Home » » Meu-‘en Peng

Meu-‘en Peng

Written By Unknown on Selasa, 15 Juli 2014 | 22.12

Meu-‘en Peng

Azwardi, S.Pd., M.Hum.
 (Dosen FKIP Unsyiah)


Ya Allah,
Jangan kutuk kami walau kami bergelimang suasana yang tidak halal,
(jangan kutuk kami walau kami bergelimang suasana) yang Engkau murkai,
(baik) yang memberi (maupun) yang menerima. Amin.

ilustrasi uang
Sepertinya doa yang dipanjatkan Tripa di bagian akhir artikel “ADM”-nya (Serambi Indonesia, 2 Desember 2010) mustahil dikabulkan Allah. Betapa tidak, di satu sisi, sebagaimana dinukil Tripa, Allah menegaskan bahwa yang disogok dan yang menyogok sama-sama masuk neraka. Di sisi lain, Allah menegaskan juga bahwa sesungguhnya Allah tidak mengubah janji-Nya. Yang taat dimasukkan ke dalam surga dan yang kufur dicampakkan ke dalam neraka.

Menarik sekali mencermati tulisan Tripa yang mengangkat fenomena-fenomena kecil (tetapi sangat urgen) yang terjadi di seputar kita. Memang fenomena klasik tersebut sudah mengakar dalam masyarakat kita; sudah mendarah daging dalam kehidupan kita. Selain uang adm, fee, tektok ureung uroh, masih ada beberapa lagi, seperti uang kopi, uang rokok, uang lelah, uang transport, uang pelicin (ketebelece), dan uang hangus. Seorang pegawai administrasi yang bertugas memproses surat untuk pihak tertentu misalnya, tega mengulur waktu berhari-hari dengan berbagai alasan yang dicari-cari gara-gara tak disodori beberapa carik rupiah di depan oleh pihak pengorder. Sebaliknya, segera licin jika ada uang yang diselipkan langsung ke dalam reugam-nya.

Dalam perspektif linguistik-semantis, semua frasa yang inti atau unsur utamanya uang itu bermakna hak-hak di luar jalur resmi yang tak ada dalam daftar tarif keuangan negara. Dalam perspektif syariat semua frasa tersebut bermakna ambilan-ambilan yang tidak halal meskipun kerap diiringi dengan kata ikhlas. Pada kesempatan ini saya bermaksud menimpali; mengetengahkan substansi yang sama dalam perspektif yang lebih makro mengenai fenomena yang semakin menggejala di dalam masyarakat kita.

Manusia cenderung memerosokkan diri ke dalam lubang yang sama meskipun dia tahu bahwa lubang tersebut penuh onak dan duri. Entah politisi, entah akademisi, entah praktisi; entah pejabat bangsa yang bermaktabat, entah rakyat jelata yang sekarat; entah tengku yang meu-abu entah guree yang meuleubee. Tak pandang bulu. Itulah yang terepresentasi dalam uangkapan Aceh bak peng gadoh janggot.

Berkaitan dengan wacana tersebut, ada beberapa uangkapan lain yang berkembang dan menjadi suatu yang ironi dalam masyarakat. Meunyo tapateh haba kitab, meupineueng tupe kap h’an meuteume rasa ‘jika terlalu perpegang pada aturan agama, apa pun tak dapat dinikmati’; jino bek takheuen nyang haleue, meunyang hareuem payah tateume ‘sekarang, jagankan yang halal, yang haram pun susah didapat; jino meunyo tauroh kerja h’an mada ngon ie babah puteh ‘sekarang jika mau jadi pegawai,  tidak cukup dengan bermodalkan potensi intelegensi; (mesti ada uang pelicin)’.

Ungkapan-ungkapan seperti itu sengaja diciptakan oleh orang-orang yang pesimistis; kaum-kaum yang prustatif. Bukankah pesimis dan prustasi merupakan sifat yang tidak terpuji dalam ajaran agama kita. Anehnya, pengaruh ungkapan tersebut telah menghipnotis semua barisan, mulai dari masyarakat yang berpendidikan tinggi sampai dengan masyarakat awam. Masyarakat merasa-rasa bahwa yang demikian itu boleh-boleh saja dilakukan; mengira-ngira Allah memberi toleransi atas yang demikian itu. Inilah yang disebut kesalahkaprahan dalam bersyariat.

Beberapa kisah yang saya alami barangkali dapat mempertegas bahwa virus ini telah lama mewabah di antara kita. Empat belas tahun yang lalu, ketika saya memohon petunjuk kepada guru saya hendak mengikuti tes CPNS, guru saya mengatakan, jino meunyo tauroh kerja h’an mada ngon ie babah puteh. Dia melanjutkan, zaman sekarang kemapanan ilmu yang kita miliki tak berarti jika tidak dibarengi dengan segepok uang yang dapat kita sodori kepada pihak-pihak tertentu. Meskipun mendapat wejangan yang pesimis, saya tetap maju ngon ie babah puteh. Alhamdulillah saya gol menjadi CPNS saat itu.

Pada waktu yang lain, teman saya yang bersarjana syariat Islam minta dipinjamkan uang beberapa puluh juta rupiah. Katanya, jika ia dapat menyerahkan uang sebesar itu kepada orang dalam yang ada di instansi tempat dia melamar, kemungkinan besar dia akan menjadi PNS di instansi itu. Saya katakan bahwa saya tidak memiliki uang sebesar itu. Saya tambahkan, seandainya ada, saya tidak akan memberikannya demi memuluskan urusan seperti itu. Imbasnya, teman saya ini marah dan memutuskan silaturahmi.

Pada waktu lain lagi, ketika saya pulang ke kampung, seorang tengku minta bantu bagaimana caranya agar saya dapat mengurus anaknya untuk lulus masuk perguruan tinggi negeri. Dia mengiming-imingi uang untuk tujuan yang diyakininya mulia itu. Saya katakan, sistem rekrutmen mahasiswa PTN dilakukan secara online, dikendalikan secara nasional di Jakarta. Mustahil saya dapat mengendalikan penglulusan seseorang. Akhirnya, sang teungku mengeluarkan suara sumbang, “Rugo kah na inan, meusidroe syeara h’an  katem bantu” ‘Rugi kau ada di situ, seorang saudara pun tak mau kau bantu’. Akibatnya, tali persaudaraan kami pun menjadi renggang karena itu.

Terakhir, beberapa oknum guru menghubungi kami, panitia sertifikasi guru rayon 1, menanyakan bagaimana caranya agar mereka dapat lulus sertifikasi guru tanpa harus melalui proses yang normal. Mereka bersedia melampirkan bebera juta rupiah untuk melicinkan urusannya itu. Kami katakan bahwa proses sertifikasi di rayon mekanismenya bersistem online, menggunakan software yang dikendalikan langsung di Jakarta. Kami mengatakan bahwa kalau persoalan urus-mengurus, silakan cari koneksi di Jakarta. Akhirnya, oknum guru ini pun menyelenehkan kami karena dianggap tak kooperatif.

            Fenomena seperti itu tampaknya semakin menggila dan merajalela; seakan-akan telah menjadi aturan yang tak terlulis yang dianggap legal-legal saja untuk dilakoni. Semua urusan mesti meu-en peng. Sebentar lagi akan bergulir perhelatan kolosal rekrutmen PNS dn pilkada. Di satu pihak, instansi penerima angkatan kerja selalu beretorika, tak ada kutipan apa pun bagi putra putri bangsa colon pelamar. Di pihak lain, para calon pelamar kerja atau colon pemangku jabatan tetap berikhtiar men-standby-kan sejumlah uang untuk bermain di kancah ini demi jelasnya sebuah masa depan; sebuah kekuasaan. Aroma kasak-kusus tentang tarif yang disepakati, calo yang harus ditemui, dan formasi yang diincar kini mulai tecium. Kecurangan-kecurangan dalam rekrutmen PNS dan money politic tampaknya terus mengalir bak pengarung jeram tanpa ada yang mampu membendung. Inilah yang dalam ungkapan Aceh disebut peng jen jok keu iblih; yang memberi dipanggil jin, yang menerima disapa iblis. Homhai.

Sebagai solusi, tampaknya, ungkapan bernada pesimistis di atas perlu kita balik. Meunyo h’an  tapateh haba kitab, meujakhap-jakhap dalam nuraka ‘Jika tidak perpegang pada aturan agama, kita akan diazab dalam neraka’. Pada momentum tahun baru Hijriah ini, antara lain, mari kita berhijrah dari urusan-urusan yang dimurkai Allah kepada upaya-upaya yang diridai Allah. Semoga kita selalu diberi taufik dan hidayah-Nya.
            Terkait dengan persoalan ini, seorang ulama sufi berpetuah bahwa jangan sampai di dalam darah dan dagingmu mengalir saripati makanan dari sesuatu yang syubhat karena yang demikian itu akan berdampak pada kerusakan keturunanmu. Pernyataan ulama sufi tersebut bermakna bahwa jika kita sayang kepada anak-anak kita, generasi kita, janganlah mencekoki mereka dengan makanan yang syubhat (tidak jelas; halal atau haram), apalagi jelas-jelas haram. Dengan mengasupi makanan yang syubhat atau haram kepada mereka, berarti kita telah menzalimi mereka; memformat mereka untuk tumbuh dan berkembang di jalan jurusan menuju neraka. Nauzubillahiminzalik. Seorang ustaz yang lain juga menegaskan bahwa gaji-gaji atau honor-honor atau hak-hak lainnya yang kita terima dari proses atau rekrutmen yang curang merupakan pendapatan yang haram. Jangan sampai nafkah ilegal itu mengalir ke relung-relung sel dan nadi anak cucu kita karena kita tidak pernah akan menuai doa dari anak yang salih, dan mungkin darah dan daging kita itu juga akan bermuara pada lembah jalaran api yang menyala-nyala.

Kenyataannya, sepertinya fenomena ini tetap berkecambah merambah segala lini profesi. Markus-markus dan gayus-gayus tambahan yang bertimbunan terus bermunculan silih berganti. Mungkin inilah lorong gelap yang sedang ditempuh oleh anak cucu yang terlanjur terasupi saripati makanan yang syubhat atau haram dari generasi-generasi pendahulunya sebagaimana yang disitir ulama sufi itu. Nauzubillahiminzalik Summa Nauzubillah.

Yang faktual dan kontekstual mewarnai tetap meunyo hana peng di dalam jaroe seupot lam nanggroe peungeueh lam rimba, meunyo na  peng di dalam reugam beuthatteuh bangai deuehteuh mulia. Ada uang abangku sayang, tak ada uang abang melayang. Demikian uangkapan dalam bahasa uang.

Ya Allah, jangan biarkan kami terus menapak di jalan berduri dan berbatu. Hentikan langkah kami jika kami terinjak duri dan tersandung batu, dan tuntunlah langkah kami di jalan yang benar lagi lurus. Ampunilah kami atas kesesatan napak tilas ini. Amin.
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur