Undang-Undang Bahasa Indonesia;
Mengapa Tidak?
(Refleksi Bulan
Bahasa 2006)
oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
(Dosen FKIP Unsyiah)
ilustrasi google |
Setiap bulan dalam setahun memiliki momentum-momentum
tertentu yang penting dikenang atau diperingati sebagai sarana refleksi dan
evaluasi atas berbagai kegiatan yang sudah, sedang, dan akan dilakoni manusia. Terkait
dengan itu, dalam dunia kesastraan dan kebahasaan terdapat dua momentum penting
yang selalu dikenang dan diperingati oleh orang-orang yang peduli dengan sastra
dan bahasa Indonesia .
Momentum bulan sastra jatuh
pada bulan April, sedangkan momentum bulan bahasa jatuh pada bulan Oktober.
Bulan sastra terkait dengan meninggalnya penyair besar Angkatan ‚45; si ’binatang jalang’; sastrawan
muda di bidang puisi, yaitu Chairil Anwar. Sementara itu, bulan bahasa terkait
dengan ikrar sumpah pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang di dalamnya termuat,
antara lain, pernyataan, “Kami putra puti Indonesia menjungjung tinggi bahasa
persatuan, bahasa Indonesia“.
Selain merupakan butir penting
ikrar sumpah pemuda, secara hukum, bahasa Indonesia termaktup di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selanjutnya, secara
operasional, bahasa Indonesia dikuatkan dengan penegasan fungsi dan
kedudukannya sebagai bahasa negara. Jadi, tidak ada alasan masyarakat Indonesia
tidak peduli terhadap pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kita mungkin sepakat bahwa sampai saat ini masih
membutuhkan bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi. Kita masih membaca
buku, koran, majalalah, dan sebagainya yang ditulis atau disampaikan dalam
bahasa Indonesia. Kita masih berkomunikasi antarsesama dengan menggunakan media
bahasa Indonesia. Sejak sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi materi
pelajaran bahasa Indonesia selalu diberikan. Bahasa Indonesia merupakan mata
pelajaran yang wajib dipelajari oleh setiap peserta didik. Apa pun lembaga
pendidikan, jurusan, dan progam yang digelutinya tetap ada pelajaran bahasa
Indonesia. Pada jenjang sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan atas, jika
nilai bahasa Indonesia tidak mencapai angka enam, anak didik tidak bisa
dinaikkan kelas. Pada jenjang perguruan tinggi, jika nilai bahasa Indonesia
berada di level E atau belum lulus, sampai kapan pun mahasiswa tersebut tidak
bisa menjadi sarjana karena mata kuliah bahasa Indonesia merupakan bagian dari
beban SKS yang wajib dilunasinya. Dari kenyataan tersebut, dapat kita simpulkan
bahwa bahasa Indoneseia itu penting dipelajari dan dipergunakan secara baik dan
benar. Kecuali itu, ciri substansial manusia yang bepikir adalah membaca dan menulis atau menyerap dan
mentransformasikan ilmu. Melalui membaca memperoleh ilmu atau pengalaman. Semua
input pengetahuan yang diserap melalui bahan bacaan harus bisa direkonstruksi;
disampaikan ulang kepada orang lain. Dengan demikian, proses pengembangan
keilmuan terus berlanjut. Itulah ciri orang berpikir (ulil albab).
Sikap pembelajar
dan pemakai bahasa Indonesia terkesan tidak positif. Tidak menganggap penting belajar
dan menggunakan bahasa Indonesia dan benar. Hal tersebut tecermin dari
memakaian bahasa Indonesia sehari-hari yang cenderung tidak baik, tidak benar, tidak
logis, dan tidak sistematis baik oleh masyarakat awam maupun masyarakat
terpelajar. Dalam kenyataan penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari, baik dalam
situasi resmi, maupun tidak (seperti media luar ruang) sering kita jumpai
pemakaian bahasa Indonesia yang salah atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa
tersebut. Selain persoalan kedidakbenaran, tidak jarang juga ditemukan
ketidaklogisan pemakaian bahasa Indonesia.
Sehubungan
dengan hal itu, dapat ditegaskan bahwa jangan menganggap berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar itu mudah sehingga kita tidak merasa perlu belajar dan
menggunakan bahasa tersebut secara sungguh-sungguh dan cermat. Jika kita
menganggap berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu mudah, kita tidak akan
pernah sukses belajar bahasa Indonesia atau tidak akan pernah terampil
berbahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulis.
“Bahasa
menunjukkan bangsa”, “Mulutmu harimaumu”, “Bahasa adalah pedang”. Demikian,
antara lain, ungkapan tentang bahasa. Ungkapan tersebut mengandung maksud bahwa bahasa merupakan identitas, dan kecermatan
dalam berbahasa merupakan hal penting. Bahasa salah cermin pikiran kacau.
Dalam masa modern, kekeliruan
penafsiran karena perbedaan bahasa tidak dapat dihindari. Kesalahfahaman,
pertengkaran, peperangan, dan bencana lain yang disebabkan ketidaktahuan
tentang apa yang dimaksudkan orang lain terus terjadi. Sebagai contoh, seorang
pedagang suku cadang mobil di Italia memesan suku cadang mobil dari Venuzuela.
Ketika pesanan itu tiba, ternyata suku cadang traktor karena pihak pengekspor
salah menafsirkan pesan yang bermakna mobil. Demikian juga penumpang kapal Andrea Doria terpaksa harus tenggelam dalam sebuah bencana laut karena
mereka tidak dapat memahami petunjuk untuk menyelamatkan diri yang disampaikan
dalam bahasa yang tidak dipahami para penumpang kapal itu. Begitu juga
orang-orang yang panik ketika terjadi gempa dan tsunami 26 Desember 2004
terjerembab menabrak kaca di bandara karena tidak mengerti pesan yang ditulis
dalam bahasa Inggris yang berarti ‘awas kaca’ itu. Kedisiplinan dan kesefahaman
dalam berbahasa dapat mengeliminasi hal tersebut.
Dalam pada
itu, cermati pemakaian bahasa sehari-hari dalam konteks berikut!
(1) Dilarang buang sampah di sini!
(2) Hati-hati, ada pekerjaan!
(3) kopi banget, coklat banget
(4)
TPI makin asik, makin Indonesia
(5) maksud daripada kedatangan kami ke sini
(6) Darussalam--Banda Aceh
(7) Untuk mempersingkat waktu, acara
selanjutnya kata-kata sambutan dari Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kepada Bapak Gubernur kami persilakan dengan segala hormat!
(8) Bus Antar Kota Antar Provinsi
(9) Mari kita berdoa agar Persiraja Banda Aceh
memenangkan setiap pertandingan!
(10)
Juara
terbaik I, II, dan III memperoleh hadiah berupa uang tunai masing-masing
sebesar Rp 3.000.000,00, Rp2.000.000,00, dan Rp1.000.000,00.
(11)
Anda
memasuki kawasan tertib lalu lintas dan wajib helm!
(12)
Anda
memasuki kawasan wajib berbusana muslim!
Jika
kita cermati secara saksama, kalimat (1) memiliki makna ‘sampah yang ada di
tempat tersebut jangan dibuang, sekaligus berarti yang dari tempat lain bawa ke
tempat itu’. Kesalahan kalimat tersebut
hanya pada penggunaan kata depan, yaitu di
yang seharusnya ke. Kalimat (2) tidak
logis karena umumya orang mencari pekerjaan. Mengapa harus hati-hati jika ada
pekerjaaan. Frasa kopi banget tidak
berterima karena secara teoretis kata seperti banget, makin, sangat, dan paling tidak dapat mendampingi kata benda (nomina). Kata-kata
seperti itu umumnya mendampingi kata sifat (adjektiva). Hal yang sama juga
terlihat pada kalimat (4). Kata daripada
hanya dipakai untuk menyatakan perbandingan. Pada frasa maksud daripada kedatangan kami ke sini penggunaan kata daripada tidak diperlukan. Dalam konteks
(6) untuk memisahkan kota yang lebih kecil daripada kota yang lebih besar
digunakan tanda baca koma, bukan tanda pisah. Jika digunakan tanda pisah, hal
itu bermakna ‘Darussalam sampai dengan Banda Aceh’. Pada kalimat (7) tidak
masuk akal waktu dapat dipersingkat. Selanjutnya setiap kalimat harus memiliki
unsur fungsional sekurang-kurangnya subjek dan predikat. Kalimat Kepada
Bapak Guberbur kami persilakan dengan hormat! berstruktur K-P-K. Jadi,
kesalahan kalimat tersebut karena tidak memiliki subjek. Dalam konteks (8) jika
ditulis terpisah kata antar bermakna
’mengantar’. Itu
artinya bus harus lebih besar daripada kota atau provinsi. Jika tidak, bus
tersebut tidak mungkin mengantar kota atau provinsi. Akhiran –kan pada kata memenangkan bermakna benefaktif, yaitu perbuatan yang dilakukan
untuk orang lain. Dengan demikian, makna seruan dalam kalimat (9) tersebut
mendoakan agar Persiraja Banda Aceh selalu kalah atau memberi menang kepada
pihak lain. Kemudian, awalan ter-
pada kata terbaik bermakna ’paling’,
berarti ’satu-satunya’, tidak ada I, II, dan III. Terakhir, kalimat (11) dan
(12) tidak perlu tercetus, apalagi memampangkannya di jalan atau tempat-tempat
umum. Kita semua setuju bahwa di semua kawasan publik, khususya di Nanggroe
Aceh Darussalam, harus tertib lalu lintas, pengendara sepeda motor harus pakai
helm, masyarakatnya yang muslim wajib berbusama muslim, misalnya mengenakan
jilbab. Jika ada pernyataan seperti itu, berarti ada kawasan yang boleh tidak
tertib lalu lintas atau ada kawasan yang boleh tidak pakai helm atau ada
kawasan yang boleh tidak berpakaian muslimat. Jadi, pernyataan itu merupakan
bagian dari pemakaian bahasa yang salah kaprah yang perlu diperbaiki. Secara
keseluruhan, satuan kebahasaan tersebut yang betulnya dapat ditulis sebagai
berikut:
(1a) Dilarang buang sampah ke sini!
(2a) Hati-hati, jalan Anda sedang
diperbaiki!
(3a) sangat terasa kopinya
(4a) TPI makin asik dan digemari oleh
orang Indonesia.
(5a) maksud kedatangan kami ke sini
(6a) Darussalam, Banda Aceh
(7a) Selanjutnya, sambutan Gubernur Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Bapak Gubernur kami
persilakan dengan hormat!
(8a) Bus Antarkota Antarprovinsi
(9a) Mari kita berdoa agar Persiraja
Banda Aceh menang dalam setiap pertandingan!
(10a) Juara I, II, dan III
memperoleh hadiah berupa uang tunai masing-masing sebesar
Rp3.000.000,00., Rp2.000.000,00, dan
Rp1.000.000,00.
Kesalahan
berbahasa lumrah terjadi, lebih-lebih lagi jika berbahasa secara lisan. Tidak
ada seorang pun yang seratus persen benar berbahasanya.
Seorang ahli bahasa sekalipun tidak luput dari melakukan kesalahan berbahasa.
Sehubungan dengan hal itu, yang perlu kita lakukan adalah meminimalisasi
kesalahan. Maksudnya, kita berusaha secermat mungkin dalam menggunakan bahasa
sehingga persentase kesalahan yang kita lakukan relatif kecil. Untuk
memperkecil kesalahan berbahasa tentunya kita harus mengetahui kaidah-kaidah
bahasa tersebut secara baik. Untuk itu,
kesungguh-sungguhan dalam belajar dan berlatih bahasa merupakan sikap yang
sangat positif.
Terhadap pengguna bahasa Indonesia
yang tidak peduli dengan kaidah pengunaan bahasa yang baik dan benar akan
terkena sangsi hukum karena ke depan akan lahir Undang-Undang Bahasa Indonesia.
Artinya, nantinya akan ada pemakai bahasa Indonesia ,
baik secara perseorangan maupun institusi, yang dicabut izin usahanya atau masuk
penjara gara-gara salah berbahasa Indonesia . Penggelindingan wacana
undang-undang bahasa Indonesia didasari atas tingginya eskalasi ketidakdisiplinan
pemakaian bahasa Indonesia yang terlihat akhir-akhir ini, khususnya di
tempat-tempat umum. Jika hal itu dibiarkan, tidak ada political will dari pemerintah secara tegas, dikhawatirkan bangsa Indonesia
akan kehilangan jatidirinya sebagai bangsa yang berbudaya. Demikian inti
perbincangan saya beberapa waktu yang lalu dengan Kepala Pusat Bahasa Republik Indonesia ,
Dendi Sugono. Sebagai pencinta bahasa Indonesia saya merasa gembira atas wacana
tersebut. Kokohnya dasar hukum tentang pentingnya apresiasi terhadap bahasa
Indonesia ternyata belum cukup sehingga diperlukan undang-undang yang mengatur
secara lebih teknis dan operasional. Semoga bangsa Indonesia akan dapat
mengartikulasikan bahasanya secara baik, benar, logis, cermat, dan santun.
Posting Komentar