MENYOAL KOMPETENSI GURU BAHASA INDONESIA
(Refleksi Bulan Bahasa/Konggres Bahasa IX 2008)
oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
(Dosen PBSID FKIP Unsyiah)
Kemajuan suatu bangsa, terutama, diukur berdasarkan barometer pendidikan. Perolehan pendidikan yang berkualitas berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan hidup manusia. Itulah sebabnya, pemerintah merasa perlu mengalokasikan anggran belanja negara hingga mencapai 20% untuk sektor terpenting ini.
Dalam konteks pembaruan pendidikan ada tiga isu utama yang perlu terus disoroti, yaitu pembaruan kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran, dan efektivitas metode pembelajaran. Kurikulum harus komprehensif dan responsif terhadap dinamika sosial, relevan, tidak overload, dan mampu mengakomodasikan beragam keperluan dan kemajuan teknologi (Nurhadi, dkk, 2003:1). Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Kemudian, secara mikro harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran (metode) yang efektif di kelas yang lebih memberdayakan potensi siswa.
Peningkatan mutu pendidikan merupakan prioritas utama lembaga-lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan formal maupun nonformal. Peningkatan mutu tersebut, antara lain, difokuskan pada peningkatan mutu proses pembelajaran. Asumsi yang dipegang teguh adalah proses pembelajaran secara signifikan mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan perkataan lain, semakin baik mutu proses pembelajaran akan semakin baik pula hasil pembelajaran tersebut. Mutu proses pembelajaran berkaitan erat dengan, antara lain, guru, bahan ajar (buku), dan alat-alat penunjang pembelajaran.
Perbaikan kualitas pendidikan diarahkan pada peningkatan kualitas proses pembelajaran, pengadaan buku paket dan buku bacaan atau buku referensi, serta alat-alat pendidikan/pembelajaran. Peningkatan kualitas proses pembelajaran dilakukan melalui in-service training guru yang sasarannya adalah meningkatkan penguasaan landasan kependidikan, materi pembelajaran (subject matter), metode dan strategi mengajar, pembuatan dan penggunaan alat pembelajaran, serta evaluasi pembelajaran.
Guru merupakan ujung tombak dalam proses pendidikan. Cukup sering tersiar wacana yang menyatakan bahwa mutu guru rendah. Pernyataan-pernyataan tersebut, baik secara empiris maupun teoretis, memang tidak terbantahkan. Banyak faktor terkait dengan mutu guru, baik secara kebijakan maupun teknis pelaksanaan.
Guru memegang peran penting dan strategis dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran sebagai suatu aktivitas untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa berkaitan langsung dengan aktivitas guru, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Sebagai suatu sistem kegiatan, proses pembelajaran selalu melibatkan guru. Keterlibatan guru tersebut mulai dari pemilihan dan pengurutan materi pembelajaran, penerapan dan penggunaan metode pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran, pembimbingan belajar, sampai pada kegiatan pengevaluasian hasil belajar. Berkaitan dengan peran tersebut, suatu proses pembelajaran akan berlangsung secara baik jika dilaksanakan oleh guru yang memiliki kualitas kompetensi akademik dan profesional yang tinggi atau memadai. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan diupayakan melalui pengutamaan peningkatan mutu guru. Selengkap dan secanggih apa pun prasarana dan sarana pendidikan, tanpa didukung oleh mutu guru yang baik, prasarana dan sarana tersebut tidak memiliki arti yang signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Secara sustantif-teoretis, secara umum taraf prestasi atau kualitas pendidikan dikategorikan baik didasari atas prestasi atau tingkat kecerdasan siswa yang secara umum baik; siswa akan berprestasi atau cerdas tidak terlepas dari prestasi atau kecerdasan yang dimiliki gurunya. Di Indonesia, meskipun menimbulkan pro dan kontra, barometer standar prestasi siswa “ditakar” dengan nilai UN-nya. Materi UN masih terpaku pada bidang studi Bahasa Indonesia (BI), Bahasa Inggris, dan Matematika. Artinya, ilmu nomotetik masih cukup relevan untuk mengukur tingkat kecerdasan siswa.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa nilai UN siswa rendah. Rendahnya nilai UN siswa tersebut, antara lain, disebabkan oleh rendahnya kualitas guru, terutama guru BI, guru Bahasa Inggris, dan guru Matematika. Informasi yang tidak menggembirakan dari penelitian yang sudah dilakukan di Kota Banda Aceh pada tahun 1996 adalah tingginya persentase ketidaklulusan UN siswa di Kota Banda Aceh, faktor “X-nya” adalah skor nilai bidang studi BI sangat rendah (Arianto, 2006). Hal ini berarti bahwa guru bidang studi BI merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas kenyataan yang tidak menyenangkan tersebut. Benarkah kompetensi guru BI kita rendah sehingga berakibat pada rendahnya kompetensi siswa dalam bidang studi BI?
Ada beberapa catatan penting yang saya temukan di lapangan ketika memfasilitasi pelatihan guru BI, misalnya pelatihan yang dibiayai oleh BRR, MGMP yang dibiayai oleh Dinas Pendidikan, dan PLPG sertifikasi guru dalam jabatan yang dibiayai oleh pemerintah melalui APBN. Iseng-iseng saya mencoba mengeksplorasi kompetensi mereka terkait dengan penguasaan materi BI yang selama ini menjadi bahan ajar mereka. Ternyata, kompetensi mereka sangat kacau. Prinsip-prinsip dasar keilmuan BI tidak dikuasai secara benar. Ketika ditanya lebih lanjut mengapa hal tersebut bisa terjadi, diperoleh informasi bahwa umumnya guru BI tidak memiliki buku-buku referensi yang mutakhir (minimal lima tahun terakhir), tidak memiliki kamus BI yang standar, sangat kurang mengikuti perkembangan ilmu kebahasaan. Ilmu yang diajarkan kepada siswa hari ini ternyata ilmu BI yang sudah ’mensok’, yaitu ilmu yang mereka peroleh ketika belajar di program diploma belasan atau puluhan tahun yang lalu. Dengan perkataan lain, guru BI tidak melakukan pembaruan (up-dating) terhadap ilmunya. Ketika ditanya mengapa hal ini bisa terjadi, jawaban mereka sangat klasik; hana pèng ’tidak ada uang’.
Menurut hemat saya, itu merupakan jawaban yang tidak logis. Guru BI yang bersikap positif terhadap profesinya pasti mengalokasikan gajinya setiap bulan, walau dalam persentase kecil, untuk pengadaan buku-buku atau bahan terbaru. Guru BI yang ideal pasti tidak menyesal membelanjakan pendapatannya sekali seumur hidup untuk membeli sebuah kamus BI yang standar. Sangat tidak masuk akal rasanya seorang guru BI yang setiap bulan menerima gaji dari pemerintah karena mengajar BI enggan mengeluarkannya sedikit pendapatannya untuk keperluan peningkatan kapasitas keilmuannya.
Bukti konkret rendahnya kompetensi guru BI terlihat dari perolehan nilai saat dilakukan pretes. Dari 100 skor maksimal yang harus diperoleh, ternyata rata-rata guru BI hanya bisa memperoleh 20 (20%). Coba bayangkan, berapa persen yang bisa ditularkan guru tersebut kepada siswa. Indikasi lain yang dapat dijadikan alasan rendahnya kompetensi guru BI adalah tingginya persentase ketidaklulusan guru BI dalam sertifikasi guru dalam jabatan jalur portofolio. Cukup sulit bagi umumnya guru BI untuk mengumpulkan skor minimal 850 agar dapat dikatakan lulus. Sebab utama ketidakcukupan skor tersebut adalah sedikit sekali, bahkan tidak adanya nilai dari komponen karya pengembangan profesi, padahal dari komponen tersebut guru BI memungkinlah ”menyumbang” nilai yang cukup signifikan. Bukankah guru BI merupakan guru yang potensial dalam menghasilkan karya pengembangan profesi seperti karya tulis ilmiah? Bukankah seriap hari mereka mengajar empat keterampilan berbahasa kepada siswanya di sekolah? Tidak masuk akal rasanya jika guru BI yang telah belasan, bahkan puluhan tahun mengajar keterampilan berbahasa, tidak mampu menulis karya ilmiah. Demikianlah kenyataannya, ”Tak percaya, tapi nyata”, kata Titik Puspa.
Di pihak lain, mandeg-nya karier kepangkatan guru BI juga karena alasan klasik, yaitu tidak sanggup memenuhi syarat harus adanya karya tulis ilmiah dalam jurnal saat pengusulan pangkat ke jenjang IVb. Sangat jarang guru BI yang memeliki pangkat di atas IVa. Sebagian besar mereka terpaksa harus pensiun di ”terminal IVa”.
Berkaitan dengan hal itu, melalui tulisan singkat ini saya tidak bermaksud menggurui, apalagi mendiskreditkan suatu pihak. Ini sekadar wacana pencerahan kepada guru, khususnya guru BI, sebagai bukti kepedulian atas kenyataan yang teramati. Apa sebenarnya kompetensi guru BI, dan mengapa kompetensi guru BI rendah?
Kompetensi guru BI dalam melaksanakan KBM meliputi pemilihan dan pengurutan materi pembelajaran, penerapan dan penggunaan metode pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran, pembimbingan belajar, dan pengevaluasian hasil belajar. Di pihak lain, perilaku guru (dan perilaku siswa) dalam KBM meliputi menerapkan prinsip Classroom Action Research (CAR) dalam KBM, menggunakan alat pembelajaran, pemanfaatan buku, pengondisisian pembelajaran yang kontekstual dan terintegrasi, mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, memimpin diskusi, memberi umpan balik, dan menutup pelajaran (Depdiknas 2004).
Berkaitan dengan hal itu, Teacher of English to Speakers of Others Language (TESOL) merumuskan kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru bahasa adalah sebagai berikut:
(1) memiliki kualitas personal yang membantu keberhasilannya sebagai guru;
(2) memiliki unjuk keahlian berbicara dan menulis sebagai model;
(3) memiliki pengetahuan proses pemerolehan bahasa serta memahami pengaruh belajar sosiokultural dalam situasi instruksional;
(4) mempunyai pengalaman mempelajari bahasa lain dan pengalaman mendapatkan pengetahuan struktur bahasa yang dipelajarinya itu, serta memiliki persepsi budaya lain;
(5) memiliki pemahaman prinsip-prinsip pendidikan bahasa;
(6) memiliki pemahaman prinsip-prinsip pengujian bahasa, kemampuan menerapkannya, dan kemampuan menginterpretasi hasil pengujian bahasa dalam rangka mengetahui perkembangan dan kemahiran berbahasa siswa, di samping memiliki kemampuan mengevaluasi efektivitas bahan ajar, prosedur pengajaran, dan kurikulum pengajaran bahasa (Suparno, 1999:9).
Kualifikasi tersebut menggambarkan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru bahasa. Kualifikasi yang dimaksud dapat diberlakukan bagi guru BI sejalan dengan penerapan kurikulum terbaru (KBK/KTSP) pada semua jenjang pendidikan. Selain itu, guru BI juga dituntut memiliki kompetensi berupa (a) kemampuannya menampilkan diri sebagai penutur model, (b) penguasaannya terhadap ranah alam secara luas dan memadai, (c) kemampuannya mengelola proses belajar-mengajar secara integratif.
Secara umum standar kompetensi yang harus dimiliki oleh guru BI adalah sebagai berikut: (1) memahami landasan dan wawasan pendidikan, (2) menguasai materi pembelajaran BI, (3) menguasai pengelolaan pembelajaran BI, (4) menguasai evaluasi pembelajaran BI, dan (5) memiliki kepribadian, wawasan profesi, dan pengembangannya (Depdiknas, 2004). Masing-masing kompetensi tersebut memiliki subkompetensi.
Demikianlah beberapa cacatan yang menurut hemat saya sangat penting untuk dijadikan bahan renungan bagi kita semua; orang-orang yang diamanahkan masyarakat sebagai pemberi pencerahan dan kecerdasan, penentu kebijakan, khususnya di bidang pendidikan dan keguruan, lebih khusus lagi di bidang pembinaan dan pengembangan bahasa BI. Janganlah menyalahkan siswa atau guru BI secara sepihak jika nilai UN tidak menggembirakan. Memiliki keterampilan berbahasa adalah kunci kesuksesan setiap orang karena bahasa merupakan alat untuk menyerap dan menyampaikan gagasan, pengalaman, dan perasaan. Dirgahayu pemuda Indonesia, mari junjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia!
Posting Komentar