Home » » TOEFL vs UKBI

TOEFL vs UKBI

Written By Unknown on Jumat, 15 Mei 2015 | 09.38

NASIONALISME seorang warga negara, antara lain, diukur berdasarkan kecintaan kepada Tanah Air-nya dan sikap positif terhadap bahasanya. Sikap positifnya terhadap bahasa tecermin dari kebanggaannya dalam menggunakan bahasa nasionalnya. Dewasa ini rakyat Indonesia sepertinya tidak bangga lagi ber-Tanah Air Indonesia, sudah enggan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Indikasi ini, antara lain, terlihat dari pembedaan perlakuan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibandingkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Ini misalnya terlihat dari ketimpangan kebijakan antara TOEFL (Test of English as a Foreign Language) dan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). 

Sesuai dengan Surat Edaran Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Nomor 1190/UN11/PP/2015 Tanggal 18 Maret 2015 tentang Ketentuan TOEFL Bagi Mahasiswa yang akan Sidang Skripsi/Tugas Akhir, Tesis, dan Disertasi yang mensyaratkan nilai TOEFL 450 sebelum meninggalkan almamaternya telah meresahkan sebagian besar mahasiswa. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari mahasiswa, mereka sepertinya sangat tertekan (stress) menghadapi ketentuan baru tersebut. Betapa tidak, setelah mengikuti kuliah umum Bahasa Inggris 2 SKS pada semester awal dengan nilai pas-pasan, tiba-tiba kini, di akhir perkuliahannya, mereka dipaksa wajib memperoleh nilai TOEFL sebesar itu. Ketentuan wajib lulus TOEFL 450 telah menjadi momok bagi sebagain besar mahasiswa calon sarjana.

Akhirnya, mau tidak mau mereka terpaksa tergiring untuk mengikuti paket perkuliahan tambahan yang nol SKS itu, yaitu Pelatihan TOEFL yang diselenggarakan melalui Unit Pelaksana Teknis Pusat Bahasa Unsyiah. Mereka harus mengalokasikan waktu selama 9 hari penuh dan mengeluarkan biaya sebesar Rp 70.000-Rp 200.000 (S1), Rp 750.000-Rp 1.250.000 (pascasarjana) per mahasiswa per sekali pelatihan. Mereka merasa telah terperangkap dalam pengondisian yang tidak nyaman alias berada dalam kondisi yang tertekan. Padahal, sebagaimana Rita Khathir (Serambi, 28/3/2015) bahwa belajar bahasa tidak dapat dilakukan di bawah tekanan.
Kemampuan belajar bahasa harus sempurna terkait aspek mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Kalau tidak mau mengikuti proses tersebut, konsekuensinya mereka tidak legal menggunakan gelar akademiknya karena tidak memenuhi syarat untuk diyudisiumkan. Meskipun sudah dinyatakan lulus ujian meja hijau (ujian sarjana), pada periode yudisium terakhir di FKIP Unsyiah misalnya, jumlah peserta yudisium menurun drastis karena mereka belum lulus TOEFL itu.

Tidak logis

Kewajiban mengantongi TOEFL dengan skor 450 merupakan sesuatu yang tidak logis diterapkan secara terburu-buru dan massal kepada semua mahasiswa. Ekses penerapan domain yang katanya termaktub dalam statuta univertitas itu menjalar ke mana-mana. Program tersebut lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Mahasiswa merasa dihantui dengan kebijakan rektor tersebut. Berdasarkan tinjauan akademik, memang idealnya sarjana atau lulusan perguruan tinggi, apa pun stratanya, mesti melek bahasa internasional itu karena penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi lazimnya ditulis orang dalam bahasa tersebut.

Akan tetapi, di sisi lain, mahasiswa kita belum terkondisikan dalam bingkai kepositifan belajar bahasa yang ideal selama berada di universitasnya. Mereka merasa dipaksa didril belajar bahasa Inggris dalam kondisi yang belum tentu mereka enjoy menjalaninya. Selain itu, fasilitas yang tersedia untuk itu juga sangat terbatas. Umumnya lulusan S1 hanya sebagian kecil yang melanjutkan studinya ke jenjang pascasarjana atau ke luar negeri. Jika ada di antara mereka yang berminat atau berencana melanjutkan studi ke luar negeri, tanpa disuruh pun mereka akan mengikuti program intensif bahasa Inggris untuk mencapai skor TOEFL tertentu sebagaimana yang disyaratkan oleh pihak universitas yang mereka sasar.

Pemberlakukan wajib TOEFL itu juga berbenturan keras dengan idealisme akademik lainnya. Betapa tidak, di satu sisi secara kolosal mahasiswa harus mengikuti paket Pelatihan TOEFL. Di sisi lain, ketersediaan fasilitas (laboratorium bahasa) dan fasilitator yang berkompeten untuk itu sangat terbatas. Bedasarkan pengalaman yang sudah dan sedang berlangsung, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unsyiah jadwalnya untuk mengajar atau memfasilitasi kelas Pelatihan TOEFL itu sangat padat, sementara mereka berkewajiban mengajar penuh kepada mahasiswa reguler di program studi homebase-nya.

Selain itu, peserta yang mengikuti program ini juga terkesan “dilonggarkan” standarnya, khususnya bagi mahasiswa yang divonis “kritis”. Meskipun idealnya belum mencapai target nilai yang sesungguhnya yang harus dicapai, akhirnya mereka juga “diluluskan”. Bila memang demikian yang terjadi, berarti nilai TOEFL yang diburu itu hanya formalitas belaka. Kompetensi lulusan berkaitan dengan penguasaan kompetensi dan performansi bahasa Inggris tetap biasa-biasa saja. Akhirnya masyarakat apriori dan menuding bahwa program ini merupakan proyek akademik yang dibalut kebijakan institusi. Bagaimana pertanggungjawaban akademik dengan kebijakan seperti itu? Wallahu’alam. Hom hai.

Perlu digalakkan
Semestinya UKBI yang utama perlu digalakkan kepada para mahasiswa atau calon sarjana sebagai bukti rasa nasionalismenya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau Bahasa Aceh sebagai wujud kecintaannya terhadap kearifan lokalnya. Untuk itu, semua pihak, terutama pemerintah perlu bersikap positif terhadap kebijakan politik bahasanya. Wujud sikap positif tersebut, antara lain, pemerintah harus mensyaratkan nilai UKBI mencapai level tertentu sebagai syarat melamar menjadi calon mahasiswa atau menjadi calon pegawai negeri sipil (PNS).

Terlebih lagi bahwa tuntutan bersikap positif terhadap bahasa Indonesia merupakan amanat UUD 1945, UU RI Nomor 24 Tahun 2009 (tentang kebahasaan), dan Permen Nomor 57 Tahun 2014 (tentang pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra serta peningkatan fungsi bahasa). Jika kebijakan itu, tidak mau dilaksanakan oleh pemerintah, sampai kapan pun kualitas sarjana berada di bawah standar. Itulah sebabnya, mengapa jarang sekali kita temukan civitas akademika atau PNS yang terampil dan produktif menulis ilmiah sesuai dengan bidang kesarjanaannya masing-masing dalam upaya menyebarkan dan mengembangkan ilmunya, padahal mereka sedang atau telah dicap sebagai ilmuan.

Lalu, beranikah pemerintah atau rektor suatu universitas menetapkan standar UKBI ini sebagai satu instrumen utama dalam menjaring atau merekrut orang-orang potensial untuk menjadi PNS di pemerintahan atau calon ilmuan di perguruan tinggi. Bila tidak, berarti bahwa kampanye tentang nasionalisme, kedisiplinan nasional, cinta Tanah Air Indonesia, cinta bahasa Indonesia, dan sebagainya berupa kamuflase yang hanya terdengar nyaring di bibir dan tak bergetar di hati. PNS yang terekrut tetap tidak produktif, sarjana yang terorbit tetap juga tidak terampil berkarya tulis. Tugas-tugas akademik yang harus mereka kumpulkan sering berupa dokumen plagiasi yang lempang-lempar saja di-copy-paste dari karya orang lain tanpa mengindahkan prosedur ilmiah.

Terkait dengan pelaksanaan pembelajaran di perguruan tinggi, pengalaman saya memfasilitasi mahasiswa belajar bahasa Indonesia, terindikasi bahwa mereka sangat lemah kompetensinya di bidang bahasa Indonesia, khususnya dalam menulis ilmiah. Meskipun telah didril selama satu semester, sedikit sekali di antara mereka yang terorbit menjadi penulis yang terampil. Kondisi ini diperparah dengan sistem pembelajaran yang tidak ideal. Kelas belajar bahasa Indonesia mencapai 60 dalam orang satu kelas. Inilah kenyataan yang terjadi selama ini, padahal Bahasa Indonesia merupakan mata kuliah wajib sebagai konten pembinaan karakter. Kebijakan universitas dalam penyelenggaraan pembelajaran bahasa Indonesia juga belum positif. Belum terlihat political will pemimpin universitas dalam upaya menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Menurut hemat saya, kebijakan mengutamakan pencapaian kompetensi bahasa asing dan pengabaian kompetensi bahasa nasional atau bahasa lokal merupakan sikap yang tidak positif, bahkan dapat dikatakan diskriminatif. Hal tersebut bertentangan dengan regulasi yang ada berkaitan dengan bahasa Indonesia. Inilah yang dalam ungkapan bahasa Aceh, let boh puuek ro bu lam eumpang atau peribahasa Indonesia “berharap burung terbang tinggi punai di tangan dilepaskan”. Demi pretise bahasa asing yang belum tentu kita pakai, tega mengesampingkan bahasa Nasional sendiri yang jelas-jelas setiap hari kita pakai. Akibatnya, kelunturan nasionalisme kian masif terjadi. Nah!
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur