Home » » Undang-Undang Bahasa Indonesia; Mengapa Tidak? (Refleksi Bulan Bahasa 2006)

Undang-Undang Bahasa Indonesia; Mengapa Tidak? (Refleksi Bulan Bahasa 2006)

Written By Unknown on Kamis, 17 Juli 2014 | 09.31

Undang-Undang Bahasa Indonesia; Mengapa Tidak?
(Refleksi Bulan Bahasa 2006)

oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
(Dosen FKIP Unsyiah)

ilustrasi google
Setiap bulan dalam setahun memiliki momentum-momentum tertentu yang penting dikenang atau diperingati sebagai sarana refleksi dan evaluasi atas berbagai kegiatan yang sudah, sedang, dan akan dilakoni manusia. Terkait dengan itu, dalam dunia kesastraan dan kebahasaan terdapat dua momentum penting yang selalu dikenang dan diperingati oleh orang-orang yang peduli dengan sastra dan bahasa Indonesia. Momentum bulan sastra jatuh pada bulan April, sedangkan momentum bulan bahasa jatuh pada bulan Oktober. Bulan sastra terkait dengan meninggalnya penyair  besar Angkatan ‚45; si ’binatang jalang’; sastrawan muda di bidang puisi, yaitu Chairil Anwar. Sementara itu, bulan bahasa terkait dengan ikrar sumpah pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang di dalamnya termuat, antara lain, pernyataan, “Kami putra puti Indonesia menjungjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia“.
Selain merupakan butir penting ikrar sumpah pemuda, secara hukum, bahasa Indonesia termaktup di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selanjutnya, secara operasional, bahasa Indonesia dikuatkan dengan penegasan fungsi dan kedudukannya sebagai bahasa negara. Jadi, tidak ada alasan masyarakat Indonesia tidak peduli terhadap pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kita mungkin sepakat bahwa sampai saat ini masih membutuhkan bahasa Indonesia sebagai sarana berkomunikasi. Kita masih membaca buku, koran, majalalah, dan sebagainya yang ditulis atau disampaikan dalam bahasa Indonesia. Kita masih berkomunikasi antarsesama dengan menggunakan media bahasa Indonesia. Sejak sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi materi pelajaran bahasa Indonesia selalu diberikan. Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh setiap peserta didik. Apa pun lembaga pendidikan, jurusan, dan progam yang digelutinya tetap ada pelajaran bahasa Indonesia. Pada jenjang sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan atas, jika nilai bahasa Indonesia tidak mencapai angka enam, anak didik tidak bisa dinaikkan kelas. Pada jenjang perguruan tinggi, jika nilai bahasa Indonesia berada di level E atau belum lulus, sampai kapan pun mahasiswa tersebut tidak bisa menjadi sarjana karena mata kuliah bahasa Indonesia merupakan bagian dari beban SKS yang wajib dilunasinya. Dari kenyataan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa bahasa Indoneseia itu penting dipelajari dan dipergunakan secara baik dan benar. Kecuali itu, ciri substansial manusia yang bepikir adalah  membaca dan menulis atau menyerap dan mentransformasikan ilmu. Melalui membaca memperoleh ilmu atau pengalaman. Semua input pengetahuan yang diserap melalui bahan bacaan harus bisa direkonstruksi; disampaikan ulang kepada orang lain. Dengan demikian, proses pengembangan keilmuan terus berlanjut. Itulah ciri orang berpikir (ulil albab).
Sikap pembelajar dan pemakai bahasa Indonesia terkesan tidak positif. Tidak menganggap penting belajar dan menggunakan bahasa Indonesia dan benar. Hal tersebut tecermin dari memakaian bahasa Indonesia sehari-hari yang cenderung tidak baik, tidak benar, tidak logis, dan tidak sistematis baik oleh masyarakat awam maupun masyarakat terpelajar. Dalam kenyataan penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari, baik dalam situasi resmi, maupun tidak (seperti media luar ruang) sering kita jumpai pemakaian bahasa Indonesia yang salah atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa tersebut. Selain persoalan kedidakbenaran, tidak jarang juga ditemukan ketidaklogisan pemakaian bahasa Indonesia.
Sehubungan dengan hal itu, dapat ditegaskan bahwa jangan menganggap berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu mudah sehingga kita tidak merasa perlu belajar dan menggunakan bahasa tersebut secara sungguh-sungguh dan cermat. Jika kita menganggap berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu mudah, kita tidak akan pernah sukses belajar bahasa Indonesia atau tidak akan pernah terampil berbahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulis.
“Bahasa menunjukkan bangsa”, “Mulutmu harimaumu”, “Bahasa adalah pedang”. Demikian, antara lain, ungkapan tentang bahasa. Ungkapan tersebut mengandung maksud bahwa bahasa merupakan identitas, dan kecermatan dalam berbahasa merupakan hal penting. Bahasa salah cermin pikiran kacau.
Dalam masa modern, kekeliruan penafsiran karena perbedaan bahasa tidak dapat dihindari. Kesalahfahaman, pertengkaran, peperangan, dan bencana lain yang disebabkan ketidaktahuan tentang apa yang dimaksudkan orang lain terus terjadi. Sebagai contoh, seorang pedagang suku cadang mobil di Italia memesan suku cadang mobil dari Venuzuela. Ketika pesanan itu tiba, ternyata suku cadang traktor karena pihak pengekspor salah menafsirkan pesan yang bermakna mobil. Demikian juga penumpang kapal Andrea Doria terpaksa harus tenggelam dalam sebuah bencana laut karena mereka tidak dapat memahami petunjuk untuk menyelamatkan diri yang disampaikan dalam bahasa yang tidak dipahami para penumpang kapal itu. Begitu juga orang-orang yang panik ketika terjadi gempa dan tsunami 26 Desember 2004 terjerembab menabrak kaca di bandara karena tidak mengerti pesan yang ditulis dalam bahasa Inggris yang berarti ‘awas kaca’ itu. Kedisiplinan dan kesefahaman dalam berbahasa dapat mengeliminasi hal tersebut.
Dalam pada itu, cermati pemakaian bahasa sehari-hari dalam konteks berikut!
(1)   Dilarang buang sampah di sini!
(2)   Hati-hati, ada pekerjaan!
(3)   kopi banget, coklat banget
(4)   TPI makin asik, makin Indonesia
(5)   maksud daripada kedatangan kami ke sini
(6)   Darussalam--Banda Aceh
(7)   Untuk mempersingkat waktu, acara selanjutnya kata-kata sambutan dari Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kepada Bapak Gubernur kami persilakan dengan segala hormat!
(8)   Bus Antar Kota Antar Provinsi
(9)   Mari kita berdoa agar Persiraja Banda Aceh memenangkan setiap pertandingan!
(10)           Juara terbaik I, II, dan III memperoleh hadiah berupa uang tunai masing-masing sebesar Rp 3.000.000,00, Rp2.000.000,00, dan  Rp1.000.000,00.
(11)           Anda memasuki kawasan tertib lalu lintas dan wajib helm!
(12)           Anda memasuki kawasan wajib berbusana muslim!

Jika kita cermati secara saksama, kalimat (1) memiliki makna ‘sampah yang ada di tempat tersebut jangan dibuang, sekaligus berarti yang dari tempat lain bawa ke tempat itu’.  Kesalahan kalimat tersebut hanya pada penggunaan kata depan, yaitu di yang seharusnya ke. Kalimat (2) tidak logis karena umumya orang mencari pekerjaan. Mengapa harus hati-hati jika ada pekerjaaan. Frasa kopi banget tidak berterima karena secara teoretis kata seperti banget, makin, sangat, dan paling tidak dapat mendampingi kata benda (nomina). Kata-kata seperti itu umumnya mendampingi kata sifat (adjektiva). Hal yang sama juga terlihat pada kalimat (4). Kata daripada hanya dipakai untuk menyatakan perbandingan. Pada frasa maksud daripada kedatangan kami ke sini penggunaan kata daripada tidak diperlukan. Dalam konteks (6) untuk memisahkan kota yang lebih kecil daripada kota yang lebih besar digunakan tanda baca koma, bukan tanda pisah. Jika digunakan tanda pisah, hal itu bermakna ‘Darussalam sampai dengan Banda Aceh’. Pada kalimat (7) tidak masuk akal waktu dapat dipersingkat. Selanjutnya setiap kalimat harus memiliki unsur fungsional sekurang-kurangnya subjek dan predikat. Kalimat Kepada Bapak Guberbur kami persilakan dengan hormat! berstruktur K-P-K. Jadi, kesalahan kalimat tersebut karena tidak memiliki subjek. Dalam konteks (8) jika ditulis terpisah kata antar bermakna ’mengantar’. Itu artinya bus harus lebih besar daripada kota atau provinsi. Jika tidak, bus tersebut tidak mungkin mengantar kota atau provinsi. Akhiran –kan pada kata memenangkan bermakna benefaktif, yaitu perbuatan yang dilakukan untuk orang lain. Dengan demikian, makna seruan dalam kalimat (9) tersebut mendoakan agar Persiraja Banda Aceh selalu kalah atau memberi menang kepada pihak lain. Kemudian, awalan ter- pada kata terbaik bermakna ’paling’, berarti ’satu-satunya’, tidak ada I, II, dan III. Terakhir, kalimat (11) dan (12) tidak perlu tercetus, apalagi memampangkannya di jalan atau tempat-tempat umum. Kita semua setuju bahwa di semua kawasan publik, khususya di Nanggroe Aceh Darussalam, harus tertib lalu lintas, pengendara sepeda motor harus pakai helm, masyarakatnya yang muslim wajib berbusama muslim, misalnya mengenakan jilbab. Jika ada pernyataan seperti itu, berarti ada kawasan yang boleh tidak tertib lalu lintas atau ada kawasan yang boleh tidak pakai helm atau ada kawasan yang boleh tidak berpakaian muslimat. Jadi, pernyataan itu merupakan bagian dari pemakaian bahasa yang salah kaprah yang perlu diperbaiki. Secara keseluruhan, satuan kebahasaan tersebut yang betulnya dapat ditulis sebagai berikut:

(1a) Dilarang buang sampah ke sini!
(2a) Hati-hati, jalan Anda sedang diperbaiki!
(3a) sangat terasa kopinya
(4a) TPI makin asik dan digemari oleh orang Indonesia.
(5a) maksud kedatangan kami ke sini
(6a) Darussalam, Banda Aceh
(7a) Selanjutnya, sambutan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bapak Gubernur kami
       persilakan dengan hormat!
(8a) Bus Antarkota Antarprovinsi
(9a) Mari kita berdoa agar Persiraja Banda Aceh menang dalam setiap pertandingan!
(10a) Juara I, II, dan III memperoleh hadiah berupa uang tunai masing-masing sebesar
         Rp3.000.000,00., Rp2.000.000,00, dan Rp1.000.000,00.

Kesalahan berbahasa lumrah terjadi, lebih-lebih lagi jika berbahasa secara lisan. Tidak ada seorang pun yang seratus persen benar berbahasanya. Seorang ahli bahasa sekalipun tidak luput dari melakukan kesalahan berbahasa. Sehubungan dengan hal itu, yang perlu kita lakukan adalah meminimalisasi kesalahan. Maksudnya, kita berusaha secermat mungkin dalam menggunakan bahasa sehingga persentase kesalahan yang kita lakukan relatif kecil. Untuk memperkecil kesalahan berbahasa tentunya kita harus mengetahui kaidah-kaidah bahasa tersebut secara baik. Untuk itu,  kesungguh-sungguhan dalam belajar dan berlatih bahasa merupakan sikap yang sangat positif.  

Terhadap pengguna bahasa Indonesia yang tidak peduli dengan kaidah pengunaan bahasa yang baik dan benar akan terkena sangsi hukum karena ke depan akan lahir Undang-Undang Bahasa Indonesia. Artinya, nantinya akan ada pemakai bahasa Indonesia, baik secara perseorangan maupun institusi, yang dicabut izin usahanya atau masuk penjara gara-gara salah berbahasa Indonesia. Penggelindingan wacana undang-undang bahasa Indonesia didasari atas tingginya eskalasi ketidakdisiplinan pemakaian bahasa Indonesia yang terlihat akhir-akhir ini, khususnya di tempat-tempat umum. Jika hal itu dibiarkan, tidak ada political will dari pemerintah secara tegas, dikhawatirkan bangsa Indonesia akan kehilangan jatidirinya sebagai bangsa yang berbudaya. Demikian inti perbincangan saya beberapa waktu yang lalu dengan Kepala Pusat Bahasa Republik Indonesia, Dendi Sugono. Sebagai pencinta bahasa Indonesia saya merasa gembira atas wacana tersebut. Kokohnya dasar hukum tentang pentingnya apresiasi terhadap bahasa Indonesia ternyata belum cukup sehingga diperlukan undang-undang yang mengatur secara lebih teknis dan operasional. Semoga bangsa Indonesia akan dapat mengartikulasikan bahasanya secara baik, benar, logis, cermat, dan santun.
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur