Home » » Mengapa Guru Tidak Berkualitas?

Mengapa Guru Tidak Berkualitas?

Written By Unknown on Selasa, 15 Juli 2014 | 22.25

Mengapa Guru Tidak Berkualitas?

oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
(Dosen FKIP Unsyiah)

Tidak berlebihan jika kita terus mewacanakan kependidikan, khususnya keguruan. Kemajuan suatu bangsa, terutama, diukur berdasarkan barometer pendidikan. Terwujudnya pendidikan yang berkualitas berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan hidup manusia. Itulah sebabnya, pemerintah Indonesia merasa perlu mengalokasikan anggran belanja negara hingga mencapai 20% untuk sektor terpenting ini (meskipun hingga kini masih tetap wacana). Cukup beralasan memang.

Cukup sering tersiar wacana yang nadanya menyatakan bahwa mutu pendidikan atau mutu guru rendah. Pernyataan-pernyataan tersebut, baik secara empiris maupun teoretis, memang tidak terbantahkan. Namun, kita jangan tergesa-gesa untuk melegitimasi bahwa yang paling bersalah adalah guru. Tunggu dulu! Mari kita cungkil sedikit akar permasahannya!

Banyak faktor terkait dengan peningkatan mutu pendidikan, baik secara kebijakan maupun teknis pelaksanaan. Dalam konteks pembaruan pendidikan ada tiga isu utama yang perlu terus disoroti, yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektivitas metode pembelajaran. Kurikulum harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan beragam keperluan dan kemajuan teknologi (Nurhadi, dkk, 2003:1). Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Kemudian, secara mikro harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran (metode) yang efektif di kelas yang lebih memberdayakan potensi siswa.

Peningkatan mutu pendidikan merupakan prioritas utama lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Peningkatan mutu tersebut, antara lain, difokuskan pada peningkatan mutu proses pembelajaran. Asumsi yang dipegang teguh adalah proses pembelajaran secara signifikan mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan perkataan lain, semakin baik mutu proses pembelajaran akan semakin baik pula hasil pembelajaran tersebut. Mutu proses pembelajaran berkaitan erat dengan, antara lain, guru, bahan belajar (buku), dan alat-alat penunjang pembelajaran.

Perbaikan kualitas pendidikan diarahkan pada peningkatan kualitas proses pembelajaran, pengadaan buku paket dan buku bacaan atau buku referensi, serta alat-alat pendidikan/pembelajaran. Peningkatan kualitas proses pembelajaran dilakukan melalui in-service training guru yang sasarannya adalah meningkatkan penguasaan landasan kependidikan, materi pembelajaran (subject matter), metode dan strategi mengajar, pembuatan dan penggunaan alat pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran. 

Guru memegang peran penting dan strategis dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran sebagai suatu aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa berkaitan langsung dengan aktivitas guru, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sebagai suatu sistem kegiatan, proses pembelajaran selalu melibatkan guru.  Keterlibatan guru tersebut mulai dari pemilihan dan pengurutan materi pembelajaran, penerapan dan penggunaan metode pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran, pembimbingan belajar, sampai pada kegiatan pengevaluasian hasil belajar.

Berkaitan dengan peran tersebut, suatu proses pembelajaran akan berlangsung secara baik jika dilaksanakan oleh guru yang  memiliki kualitas kompetensi akademik dan profesional yang tinggi atau memadai. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan diupayakan melalui pengutamaan peningkatan mutu guru. Selengkap dan secanggih apa pun prasarana dan sarana pendidikan, tanpa didukung oleh mutu guru yang baik, prasarana dan sarana tersebut tidak memiliki arti yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan

Melalui tulisan singkat ini saya tidak bermaksud menggurui, apalagi mendiskreditkan suatu pihak. Ini sekadar wacana pencerahan kepada publik, sebagai bukti kepedulian atas kenyataan yang teramati

Mengapa guru (di NAD) tidak berkualitas? Pada kesempatan yang singkat ini mari kita iseng-iseng mencari satu dua kambing hitamnya! Pertama, coba kita tilik, dari mana guru itu terorbit. Bagaimana perlakuan yang diberikan ketika guru itu berguru. Bagaimana kompetensi dasar ketika guru itu diterima sebagai mahasiswa calon guru. Bagaimana tingkat kesejahteraan calon guru itu ketika menimba ilmu di perguruan tinggi, dan berbagai pertanyaan miris lainnya yang mungkin kita pertanyakan

Antara lain, Unsyiah adalah universitas jantung hatinya rakyat Aceh. Di sana ada sebuah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Institusi tersebut merupakan lembaga yang sangat berperan dalam menuntukan berkualitas atau tidaknya guru yang selanjutnya ‘mencerdaskan’ anak-anak (terutama anak rakyat Aceh)

Ada apa dengan LPTK FKIP Unsyiah? Mari kita tengok sekilas! Meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat Aceh secara makro melalui tindakan-tindakan yang nyata merupakan tanggung jawab LPTK FKIP Unsyiah. Artinya, FKIP Unsyiah dituntut menghasilkan sarjana-sarjana yang potensial dan berkualitas yang dapat berkontribusi secara aktif dan positif bagi terwujudnya kualitas pendidikan di NAD yang pada akhirnya dapat memajukan NAD secara umum. Tidak dapat disanggah bahwa kemajuan suatu bangsa bermula dari pendidikan. Barometer kemajuan bangsa diukur dari kualitas pendidikan anak bangsanya. Hari ini dunia mengetahui bahwa kualitas pendidikan NAD sangat rendah, padahal anggaran pendidikannya cukup besar; melimpah ruah. Bandingkan anggaran pendidikan antara NAD dan Jawa Barat dengan rasio jumlah pendudunya dalam lima tahun terakhir. Menurut saya, kita tidak perlu mencari-cari apa penyebab rendahnya kualitas pendidikan Aceh jika hasil pencarian itu tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Cukup banyak sudah hasil penelitian yang hanya berfungsi sebagai laporan sekaligus sebagai syarat legitimasi pencairan uang-uang rakyat untuk selanjutkan berpindah ke kantong-kantong pribadi.

Secara subtantif-teoretis, taraf prestasi atau kualitas pendidikan dikategorikan baik didasari atas prestasi atau tingkat kecerdasan siswa yang secara umum baik; siswa akan berprestasi atau cerdas tidak terlepas dari prestasi atau kecerdasan yang dimiliki gurunya; guru akan berprestasi atau cerdas terkait dengan prestasi atau kecerdasan yang dimiliki dosennya (gurunya ketika menimba ilmu di LPTK); dosen akan berprestasi atau cerdas bergantung kepada fasilitas atau sarana yang dimiliki institusinya, baik saat mendalami ilmu maupun ketika melaksanakan tugasnya.

Kita tidak perlu melanjutkan mata rantai sebab-akibat tersebut. Secara kasat mata siapa pun, terlebih civitas akademika Unsyiah, dapat melihat bahwa sampai hari ini mahasiswa calon guru (orang yang atasnya kelak dibebankan tanggung jawab moral kemajuan pendidikan) tidak memiliki sarana belajar yang representatif (jika tak ingin dikatakan tak ada sama sekali). Jangankan cukup tersedia sumber belajar, alat pembelajaran, dan berbagai teknologi pembelajaran yang seharusnya ada, ruang kuliah yang merupakan sarana minimal pun tidak dimiliki oleh LPTK yang FKIP/sekolah calon guru. Sangat ironis memang. Selama ini calon-calon ‘Umar Bakri’ itu belajar di ruang-ruang pinjaman yang hanya layak dikatakan sebagai kandang kambing, terlebih yang berada di Jalan Kuta Inong Balee itu (boleh dicek). Sangat kontras memang jika FKIP dibandingkan dengan ‘saudara-saudara kandungnya’ yang lain yang bukan LPTK, yaitu FH, FE, FT, FP, FK, FKH, dan FMIPA di lingkungan Unsyiah.

Ketika saya menjadi mahasiswa, 15 tahun yang lalu, ruang kuliah tempat saya menimba ilmu juga ruang pinjaman itu. Namun, kondisinya jauh lebih layak dibandingkan dengan apa yang tersedia hari ini. Dulu cukup tersedia papan tulis whiteboard plus spidol, meja dosen, dan kursi mahasiswa yang layak pakai, namun sekarang tidak. Papan tulis kembali ke blackboard plus kapur tulis. Hari gini gurunya calon guru masih meu’ap gapu? Tidak ada prestise menjadi gurunya calon guru atau calon guru di sana. Mana yang digembar-gemborkan bahwa Unsyiah sudah go public, berbasis Information and Communication Technology (ITC)? Kamuflase; omong kosong; pèh t’em; meunan kutak, meunoe kucang, meudéh kutèktèk. Ternyata kita maju ke belakang.

Realitas kondisi tersebut dapat dimaknakan sebagai ketidakadilan atau diskriminatif  ‘orangtua’ terhadap ‘anak-anaknya’. Alhamdulillah, pascatsunami ada pihak asing yang bersimpati, bersolidaritas terhadap LPTK tersebut, misalnya dengan membantu sebuah gedung lab microteaching yang kini sudah siap pakai, ruang-ruang kuliah partisi yang bersifat emergensi, dan mobiler lainnya. Terima kasih untuk donator itu. Saya yakin dan percaya, Rektor Unsyiah yang terorbit secara melejit dari LPTK FKIP Unsyiah, sekaligus sebagai ‘orang tua kandung’ akan mampu mendongkrak level prestasi pendidikan NAD lebih baik ke depan serta dapat mewujudkan keadilan secara proporsional dalam rumah tangga Unsyiah ini berdasarkan nanuri keguruan yang dimilikinya. Dengan demikian, tiga rekomendasi penting dari professional standards for qualiified teacher ([1] atribut profesional; [2] profesionalisme, pemahaman, dan pengetahuan; [3] keterampilan guru yang profesional), sebagaimana dilansir Sutrisno (Serambi Indonesia Edisi Selasa, 31 Juli 2007), dapat tercapai dengan baik.

Kedua, merosotnya mutu guru juga diperparah oleh LPTK swasta yang ’membabi buta’ menggelar pendidikan tenaga kependidikan dengan segala keterbatasan (input, proses, dan outcome). Betapa banyak pihak-pihak yang menyelenggarakan pendidikan tenaga kependidikan berkedok mencerdaskan bangsa (sebenarnya membodohkan bangsa). Hal itu terlihat, antara lain, dari proses rekrutmen yang tanpa standardisasi yang jelas, proses pembelajaran yang ‘cilet-cilet’, fasilitas penunjang yang sangat minim, dan outcom yang tingkat standar kompetensi kependidikan, keguruan, dan keilmuannya dipertanyakan.

Demikianlah beberapa cacatan yang menurut saya sangat penting untuk dijadikan bahan renungan bagi orang-orang yang diamahahkan masyarakat sebagai penuntu kebijakan, khususnya di bidang pendidikan dan keguruan. Janganlah kita menyalahkan dosen, guru, siswa, dan mahasiswa secara sepihak. Mereka semua juga manusia. 
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur