Peudeuh-Peudeuh
oleh
Azwardi
Budaya menampak-nampakkan sesuatu kepada orang
lain (peudeuh-peudeuh) tampaknya
semakin menggejala di dalam masyarakat kita. Fenomena tersebut, mulai dari
persoalan ibadah (hubungan dengan Allah) sampai dengan persoalan sosial
(hubungan dengan manusia).
Berhubungan dengan ibadah (mahdah), banyak orang yang melakukannya bukan
semata-mata karena Allah, melainkan karena manusia. Misalnya, seseorang yang
menunaikan ibadah haji, selain memang karena menunaikan kewajiban yang diperintahkan
Allah, kasad dalam hatinya juga ada unsur agar mendapat pengakuan manusia
atasnya. Seseorang yang bersadakah, selain bertujuan
melaksanakan amal terbaik, juga berharap diketahui orang lain kalau dia adalah
seorang dermawan yang suka menyumbang. Seseorang calon pengantin yang rajin
melaksanakan salat berjamaah, selain memang melaksanakan perintah Allah juga
karena mencari simpati di mata calon istri atau calon mertuanya.
Berkaitan
dengan ibadah sosial, banyak orang yang melakukannya bukan semata-mata karena
melaksanakan syariah Allah, melainkan karena pertimbangan tidak enak sesama
manusia (hana meu-‘oh). Misalnya,
seseorang mau mengunjungi orang lain (seperti membezuk orang sakit, bertakziah kepada
orang meninggal, atau bersilaturrahmi biasa) karena orang lain itu ada
mengunjunginya. Kalau orang yang mengunjunginya membawa amplop berisi uang sebesar
Rp100.000,00 misalnya, giliran ia mengunjungi orang tersebut juga membawa
amplop yang berisi uang dengan nilai nominal yang sama. Jadi, perbuatan yang
dilakukannya itu tidak lebih sekadar membalas kunjungan; mencari impas. Padahal,
kadar nilai amal silaturrahmi yang ikhlas cukup besar di sisi Allah, lantas mengapa
tega kita manipulasikan menjadi perbuatan yang tanpa makna.
Selain itu, misalnya, pada suatu
kampung, ketika ada salah seorang warga yang meninggal dunia, malamnya ratusan masyarakat
berbondong-bondong datang ke meunasah atau ke masjid untuk melaksanakan
samadiyah yang pahalanya dialamatkan kepada almarhum atau almarhumah. Di pihak
lain, ketika ada pengumuman bahwa malam-malam tertentu ada pengajian umum di
meunasah atau di masjid, masyarakat yang hadir hanya belasan orang. Padahal,
memberikan samadiyah hukumnya sunat, sedangkan mengikuti pengajian hukumnya
wajib. Jadi, tidak logis jika orang mau melakukan yang sunat sementara yang
wajib ia abaikan. Jika kita kaji-kaji lebih lanjut fenomena tersebut, ternyata
animo masyarakat melakukan samadiyah tersebut bukan didasari atas pertimbangan
syariah, melainkan karena pertimbangan adat. Kalau kita tidak mau bersamadiyah
kepada orang, nanti orang tidak mau bersamadiyah kepada kita. Jadi, yang
dikedepankan tetap dasar hana meu-‘oh.
Fenomena sosial lain, misalnya, ketika
ada pejabat yang mendapat penghargaan dari seseorang atau lembaga, unsur-unsur
pejabat lain yang berada di level bawah pejabat itu, rame-rame menyampaikan
ucapan selamat secara tertulis di media massa. Demikian juga, ketika ada anak
pejabat atau anak pengusaha atau anak-anak pembesar lainnya pesta, unsur-unsur
terkait dengan pejabat atau pengusaha atau pembesar tersebut rame-rame mengirimkan
papan bunga ucapan selamat atau parcel. Jika kita telaah, sesungguhnya, tujuan
publikasi ucapan selamat dan kiriman papan bunga dan parcel tersebut tidak lain
adalah menampakkan kepada orang yang berhajat tersebut bahwa ia peduli terhadap
atasan atau mitranya itu. Jadi, ada kepentingan lain di balik tindakannya itu. Inilah yang dalam bahasa kasarnya disebut manusia penjilat.
Masih berkaitan dengan ibadah sosial, fenomena
dalam prosesi pilkada misalnya, betapa banyak kandidat yang pasang aksi, pasang
janji, dan pasang taji (glöng ukè) di
hadapan publik yang semua itu dilakukan mungkin demi meninggikan gengsi,
mahwah, dan status quonya di mata publik. Menjelang pilkada, mereka
berlomba-lomba peudeuh-peudeuh droe
di berbagai ruang publik (baliho, poster, spanduk, surat kabar, televisi, dan
sebagainya), berlomba-lomba peutoe-peutoe
droe ke berbagai elemen publik, dan berlomba-lomba peujroh-jroh droe di hadapan publik. Setelah prosesi tersebut
sukses dan berlalu, sengap lagè teupeulen
panyöt; meusidroe tan deuh lé;
dan mereka itu akan peudeuh-peudeuh droe
lagi lima tahun yang akan datang. Apakah ambisi mereka untuk meraih tampuk
kekuasaan atau kepemimpinan didasari oleh cita-cita yang murni untuk mewujudkan kemaslahatan umat sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab misalnya, (ini patut dipertanyakan). Yang
kita lihat jelas dengan kasat mata tidak lain adalah sikap arogansi;
gontok-gotakan, fitnah-fitnahan, jegal-jegalan antarsesama dalam mencapai dan
mengamankan kepentingan masing-masing, sementara konstituen atau publik dipaksa
menonton sajian lakon miris dan mengikuti irama dagelan keegoan mereka. Apakah
lakon seperti itu bukan dikatakan manisvestasi ria? Homhai. Yang pasti ujôb
teumeu’a ria teukabô, di sinan nyang lé ureueng binasa. Demikian ungkapan
bahasa Aceh.
Selain dalam hal
ibadah, baik ibadah mahdah maupun ibadah sosial, prilaku ria juga sering muncul
dari sikap seseorang dalam memakai suatu benda (rumah, kendaraan, pakaian,
perhiasan, dll.). Dalam hal ini pelaku ria terlihat dari sikapnya yang cederung
memenuhi keinginan daripada kebutuhannya; mereka ini lebih mengedepankan gaya
daripada dayanya. Misalnya, bagi seseorang yang telah memiliki keluarga,
baginya, memiliki rumah adalah kebutuhan (prioritas utama), dan memiliki mobil
merupakan keinginan (prioritas selanjutnya). Demi
gengsi, orang tersebut mengutamakan untuk membeli mobil, dan menunda membuat
rumah. Demikian juga seorang mahasiswa misalnya, baginya, memiliki bahan-bahan
belajar yang cukup adalah kebutuhan, dan memiliki perangkat komunikasi yang
canggih lagi mahal merupakan keinginan. Demi gaya, mahasiswa tersebut memilih
mengalokasikan uangnya untuk memiliki perangkat komunikasi yang canggih lagi
mahal itu daripada pengadaan bahan-bahan belajar. Sesungguhnya,
keinginan masih dapat ditunda, sedangkan kebutuhan tak bisa dijeda. Inilah tipe
manusia yang melangkahi kubutuhan menggapai keinginan. Tipe manusia seperti ini
jauh dari kebahagiaan yang sejati karena dasar sikap dan tindakannya
berpondasikan ria.
Contoh
lain, seorang perempuan yang bergaya necis, berpakaian modis, berdandanan apik
(apalagi perhiasan emas yang seharusnya dipakai di balik pakaiannya dikeluarkan
ke bagian luar agar terlihat orang) keluar rumah dengan tujuan utama adalah
memperlihatkan kepada orang lain bahwa dia memang cantik dengan gaya, pakaian,
dan dandanannya itu; ketika ada orang yang mengatakan bahwa ia necis, modis,
dan apik hatinya terasa sangat senang dan bahagia. Contoh lain lagi, seseorang
yang mengundang orang yang potensial munyumbang datang ke pesta pernikahan
anaknya dengan cara menyampaikan lewat kartu undangan berharap sumbangan dari
penerima undangan, sedangkan kepada orang biasa yang tidak potensial menyumbang
cukup diundang secara lisan saja, tidak perlu disertakan kartu undangan karena
mencetak kartu undangan tersebut butuh modal.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dari semua yang dilakukan
orang itu, baik ibadah mahdah yang berhubungan
langsung dengan Allah maupun ibadah sosial yang berkaitan dengan manusia. Yang
tidak benarnya adalah tindakan kita dalam memanipulasi ibadah. Ibadah-ibadah
yang cukup bernilai di mata Allah tega kita ciutkan seciut-ciutnya hanya demi
ria; peudeuh-peudeuh kepada manusia. Tersebab
ria binasa amal. Inilah yang dalam peribahasa disebut gara-gara setitik nila rusak susu sebelanga.
Dalam kitab Sirus
Salikin disebutkan bahwa salah satu penyakit hati adalah ria. Ria diberi
pengertian sebagai tindakan seseorang menampak-nampakkan ibadahnya kepada
manusia dengan tujuan mencari kesenangan atau kepuasan hati. Dengan perkataan lain, sifat ria dapat membelokkan haluan
ibadah yang seharusnya dilakukan semata-mata karena Allah menjadi bercampur
karena manusia. Tindakan seseorang dapat dikatakan ria jika terpenuhi
tiga hal, yaitu (1) adanya niat beria, (2) adanya sesuatu yang diriakan, dan
(3) adanya sasaran periaan. Salah satu dari tiga unsur tersebut tidak
terpenuhi, maka itu bukan dikatakan ria. Sebagai
ilustrasi, misalnya, seseorang yang menyumbangkan satu ekor hewan kurban kepada
suatu kampung; ada kasad dalam hatinya bahwa tujuan dia berkurban, selain
melaksanakan ibadah, juga ada keinginan atau harapan supaya dipuji orang
kampung tersebut (niat beria), ada hewan kurban (sebagai yang diriakan), dan
ada tokoh masyarakat atau masyarakat umum (sebagai sasaran periaan). Berdasarkan
martabatnya, tingkatan ria dikategorikan atas tiga macam, yaitu ria
terang-terangan, ria tersembunyi, ria lebih tersembunyi.
Ria
memang penyakit hati yang sulit dihilangkan. Kehadirannya dalam hati seseorang
bagai darah dalam daging. Bagaikan penyedap rasa dalam makanan, ibadah-ibadah
yang dikerjakan tak enak rasanya jika tidak terbumbui ria. Namun, perlu kita
sadari bahwa Allah menolak amalan
hambanya yang didasari atas ria karena ria itu sendiri hukumnya haram dan
tergolong dosa besar bagi yang memakainya. Orang ria identik dengan orang
munafik, demikian kata seorang ulama tasauf. Maka, untuk meminimalisasi
(memperkecil), mengeliminasi (menghilangkan), dan mengantisipasi (mencegah) sifat
ria hadir dalam diri seseorang tidak ada jalan lain selain dengan ilmu sehingga
dapat memosisikan dirinya pada makam ‘arifin
atau muttaqin atau syuhud. Oleh karena itu, berguru untuk mempelajari
ilmu tasauf atau ilmu tarikat, sebagai salah satu ilmu yang diwajibkan Allah
untuk dipelajari merupakan solusi terbaik. Wallahu’alambissawab.
Posting Komentar