Latest Post
Tampilkan postingan dengan label Seminar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seminar. Tampilkan semua postingan

MENYOAL KOMPETENSI GURU BAHASA INDONESIA (Refleksi Bulan Bahasa/Konggres Bahasa IX 2008)

Written By Unknown on Kamis, 17 Juli 2014 | 09.52

MENYOAL KOMPETENSI GURU BAHASA INDONESIA
 (Refleksi Bulan Bahasa/Konggres Bahasa IX 2008)

oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
 (Dosen PBSID FKIP Unsyiah)

Kemajuan suatu bangsa, terutama, diukur berdasarkan barometer pendidikan. Perolehan pendidikan yang berkualitas berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan hidup manusia. Itulah sebabnya, pemerintah merasa perlu mengalokasikan anggran belanja negara hingga mencapai 20% untuk sektor terpenting ini.

 Dalam konteks pembaruan pendidikan ada tiga isu utama yang perlu terus disoroti, yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektivitas metode pembelajaran. Kurikulum harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan beragam keperluan dan kemajuan teknologi (Nurhadi, dkk, 2003:1). Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Kemudian, secara mikro harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran (metode) yang efektif di kelas yang lebih memberdayakan potensi siswa.

Peningkatan mutu pendidikan merupakan prioritas utama lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Peningkatan mutu tersebut, antara lain, difokuskan pada peningkatan mutu proses pembelajaran. Asumsi yang dipegang teguh adalah proses pembelajaran secara signifikan mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan perkataan lain, semakin baik mutu proses pembelajaran akan semakin baik pula hasil pembelajaran tersebut. Mutu proses pembelajaran berkaitan erat dengan, antara lain, guru, bahan ajar (buku), dan alat-alat penunjang pembelajaran.

Perbaikan kualitas pendidikan diarahkan pada peningkatan kualitas proses pembelajaran, pengadaan buku paket dan buku bacaan atau buku referensi, serta alat-alat pendidikan/pembelajaran. Peningkatan kualitas proses pembelajaran dilakukan melalui in-service training guru yang sasarannya adalah meningkatkan penguasaan landasan kependidikan, materi pembelajaran (subject matter), metode dan strategi mengajar, pembuatan dan penggunaan alat pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran. 

Guru merupakan ujung tombak dalam proses pendidikan. Cukup sering tersiar wacana yang menyatakan bahwa mutu guru rendah. Pernyataan-pernyataan tersebut, baik secara empiris maupun teoretis, memang tidak terbantahkan. Banyak faktor terkait dengan mutu guru, baik secara kebijakan maupun teknis pelaksanaan.

Guru memegang peran penting dan strategis dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran sebagai suatu aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa berkaitan langsung dengan aktivitas guru, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sebagai suatu sistem kegiatan, proses pembelajaran selalu melibatkan guru.  Keterlibatan guru tersebut mulai dari pemilihan dan pengurutan materi pembelajaran, penerapan dan penggunaan metode pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran, pembimbingan belajar, sampai pada kegiatan pengevaluasian hasil belajar. Berkaitan dengan peran tersebut, suatu proses pembelajaran akan berlangsung secara baik jika dilaksanakan oleh guru yang  memiliki kualitas kompetensi akademik dan profesional yang tinggi atau memadai. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan diupayakan melalui pengutamaan peningkatan mutu guru. Selengkap dan secanggih apa pun prasarana dan sarana pendidikan, tanpa didukung oleh mutu guru yang baik, prasarana dan sarana tersebut tidak memiliki arti yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Secara sustantif-teoretis, secara umum taraf prestasi atau kualitas pendidikan dikategorikan baik didasari atas prestasi atau tingkat kecerdasan siswa yang secara umum baik; siswa akan berprestasi atau cerdas tidak terlepas dari prestasi atau kecerdasan yang dimiliki gurunya. Di Indonesia, meskipun menimbulkan pro dan kontra, barometer standar prestasi siswa “ditakar” dengan nilai UN-nya. Materi UN masih terpaku pada bidang studi Bahasa Indonesia (BI), Bahasa Inggris, dan Matematika. Artinya, ilmu nomotetik masih cukup relevan untuk mengukur tingkat kecerdasan siswa.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa nilai UN siswa rendah. Rendahnya nilai UN siswa tersebut, antara lain, disebabkan oleh rendahnya kualitas guru, terutama guru BI, guru Bahasa Inggris, dan guru Matematika. Informasi yang tidak menggembirakan dari penelitian yang sudah dilakukan di Kota Banda Aceh pada tahun 1996 adalah tingginya persentase ketidaklulusan UN siswa di Kota Banda Aceh, faktor “X-nya” adalah skor nilai bidang studi BI sangat rendah (Arianto, 2006). Hal ini berarti bahwa guru bidang studi BI merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas kenyataan yang tidak menyenangkan tersebut. Benarkah kompetensi guru BI kita rendah sehingga berakibat pada rendahnya kompetensi siswa dalam bidang studi BI?

Ada beberapa catatan penting yang saya temukan di lapangan ketika memfasilitasi pelatihan guru BI, misalnya pelatihan yang dibiayai oleh BRR, MGMP yang dibiayai oleh Dinas Pendidikan, dan PLPG sertifikasi guru dalam jabatan yang dibiayai oleh pemerintah melalui APBN. Iseng-iseng saya mencoba mengeksplorasi kompetensi mereka terkait dengan penguasaan materi BI yang selama ini menjadi bahan ajar mereka. Ternyata, kompetensi mereka sangat kacau. Prinsip-prinsip dasar keilmuan BI tidak dikuasai secara benar. Ketika ditanya lebih lanjut mengapa hal tersebut bisa terjadi, diperoleh informasi bahwa umumnya guru BI tidak memiliki buku-buku referensi yang mutakhir (minimal lima tahun terakhir), tidak memiliki kamus BI  yang standar, sangat kurang mengikuti perkembangan ilmu kebahasaan. Ilmu yang diajarkan kepada siswa hari ini ternyata ilmu BI yang sudah ’mensok’, yaitu ilmu yang mereka peroleh ketika belajar di program diploma belasan atau puluhan tahun yang lalu. Dengan perkataan lain, guru BI tidak melakukan pembaruan (up-dating) terhadap ilmunya. Ketika ditanya mengapa hal ini bisa terjadi, jawaban mereka sangat klasik; hana pèng ’tidak ada uang’.

Menurut hemat saya, itu merupakan jawaban yang tidak logis. Guru BI yang bersikap positif terhadap profesinya pasti mengalokasikan gajinya setiap bulan, walau dalam persentase kecil, untuk pengadaan buku-buku atau bahan terbaru. Guru BI yang ideal pasti tidak menyesal membelanjakan pendapatannya sekali seumur hidup untuk membeli sebuah kamus BI yang standar. Sangat tidak masuk akal rasanya seorang guru BI yang setiap bulan menerima gaji dari pemerintah karena mengajar BI enggan mengeluarkannya sedikit pendapatannya untuk keperluan peningkatan kapasitas keilmuannya.
Bukti konkret rendahnya kompetensi guru BI terlihat dari perolehan nilai saat dilakukan pretes. Dari 100 skor maksimal yang harus diperoleh, ternyata rata-rata guru BI hanya bisa memperoleh 20 (20%). Coba bayangkan, berapa persen yang bisa ditularkan guru tersebut kepada siswa. Indikasi lain yang dapat dijadikan alasan rendahnya kompetensi guru BI adalah tingginya persentase ketidaklulusan guru BI dalam sertifikasi guru dalam jabatan jalur portofolio. Cukup sulit bagi umumnya guru BI untuk mengumpulkan skor minimal 850 agar dapat dikatakan lulus. Sebab utama ketidakcukupan skor tersebut adalah sedikit sekali, bahkan tidak adanya nilai dari komponen karya pengembangan profesi, padahal dari komponen tersebut guru BI memungkinlah ”menyumbang” nilai yang cukup signifikan. Bukankah guru BI merupakan guru yang potensial dalam menghasilkan karya pengembangan profesi seperti karya tulis ilmiah? Bukankah seriap hari mereka mengajar empat keterampilan berbahasa kepada siswanya di sekolah? Tidak masuk akal rasanya jika guru BI yang telah belasan, bahkan puluhan tahun mengajar keterampilan berbahasa, tidak mampu menulis karya ilmiah. Demikianlah kenyataannya, ”Tak percaya, tapi nyata”, kata Titik Puspa.

Di pihak lain, mandeg-nya karier kepangkatan guru BI juga karena alasan klasik, yaitu tidak sanggup memenuhi syarat harus adanya karya tulis ilmiah dalam jurnal saat pengusulan pangkat ke jenjang IVb. Sangat jarang guru BI yang memeliki pangkat di atas IVa. Sebagian besar mereka terpaksa harus pensiun di ”terminal IVa”.

Berkaitan dengan hal itu, melalui tulisan singkat ini saya tidak bermaksud menggurui, apalagi mendiskreditkan suatu pihak. Ini sekadar wacana pencerahan kepada guru, khususnya guru BI, sebagai bukti kepedulian atas kenyataan yang teramati. Apa sebenarnya kompetensi guru BI, dan mengapa kompetensi guru BI rendah?

Kompetensi guru BI dalam melaksanakan KBM meliputi pemilihan dan pengurutan materi pembelajaran, penerapan dan penggunaan metode pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran, pembimbingan belajar, dan pengevaluasian hasil belajar. Di pihak lain, perilaku guru (dan perilaku siswa) dalam KBM meliputi menerapkan prinsip Classroom Action Research (CAR) dalam KBM, menggunakan alat pembelajaran, pemanfaatan buku, pengondisisian pembelajaran yang kontekstual dan terintegrasi, mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, memimpin diskusi, memberi umpan balik, dan menutup pelajaran (Depdiknas 2004).

Berkaitan dengan hal itu, Teacher of English to Speakers of Others Language (TESOL) merumuskan kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru bahasa adalah sebagai berikut:
(1)   memiliki kualitas personal yang membantu keberhasilannya sebagai guru;
(2)   memiliki unjuk keahlian berbicara dan menulis sebagai model;
(3)   memiliki pengetahuan proses pemerolehan bahasa serta memahami pengaruh belajar sosiokultural dalam situasi instruksional;
(4)   mempunyai pengalaman mempelajari bahasa lain dan pengalaman mendapatkan pengetahuan struktur bahasa yang dipelajarinya itu, serta memiliki persepsi budaya lain;
(5)   memiliki pemahaman prinsip-prinsip pendidikan bahasa;
(6)   memiliki pemahaman prinsip-prinsip pengujian bahasa, kemampuan menerapkannya, dan kemampuan menginterpretasi hasil pengujian bahasa dalam rangka mengetahui perkembangan dan kemahiran berbahasa siswa, di samping memiliki kemampuan mengevaluasi efektivitas bahan ajar, prosedur pengajaran, dan kurikulum pengajaran bahasa (Suparno, 1999:9).

Kualifikasi tersebut menggambarkan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru bahasa. Kualifikasi yang dimaksud dapat diberlakukan bagi guru BI sejalan dengan penerapan kurikulum terbaru (KBK/KTSP) pada semua jenjang pendidikan. Selain itu, guru BI juga dituntut memiliki kompetensi berupa (a) kemampuannya menampilkan diri sebagai penutur model, (b) penguasaannya terhadap ranah alam secara luas dan memadai, (c) kemampuannya mengelola proses belajar-mengajar secara integratif.

Secara umum standar kompetensi yang harus dimiliki oleh guru BI adalah sebagai berikut: (1) memahami landasan dan wawasan pendidikan, (2) menguasai materi pembelajaran BI, (3) menguasai pengelolaan pembelajaran BI, (4) menguasai evaluasi pembelajaran BI, dan (5) memiliki kepribadian, wawasan profesi, dan pengembangannya (Depdiknas, 2004). Masing-masing kompetensi tersebut memiliki subkompetensi.

Demikianlah beberapa cacatan yang menurut hemat saya sangat penting untuk dijadikan bahan renungan bagi kita semua; orang-orang yang diamanahkan masyarakat sebagai pemberi pencerahan dan kecerdasan, penentu kebijakan, khususnya di bidang pendidikan dan keguruan, lebih khusus lagi di bidang pembinaan dan pengembangan bahasa BI. Janganlah menyalahkan siswa atau guru BI secara sepihak jika nilai UN tidak menggembirakan. Memiliki keterampilan berbahasa adalah kunci kesuksesan setiap orang karena bahasa merupakan alat untuk menyerap dan menyampaikan gagasan, pengalaman, dan perasaan. Dirgahayu pemuda Indonesia, mari junjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia!

Becermin ke Negeri Lancang Kuning

Written By Unknown on Selasa, 15 Juli 2014 | 20.14

Becermin ke Negeri Lancang Kuning
(Catatan Seminar Nasional Bahasa Indonesia di Riau)

oleh Azwardi*

 Provinsi Riau, dengan ibu kota Pekan Baru, merupakan pusat tamaddun Melayu. Kemajuan di segala bidang cukup kentara terlihat di bumi Lancang Kuning ini. Data konkret tentang segala informasi penting terkini dan terhangat yang berkaitan dengan Provinsi Riau, Kota Pekan Baru, dan sekitarnya dengan mudah dan cepat dapat kita temukan melalui portal pusat informasinya yang telah meyediakan akses informasi online secara lengkap. Selain memiliki sumber daya alam yang melimpah, provinsi ini juga kaya akan peradaban; bahasa, sastra, dan budaya. Semuanya terbina dengan sangat baik. Pada kesempatan ini saya hendak berbagi sekelumit cerita tentang sebuah kesan yang berbeda mengenai political will pemerintah di bidang pemberdayaan bahasa, sastra, dan budaya di daerah ini.
            Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 21-23 Desember 2010, Pemda Riau mengundang pakar bahasa sastra dan budaya, gubernur, rektor, ketua DPRD, kepala dinas pendidikan dari seluruh Indonesia, dan undangan lainnya dari negeri jiran. Saya termasuk salah seorang yang terundang dalam event tersebut. Rupanya, sang penguasa provinsi kaya migas itu punya hajatan besar, yakni meyelenggarakan sebuah Seminar Nasional Bahasa Indonesia. Tak tanggung-tanggung, milyaran rupiah dialokasikan untuk itu. Seluruh peserta seminar yang diundang, pembiayaannya, mulai dari tranportasi, akomodasi, dan konsumsi, serta fasilitas lain berkelas VIP; bintang lima, sepenuhnya ditanggung Pemda Riau. Sangat apresiatif untuk sebuah kegiatan yang tak banyak disukai orang ini.
            Dasar pemikiran kegitan tersebut sederhana saja. Mereka sangat apresiatif terhadap bahasa, sastra, dan budayanya. Bahasa, sastra, dan budaya merupakan jatidiri suatu bangsa. Bahasa menunjukkan bangsa, sastra melukiskan estetika, dan budaya mencerminkan etika. Kesantunan berbahasa, bersastra, dan berbudaya menentukan harmonisasi bangsa. Terlebih lagi, bahasa Melayu Riau yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia, sehingga tulisan Utamakan Bahasa Melayu dipampang di sudut-sudut strategis wilayah dan kota mereka. Dalam rumusan hasil seminar nasional tersebut, antara lain, digelindingkan kesepakatan penting bahwa bahasa Indonesia direkomendasikan menjadi bahasa Perserikatan Bangsa-Bangsa dan akan segera dibangun monumen bahasa Melayu di Riau. Luar biasa.
            Dalam seminar tersebut, antara lain, berkembang wacana bahwa karya-karya besar berbahasa Melayu justru sangat banyak tercipta di Aceh. Sastrawan besar Aceh tempo dulu berhasil menelorkan karya-karya agung yang monumental yang substansinya berbicara tentang petuah-petuah bijak yang semuanya dirangkai dengan bahasa Melayu yang mendayu-dayu, santun, dan penuh pesona makna. Tersebutlah, di antaranya, Nuruddin Arraniry dengan “Tajus Salatin”-nya, Hamzah Fansuri dengan “Syair Perahu”-nya, Syamsuddin as-Sumatrani dengan “Kitab Martabat Tujuh”-nya, dan Abdurrauf al-Singkili dengan “Miratuth Thullab”-nya. Aceh memiliki sastrawan besar yang berkarya dengan bahasa Melayu yang banyak dibandingkan dengan pemilik bahasa Melayu itu sendiri. Di Riau, yang sangat terkenal mungkin Raja Ali Haji dengan “Gurindam Dua Belas”-nya. Berdasarkan kenyataan tersebut, semestinya, Acehlah yang lebih apresiatif terhadap pembinaan, pengembangan, pelestarian tradisi baca-tulis ini.
            Ada beberapa catatan yang terpetik dari apa yang dilakukan oleh Pemda Riau tentang wujud kepeduliannya terhadap kemajuan bahasa, sastra, dan budayanya. Pertama, mereka sangat apresiatif terhadap eksistensi bahasa daerahnya, yakni bahasa Melayu Riau di samping bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Hal ini tecermin dari komunikasi nonformal mereka yang bangga dan penuh percaya diri menggunakan bahasa daerahnya. Bahkan, dalam komunikasi formal pun mereka kerap meng-insert kosakata bahasa daerahnya. Kedua, mereka sangat peduli terhadap eksistensi lembaga-lembaga daerah, seperti Lembaga Adat Melayu (LAM), Komunitas Sastra Melayu, Yayasan Tenas Effendy, dan Yayasan Sagang. Pemberdayaan lembaga-lembaga seperti itu mendapat prioritas dari pemerintah. Mereka sangat yakin dan percaya bahwa simbiosis mutualime dari kepedulian dan kemitraan harmonis ini,  buahnya adalah dari lembaga-lembaga tersebut terorbit budayawan, sastrawan, dan semiman yang dapat menjadi pihak pengekpos, pembuka akses, yang mengartikulasikan dan melestarikan kearifan-kearifan lokalnya. Ketiga, mereka menjunjung tinggi adat lokalnya. Dalam setiap momentum, bukan hanya dalam perhelatan lokal kedaerahan, melainkan dalam setiap perhelatan nasional kenegaraan pun, mulai dari para undangan, peserta, dan panitia kegitan, mereka konsisten memakai pakaian adat beratribut daerah; pakaian adat Melayu. Mereka hakkul yakim bahwa upaya pengutan kapasitas kelembagaan lembaga-lembaga derah ini berdampak sangat positif terhadap kemajuan daerah, dan ini merupakan aset besar yang sangat potensial dalam percaturan regional, nasional, dan internasional.
            Aceh juga memiliki lembaga lokal, seperti MPU, MDP, MAA, Pusbada, Pusat Kajian Melayu, dan JKMA yang juga akan berperan strategis dalam memublikasi Aceh di kancah regional, nasional, dan internasional. Masalahnya adalah belum terlihat kepedulian serius pemerintah dalam upaya pemberdayaan lembaga-lembaga tersebut secara optimal sehingga terlihat “tajinya”. Khusus dalam hal pembinaan bahasa, sastra, dan budayanya juga tak terlihat komitmen yang berarti. Tampaknya, kemauan politik belum terlihat menusuk secara serius ke jantung sektor abstrak ini. Berdasarkan kenyataan yang teramati, langit apresiasi bahasa, sastra, dan budaya di di Tanah Rencong ini masih bergayut mendung kelabu. Tidak seperti Bumi Lancang Kuning, yang praktis cerah tak berawan.
            Beberapa indikator berikut merupakan bukti kemendungkelabuan atmosfier bahasa, sastra, dan budaya kita. Satu, pada saat Aceh masih memiliki banyak uang dari berbagai donatur, Pusat Studi Bahasa Daerah (Pusbada) gagal melaksanakan Semiloka Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh tersebab tak ada anggaran. Padahal untuk suksesnya acara tersebut, hanya diperlukan uang tak sampai setengah milyar. Kegiatan ilmiah tersebut sangat mendesak demi menyatukan berbagai varian bahasa masyarakat Aceh dalam bahasa tulisnya.
            Dua, berkaitan dengan pembangkitan minat baca masyarakat, pada saat BRR NAD-Nias sedang merehap rekon Aceh pascatsunami, pernah ada pembiayaan beberapa proyek penelitian kebijakan tentang pentingnya pembangunan taman bacaan di berbagai wilayah di Aceh. Setahu saya, sampai hari ini, rekomendasi penelitian tersebut belum terealisasi satu pun. Laporan-laporan penelitian tersebut hanya menjadi bahan dan laporan satgas tertentu saat itu demi cairnya uang dari kran-kran anggaran.
            Tiga, beberapa tahun silam di Universitas Syiah Kuala telah terbentuk sebuah lembaga kajian yang diberi nama Pusat Studi Bahasa Daerah (Pusbada). Namun, sampai sekarang lembaga ini tidak dapat berbuat apa-apa tersebab tak ada alokasi dana dari pihak-pihak yang berkompeten, baik dari internal kampus maupun pemda. Yang lebih sedih lagi, sekretariatnya pun belum “membumi”; masih berjalan-jalan. Jangankan uang, kantor pun enggan diberi. Sekali lagi, tak ada yang tertarik menginfestasikan modalnya di sektor abstak ini.
            Terakhir, sebagaimana terekspos di ruang surat pembaca Serambi Indonesia Edisi 29 Desember 2010, berkaitan dengan pelaksanaan Seminar Internasional Sastra Nusantara di MPBSI PPs Unsyiah, terlihat bahwa sesama pelaku sastra belum terjalin komunikasi yang harmonis dalam membangun citra komunitas serumpun. Yang terartikulasikan malah cercaan yang bernada mendiskreditkan suatu pihak di sidang khalayak.
            Riau memang negeri yang kaya akan sumber daya alam. Sama seperti Aceh. Namun, kesadaran akan pentingnya peningkatan sumber daya manusia menjadi prioritas pembangunan. Misalnya, dalam rangka memantik minat baca, Riau telah membangun gedung perpustakaan yang sangat megah; diberi nama Perpustakaan Soeman HS (nama seorang sastrawan nasional yang berasal dari daerah itu); memiliki 300.000 koleksi buku; segala fasilitas penuh kenyamanan terdapat di gedung pencerahan publik ini.
            Selain perpustakaan, ruang-ruang publik tumbuh subur di sana. Cukup banyak penerbitan yang terbit di daerah ini, antara lain, Koran Riau, Riau Pos, Riau Terkini, Riau Today, Detik Riau, Tribun Pekan Baru, Rakyat Riau, Riau Pesisir, Media Riau, Pekan Baru Pos, Batam Pos, Tribun Batam, Harian Pos Metro, Harian Batam New, Haluan Kepri, Koran Buruh, Suara Mahasiswa, dan Batamag.
            Dari mulut ke telinga kita selalu beretorika: yang burit itu kendi, yang merah itu saga, yang baik itu budi, yang indah itu bahasa; bahasa menunjukkan bangsa; gadöh aneuk mupat jirat, gadöh adat pat tamita. Ruh ungkapan-ungkapan penuh makna seperti itu tak pernah menyusup dalam jasad tersebab adab yang terjerembab. Selorohan berkesan dari seorang teman di sana, “Jangan datang ke negeri ini, kalau tak mau kantongmu kering; jangan lancang di negeri ini, kalau tak mau dirimu kuning” patut kita renungi. Saya sudahi sajalah tulisan ini, mengingat apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta. Demikian sitiran sang pujangga Melayu, Raja Ali Haji.


*Penulis adalah dosen FKIP Unsyiah.
Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur