Home » » Peudeuh-Peudeuh

Peudeuh-Peudeuh

Written By Unknown on Kamis, 17 Juli 2014 | 09.34

Peudeuh-Peudeuh

oleh
Azwardi

 
Budaya menampak-nampakkan sesuatu kepada orang lain (peudeuh-peudeuh) tampaknya semakin menggejala di dalam masyarakat kita. Fenomena tersebut, mulai dari persoalan ibadah (hubungan dengan Allah) sampai dengan persoalan sosial (hubungan dengan manusia).

Berhubungan dengan ibadah (mahdah), banyak orang yang melakukannya bukan semata-mata karena Allah, melainkan karena manusia. Misalnya, seseorang yang menunaikan ibadah haji, selain memang karena menunaikan kewajiban yang diperintahkan Allah, kasad dalam hatinya juga ada unsur agar mendapat pengakuan manusia atasnya. Seseorang yang bersadakah, selain bertujuan melaksanakan amal terbaik, juga berharap diketahui orang lain kalau dia adalah seorang dermawan yang suka menyumbang. Seseorang calon pengantin yang rajin melaksanakan salat berjamaah, selain memang melaksanakan perintah Allah juga karena mencari simpati di mata calon istri atau calon mertuanya.
            Berkaitan dengan ibadah sosial, banyak orang yang melakukannya bukan semata-mata karena melaksanakan syariah Allah, melainkan karena pertimbangan tidak enak sesama manusia (hana meu-‘oh). Misalnya, seseorang mau mengunjungi orang lain (seperti membezuk orang sakit, bertakziah kepada orang meninggal, atau bersilaturrahmi biasa) karena orang lain itu ada mengunjunginya. Kalau orang yang mengunjunginya membawa amplop berisi uang sebesar Rp100.000,00 misalnya, giliran ia mengunjungi orang tersebut juga membawa amplop yang berisi uang dengan nilai nominal yang sama. Jadi, perbuatan yang dilakukannya itu tidak lebih sekadar membalas kunjungan; mencari impas. Padahal, kadar nilai amal silaturrahmi yang ikhlas cukup besar di sisi Allah, lantas mengapa tega kita manipulasikan menjadi perbuatan yang tanpa makna.
Selain itu, misalnya, pada suatu kampung, ketika ada salah seorang warga yang meninggal dunia, malamnya ratusan masyarakat berbondong-bondong datang ke meunasah atau ke masjid untuk melaksanakan samadiyah yang pahalanya dialamatkan kepada almarhum atau almarhumah. Di pihak lain, ketika ada pengumuman bahwa malam-malam tertentu ada pengajian umum di meunasah atau di masjid, masyarakat yang hadir hanya belasan orang. Padahal, memberikan samadiyah hukumnya sunat, sedangkan mengikuti pengajian hukumnya wajib. Jadi, tidak logis jika orang mau melakukan yang sunat sementara yang wajib ia abaikan. Jika kita kaji-kaji lebih lanjut fenomena tersebut, ternyata animo masyarakat melakukan samadiyah tersebut bukan didasari atas pertimbangan syariah, melainkan karena pertimbangan adat. Kalau kita tidak mau bersamadiyah kepada orang, nanti orang tidak mau bersamadiyah kepada kita. Jadi, yang dikedepankan tetap dasar hana meu-‘oh.
Fenomena sosial lain, misalnya, ketika ada pejabat yang mendapat penghargaan dari seseorang atau lembaga, unsur-unsur pejabat lain yang berada di level bawah pejabat itu, rame-rame menyampaikan ucapan selamat secara tertulis di media massa. Demikian juga, ketika ada anak pejabat atau anak pengusaha atau anak-anak pembesar lainnya pesta, unsur-unsur terkait dengan pejabat atau pengusaha atau pembesar tersebut rame-rame mengirimkan papan bunga ucapan selamat atau parcel. Jika kita telaah, sesungguhnya, tujuan publikasi ucapan selamat dan kiriman papan bunga dan parcel tersebut tidak lain adalah menampakkan kepada orang yang berhajat tersebut bahwa ia peduli terhadap atasan atau mitranya itu. Jadi, ada kepentingan lain di balik tindakannya itu. Inilah yang dalam bahasa kasarnya disebut manusia penjilat.
Masih berkaitan dengan ibadah sosial, fenomena dalam prosesi pilkada misalnya, betapa banyak kandidat yang pasang aksi, pasang janji, dan pasang taji (glöng ukè) di hadapan publik yang semua itu dilakukan mungkin demi meninggikan gengsi, mahwah, dan status quonya di mata publik. Menjelang pilkada, mereka berlomba-lomba peudeuh-peudeuh droe di berbagai ruang publik (baliho, poster, spanduk, surat kabar, televisi, dan sebagainya), berlomba-lomba peutoe-peutoe droe ke berbagai elemen publik, dan berlomba-lomba peujroh-jroh droe di hadapan publik. Setelah prosesi tersebut sukses dan berlalu, sengap lagè teupeulen panyöt; meusidroe tan deuh lé; dan mereka itu akan peudeuh-peudeuh droe lagi lima tahun yang akan datang. Apakah ambisi mereka untuk meraih tampuk kekuasaan atau kepemimpinan didasari oleh cita-cita yang murni untuk  mewujudkan kemaslahatan umat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab misalnya, (ini patut dipertanyakan). Yang kita lihat jelas dengan kasat mata tidak lain adalah sikap arogansi; gontok-gotakan, fitnah-fitnahan, jegal-jegalan antarsesama dalam mencapai dan mengamankan kepentingan masing-masing, sementara konstituen atau publik dipaksa menonton sajian lakon miris dan mengikuti irama dagelan keegoan mereka. Apakah lakon seperti itu bukan dikatakan manisvestasi ria? Homhai. Yang pasti ujôb teumeu’a ria teukabô, di sinan nyang lé ureueng binasa. Demikian ungkapan bahasa Aceh.
Selain dalam hal ibadah, baik ibadah mahdah maupun ibadah sosial, prilaku ria juga sering muncul dari sikap seseorang dalam memakai suatu benda (rumah, kendaraan, pakaian, perhiasan, dll.). Dalam hal ini pelaku ria terlihat dari sikapnya yang cederung memenuhi keinginan daripada kebutuhannya; mereka ini lebih mengedepankan gaya daripada dayanya. Misalnya, bagi seseorang yang telah memiliki keluarga, baginya, memiliki rumah adalah kebutuhan (prioritas utama), dan memiliki mobil merupakan keinginan (prioritas selanjutnya). Demi gengsi, orang tersebut mengutamakan untuk membeli mobil, dan menunda membuat rumah. Demikian juga seorang mahasiswa misalnya, baginya, memiliki bahan-bahan belajar yang cukup adalah kebutuhan, dan memiliki perangkat komunikasi yang canggih lagi mahal merupakan keinginan. Demi gaya, mahasiswa tersebut memilih mengalokasikan uangnya untuk memiliki perangkat komunikasi yang canggih lagi mahal itu daripada pengadaan bahan-bahan belajar. Sesungguhnya, keinginan masih dapat ditunda, sedangkan kebutuhan tak bisa dijeda. Inilah tipe manusia yang melangkahi kubutuhan menggapai keinginan. Tipe manusia seperti ini jauh dari kebahagiaan yang sejati karena dasar sikap dan tindakannya berpondasikan ria.
Contoh lain, seorang perempuan yang bergaya necis, berpakaian modis, berdandanan apik (apalagi perhiasan emas yang seharusnya dipakai di balik pakaiannya dikeluarkan ke bagian luar agar terlihat orang) keluar rumah dengan tujuan utama adalah memperlihatkan kepada orang lain bahwa dia memang cantik dengan gaya, pakaian, dan dandanannya itu; ketika ada orang yang mengatakan bahwa ia necis, modis, dan apik hatinya terasa sangat senang dan bahagia. Contoh lain lagi, seseorang yang mengundang orang yang potensial munyumbang datang ke pesta pernikahan anaknya dengan cara menyampaikan lewat kartu undangan berharap sumbangan dari penerima undangan, sedangkan kepada orang biasa yang tidak potensial menyumbang cukup diundang secara lisan saja, tidak perlu disertakan kartu undangan karena mencetak kartu undangan tersebut butuh modal.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dari semua yang dilakukan orang itu, baik ibadah mahdah yang berhubungan langsung dengan Allah maupun ibadah sosial yang berkaitan dengan manusia. Yang tidak benarnya adalah tindakan kita dalam memanipulasi ibadah. Ibadah-ibadah yang cukup bernilai di mata Allah tega kita ciutkan seciut-ciutnya hanya demi ria; peudeuh-peudeuh kepada manusia. Tersebab ria binasa amal. Inilah yang dalam peribahasa disebut gara-gara setitik nila rusak susu sebelanga.
Dalam kitab Sirus Salikin disebutkan bahwa salah satu penyakit hati adalah ria. Ria diberi pengertian sebagai tindakan seseorang menampak-nampakkan ibadahnya kepada manusia dengan tujuan mencari kesenangan atau kepuasan hati. Dengan perkataan lain, sifat ria dapat membelokkan haluan ibadah yang seharusnya dilakukan semata-mata karena Allah menjadi bercampur karena manusia. Tindakan seseorang dapat dikatakan ria jika terpenuhi tiga hal, yaitu (1) adanya niat beria, (2) adanya sesuatu yang diriakan, dan (3) adanya sasaran periaan. Salah satu dari tiga unsur tersebut tidak terpenuhi, maka itu bukan dikatakan ria. Sebagai ilustrasi, misalnya, seseorang yang menyumbangkan satu ekor hewan kurban kepada suatu kampung; ada kasad dalam hatinya bahwa tujuan dia berkurban, selain melaksanakan ibadah, juga ada keinginan atau harapan supaya dipuji orang kampung tersebut (niat beria), ada hewan kurban (sebagai yang diriakan), dan ada tokoh masyarakat atau masyarakat umum (sebagai sasaran periaan). Berdasarkan martabatnya, tingkatan ria dikategorikan atas tiga macam, yaitu ria terang-terangan, ria tersembunyi, ria lebih tersembunyi.

Ria memang penyakit hati yang sulit dihilangkan. Kehadirannya dalam hati seseorang bagai darah dalam daging. Bagaikan penyedap rasa dalam makanan, ibadah-ibadah yang dikerjakan tak enak rasanya jika tidak terbumbui ria. Namun, perlu kita sadari bahwa Allah menolak amalan hambanya yang didasari atas ria karena ria itu sendiri hukumnya haram dan tergolong dosa besar bagi yang memakainya. Orang ria identik dengan orang munafik, demikian kata seorang ulama tasauf. Maka,  untuk meminimalisasi (memperkecil), mengeliminasi  (menghilangkan), dan mengantisipasi (mencegah)  sifat ria hadir dalam diri seseorang tidak ada jalan lain selain dengan ilmu sehingga dapat memosisikan dirinya pada makam ‘arifin atau muttaqin atau syuhud. Oleh karena itu, berguru untuk mempelajari ilmu tasauf atau ilmu tarikat, sebagai salah satu ilmu yang diwajibkan Allah untuk dipelajari merupakan solusi terbaik. Wallahu’alambissawab.
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur