu bisa terjadi? Barangkali jawabnya adalah
peribahasa motto hidup yang kita junjung tinggi bukan lagi “Rajin Pangkal
Pandai, Hemat Pangkal Kaya”, melainkan “Nikmat Pangkal Paha”. Terminologi
“Rajin Pangkal Pandai dan Hemat Pangkal Kaya” merupakan simbol intensitas atau
kesunguhan dalam belajar dan berkarya, sedangkan “Nikmat Pangkal Paha”
merupakan simbol nafsu; kenikmatan, kesenang-senangan, ke-enjoy-an, dan
sifat-sifat hedonisme lainnya.
Kenyataan hari ini, apa yang dilakoni oleh mahasiswa kita, khususnya
di Aceh, sudah jauh dari idealisme kemahasiswaan. Beberapa indikator dapat dibeberkan
untuk membuktikan hal itu.
(1) Di internal personal mahasiswa dalam sistem kemahasiswaan, coba
bandingkan, berapa persen mahasiswa yang mengalokasikan waktunya untuk belajar
di perpustakaan, dan berapa persen yang menghabiskan waktunya untuk poh cakra; peh keurupuk; cang panah atau
bahkan ‘berindehoy’ di café-café, kantin-kantin, kios-kios jalanan, dan warung-warung
kopi setiap hari. Warung-warung kopi disesaki mahasiswa, mulai awal pagi sampai
dengan tengah malam, silih berganti. ‘Berapa sedikit’ kendaraan mahasiswa yang parkir
di depan perpustakaan, dan ‘berapa banyak’ yang antre di depan warung kopi.
Kondisi seperti ini, jika terkondisikan secara permanen, akan
berimplikasi pada outcome kampus yang
tidak sehat. Sarjana yang terorbit dari perguruan tinggi tidak lebih sebagai orang
SOK alias ‘Sarjana Otak Kosong’, minim kompetensi, rendah kualifikasi, mungkin
tak bisa berkontribusi.
(2) Di komunitas internal mahasiswa dalam sistem civitas akademika, coba
hitung-hitung, seberapa pedulinya mahasiswa terhadap kasus-kasus krusial yang
terjadi di lingkungan kampusnya. Pernahkan mahasiswa menggugat secara tegas dan tuntas tapi santun
atas kebijakan-kebijakan rektorat yang menyimpang di kampusnya. Sebagai contoh
kecil, apa sikap mahasiswa atas tidak terpenuhinya kebutuhan minimal civitas
akademika, atas ketidakterbukaan (tranparansi) finansial pengelolaan kampus,
atas renovasi ruang di masa aktif kuliah dengan tidak mempersiapkan ruang
alternatif (di sini telah terjadi pengesampingan proses akademik demi suatu
realisasi proyek fisik), dan atas maraknya gaya berpakaian dan bergaul
mahasiswa yang tidak islami.
Terkait dengan hal tersebut, perlu juga dipersoalkan bagaimana
kesadaran kolektif mahasiswa atas kewajiban dan haknya sebagai warga civitas
akademika. Sudahkah mahasiswa menjalankan proses akademik yang sesungguhnya;
mematuhi etika tata tertip yang ada; mengawasi segala tindakan yang terjadi. Sudahkah,
misalnya, mahasiswa komplen atas kedidakdisiplinan dosen dalam memvasilitasi
perkuliannya, atas kedidakdisiplinan karyawan dalam mengerjakan administrasi
perkuliannya, dan atas kedidaklayakan sarana dan alat penunjang perkuliannya.
(3) Di komunitas eksternal mahasiswa dalam sistem kemasyarakatan, coba introspeksi,
seberapa tanggapnya mahasiswa terhadap kesenjangan-kesenjangan sosial yang
terjadi di lingkungan masyarakatnya. Adakah mahasiswa menggugat secara santun, tegas tapi tuntas atas
kebijakan-kebijakan pemerintah atau tindakan-tindakan masyarakat yang
menyimpang di daerahnya. Sebagai contoh besar, apa sikap tegas dan hasil
teriakan mahasiswa atas tidak beresnya rehap-rekon korban tsunami Aceh, atas
runyamnya pengelolaan fasilitas publik (seperti air bersih, listrik hidup
terus, dan jalan mulus terurus), dan, atas ‘meukeulieb-nya’
penegakan hukum, baik hukum syariah
(syari’at Islam) maupun hukum positif. Apa tindakan mahasiswa atas tindakan
orang-orang yang jelas-jelas secara kasat mata melanggar hukum (misalnya
pejabat yang korup, anggota dewan yang malas, guru/dosen yang bolos, paramedis yang ceroboh, pengusaha yang nakal,
supir yang ugal-ugalan, pedangang yang curang).
Meminjam lirik seorang sastrawan, “Kita memang telah melakukan apa
yang kita bisa, tapi kerja belum selesai, belum apa-apa’. Mahasiswa dalam beberapa
kasus telah menggugat; melakukan aksi dan orasinya. Namun, gaung aksi dan
orasinya terkalahkan dengan ‘kebisingan-kebisingan’ yang semu hingga terdiam
dan beku bagai debu di pinggir jalan raya. Mereka ‘terbungkamkan’ dengan
‘gertakan-gertakan sambal’ sang penguasa. Mereka ‘terhijaukan matanya’ dengan
‘iming-iming’ yang halutinatif.
Akhirnya, kita sangat berharap idealisme mahasiswa tercerahkan
kembali sehingga mereka bisa sense of
crisys; respektif melihat, mencermati, dan bertindak terhadap sesuatu secara
ideal demi sebuah perubahan yang positif menuju masyarakat yang bermartabat,
dunia akhirat. Wallahualam bissawab.
Brovo mahasiswa!
Posting Komentar