Home » » Tarawih Apalah Gunanya

Tarawih Apalah Gunanya

Written By Unknown on Kamis, 17 Juli 2014 | 08.47

Ada anak bertanya pada bapaknya, “Buat apa berlapar-lapar puasa?”.
Ada anak bertanya pada bapaknya, “Tadarus tarawih apalah gunanya?”.

Puasa mengajarkan rendah hati selalu
Tadarrus artinya memahami kitab suci
Tarawih mendekatkan diri pada Ilahi

ilustrasi gambar, sumber; google
Pada kesempatan ini saya tertarik mengkritisi pertanyaan kedua substansi kedua dari penggalan syair Bimbo itu; tarawih apalah gunanya. Wacana ini terinspirasi dari serpihan materi diskusi yang mengemuka dan sempat memanas dalam sebuah forum pengajian di suatu gampong. Dalam forum pengajian mendekati bulan Ramadan itu, sebagaimana biasa, Sang Teungku Seumeubeut membuka-buka kembali bab-bab kitab kuning yang surahnya berkaitan dengan ibadah di bulan penuh rahmah itu. Singkatnya, substansi pengajian pun mengerucut ke bhah tarawih. Sang teungku yang notabene malemya sudah tingkat tasauf itu, mengeluarkan pernyataan bahwa salat tarawih yang benar adalah dua puluh rakaat. Pernyataan ekstrem tersebut disandarkan pada keterangan sahih bahwa semua sahabat nabi, semua imam mazhab, dan semua imam hadis melakukan dua puluh rakaat. Selain itu, di negara-negara besar Islam juga menunaikan dua puluh. Tak ada satu hadis pun yang memberi keterangan tentang tarawih yang delapan rakaat. Sang teungku bersikukuh bahwa tentang keteguhan pendapatnya seperti itu, dua puluh empat jam beliau bersedia meudawa. Beliau menambahkan, jika tidak sanggup atau malas mengerjakan dua puluh, lebih baik tidak usah mengerjakannya atau tidur saja. Sang teungku menyimpulkan bahwa benar yang melakukan dua puluh, salah yang mengerjakan delapan, dan tak salah yang tidak menunaikannya.

Ternyata, dalam forum tersebut hadir seorang teungku yang notabene malemya tidak kalah dengan sang teungku pensyarah. Beuliau terkenal dengan teungku ahli hadis yang mahir bahasa Arab; dosen senior IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Ekspresi teungku ini terlihat “sinis, miris, dan bengis” dengan surah teungku pensyarah sehingga beliau langsung angkat bicara. Teungku keudua ini berpendapat bahwa benar yang melakukan dua puluh, tidak salah yang mengerjakan delapan, dan yang salah yang tidak menunaikannya. Teungku ini menegaskan bahwa tentang kilafiyah jumlah rakaat salat tarawih janganlah diperdebatkan lagi. Hal itu merupakan masalah klasik yang tak pernah ada ujungnya. Mendengar pernyataan ini, teungku pensyarah langsung memotong; mengambil alih pembicaraan dengan menyatakan bahwa ada ujungnya Teungku, jika umat Islam, khususnya yang ada di Indonesia, lebih khusus lagi yang terdapat di Aceh mau bersatu dan bertekat melaksanakan yang dua puluh itu. Perdebatan terus memanas. Tak ada pihak penengah, tak ada solusi. Para jamaah hanya bisa anggok-anggok melihat dawa dosis tinggi itu. Tiba-tiba ada seorang jamaah menginterupsi. Jamaah ini tampaknya tidak tega membiarkan “pertengkaran” dua teungku malem ini. Jamaah sengaja mengalihkan persoalan dengan memunculkan pertanyaan lain. Alhamdulillah, perdebatan pun selesai.

Dalam kesempatan pengajian berikutnya, dengan teungku narasumber lain lagi, juga terbahas masalah kilafiyah tarawih ini. Sang teungku yang notabene malemya juga tidak diragukan lagi ini mengemukakan bahwa beliau tidak ingin merekomendasikan yang mana yang betul, delapan atau dua puluh. Menurut teungku ini, berdasarkan berbagai referensi yang pernah dikaji, tak ada keterangan langsung dari Rasulullah tentang jumlah rakaat salat tarawih itu. Nama tarawih pun tidak ada dalam nomenklatur hadis. Istilah yang sering muncul adalah qiamullail ‘salat sunat malam’ yang berketentuan masna-masna ‘dua-dua’. Ada keterangan bahwa Rasullullah hanya salat tiga malam di masjid (karena takut dikira fardu oleh sahabat), dan itu pun bukan secara berjamaah; secara berjamaah mulai dilakukan oleh Saidina Umar (ini merupakan bid-ah hasanah). Ada keterangan lain bahwa Rasullullah melanjutkan salat qiamullail di rumah sepanjang malam hingga kaki beliau bengkak. Ada keterangan lain lagi bahwa Rasulullah, dalam satu rakaat salat qiamullail membaca sampai lima zuz Al-Quran, mulai Al-Fatihah s.d. Al-Maidah (tentang keterangan-keterangan ini, periksa hadis-hadis, khususnya dari Aisyah dan Ibnu Abbas). Berdasarkan keterangan itu, Sang teungku keulhee ini berpendapat bahwa silakan salat dua puluh, please delapan, monggo dua. Jangan disalah-salahkan, kecuali jika ada yang salat sunat tarawih satu rakaat atau yang salat subuh lebih dari dua rakaat.

Timbul pertanyaan, apa yang seharusnya dilakukan oleh orang awam terhadap tiga pendapat teungku yang berbeda-beda itu? Jika kita merujuk kepada salah satu dari mereka, mungkin berarti kita menyalahkan atau menafikan yang lainnya. Jika kita mengakomodasi semuanya, mungkin bermakna kita tak punya keteguhan prinsip dalam beragama. Lantas, bagaimanana taklid kita yang silapeh bulee atau yang malem pateuen ini? Menurut saya, tak usah bingung. Jawabnya klasik saja; kembali kepada keyakinan masing-masing. Meskipun demikian, pandangan teungku keupeuet berikut patut kita pertimbangkan. Dalam khutbah Jumat terakhir bulan Syakban 1431 H, sang teungku malem yang bertindak sebagai khatib hari itu ini “mengusik dan menggelitik” sekilas wawasan semangat beribadah umat Islam, khususnya di Aceh, dalam penghambaannya kepada Sang Khalik. Seberapa ingatkah kita terhadap mati dibandingkan dengan hidup?; seberapa pedulikah kita terhadap akhirat dibandingkan dengan dunia?; seberapa cintakah kita terhadap Allah dibandingkan dengan ciptaan Allah?; dan sebagainya. Sang khatib melanjutkan, apakah betul kita ini terlalu sibuk hingga cenderung memilih-milih ibadah yang ringan dan mudah? Seberapa perlukah urusan dunia kita sekarang dibandingkan dengan perkara akhirat nanti? Mari kita minimalisasikan sejenak urusan keduniaan dan maksimalkan urusan keakhiratan sebagai wujud penghambaan kita kepada Allah di bulan yang sangat istimewa ini! Jika semua sahabat nabi, semua imam mazhab, semua imam hadis, dan negara-negara besar Islam melakukan dua puluh rakaat, mengapa kita enggan mengikuti jejak mereka? Sebagai umat Islam, siapa lagi yang patut kita panuti selain sahabat nabi, ulama mazhab, dan ulama hadis? Bukankah ikut mereka berarti ikut Nabi?

Tentang hal ini, ada yang berdalih bahwa lebih baik mengerjakan sedikit asal berkualitas daripada banyak tapi tidak berkualitas. Katanya, yang melaksanakan delapan terlihat lebih muslihat, lebih khusuk, tidak tergesa-gesa. Sementara itu, yang melaksanakan dua puluh terkesan tak muslihat; terburu-buru, bacaannya terlalu cepat sehingga tak terkontrol mahkrajal hurufnya, dan gerakannya pun kadang tak bertumakninah sehingga meninggalkan salah satu rukunnya. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana jawaban pertanyaan anak pada bapaknya dalam penggalan syair Bimbo di atas, yaitu tarawih mendekatkan diri pada Ilahi, secara inplisit sang khatib mengamanatkan bahwa seyogyanya mari kita melaksanakan yang berkuantitas tinggi secara berkualitas tinggi seperti yang dilaksanakan oleh para sahabat, para imam mazhab, para imam hadis, dan umat negara-negara besar Islam itu! Tak usah saling klaim bahwa anutan kitalah yang paling benar dan lurus. Hanya Allah swt. yang Maha Mengetahui tentang sesuatu kebaikan yang dilakukan hambanya. Kepada-Nyalah kita meyerah diri dan mohon ampun atas segala dosa dan khilaf. Semoga melalui fadilat-fadilat tarawih serta berbagai amal kebajikan lainnya, kita dapat mengantongi rahmah, magfirah, dan itkumminannar sehingga tropi kemenangan  hakiki (tattaqun) menjadi milik kita. Hadanallahi ajmain.


Azwardi

Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur