Home » » Bahasa Aceh dan Perkembangannya

Bahasa Aceh dan Perkembangannya

Written By Unknown on Rabu, 30 Juli 2014 | 08.33

Azwardi, S.Pd., M.Hum.
Ada tiga hal utama yang perlu dikemukakan di sini berkaitan dengan perkembangan bahasa Aceh dalam masyarakat. Pertama, perkembangan akibat interaksi antara bahasa Aceh dan bahasa daerah. Interaksi ini tidak semata-mata terjadi antara bahasa Aceh dan bahasa-bahasa daerah di Aceh, tetapi juga interaksi antara bahasa Aceh dan bahasa lain sebagai akibat dari proses mobilisasi penduduk, misalnya melalui program transmigrasi yang menghadirkan bahasa Jawa di tengah-tengah pemakai bahasa Aceh. Interaksi semacam itu di satu sisi dipandang secara positif karena dapat menyebabkan bahasa Aceh berkembang dengan baik, terutama di dalam pemekaran kosakata atau strukturnya. Di sisi lain, interaksi demikian juga dapat berakibat bahasa Aceh mendominasi bahasa-bahasa  daerah tadi karena jumlah penutur, tempat percakapan, daerah asal pemakai bahasa, dan situasi sosial percakapan cenderung dikuasai oleh bahasa Aceh karena luasnya pemakaian bahasa tersebut.

Pemberlakuan otonomi sebagaimana dapat kita saksikan pada hari ini telah ikut pula mempengaruhi perkembangan bahasa-bahasa di Aceh. Setiap daerah yang memiliki bahasa sendiri memiliki kewenangan untuk memelihara dan mengembangkan bahasa mereka. Di satu pihak keadaan ini dipandang menguntungkan karena bahasa daerah menjadi terpelihara dan berkembang sebagaimana diharapkan. Akan tetapi, di pihak lain hal ini dikhawatirkan dapat melahirkan suatu kondisi yang saling menyaingi karena setiap daerah ingin agar bahasa mereka diperhatikan secara istimewa. Daerah-daerah dapat menuntut agar bahasa ibu mereka ikut diajarkan sebagai sebuah muatan lokal, paling tidak di wilayah mereka masing-masing. Tuntutan seperti ini sangat beralasan di era reformasi dan globalisasi karena setiap komunitas ingin memiliki jati diri agar dapat memenangi persaingan yang demikian ketat tanpa melihat bahwa dengan cara seperti itu, kurikulum sekolah semakin dibebani oleh bahasa-bahasa daerah itu. 

Kekhawatiran itu masih dapat diatasi jika ada sebuah kebijakan berikut. Pelajaran bahasa Aceh dikemas dengan memanfaatkan keanekaragaman budaya yang ada dalam masyarakat. Caranya adalah semua data bahasa daerah di Aceh diteliti agar diperoleh kesepadanan tata bunyi, gramatika, dan makna, yang kemudian dimanfaatkan dalam menyusun bahan pelajaran bahasa Aceh. Bahan demikian diharapkan dapat menimbulkan semangat kebersamaan, rasa memiliki, serta rasa menghargai pada setiap anak didik sehingga mereka tidak mempunyai anggapan bahwa bahasa daerah mereka telah dikucilkan dan mereka telah dipaksa secara halus untuk belajar bahasa Aceh. Tampaknya pada masa sekarang adanya sebuah kesadaran bahwa bahasa Aceh adalah bahasa utama masyarakat sehingga sungguh wajar jika diajarkan di sekolah-sekolah tidak dapat menjadi jaminan lagi di era reformasi ini. Peluang disintegrasi sangat terbuka. 

Kedua, perkembangan bahasa Aceh dalam masyarakat dapat disebabkan oleh interaksi bahasa tersebut dengan bahasa Indonesia. Di satu pihak interaksi itu dapat menguntungkan bahasa Aceh, misalnya dalam pengembangan kosakata bahasa tersebut untuk mengisi kekosongan-kekosongan yang ada, terutama yang berkenaan dengan konsep-konsep baru, seperti keubajikan ‘kebajikan’, keuhutanan ‘kehutanan’, peungaduan ‘pengaduan’, peulajaran ‘pelajaran’, urôsan ‘urusan’, tulésan ‘tulisan’. Interaksi ini bahkan telah terjadi jauh sebelum bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia. Tradisi Melayu dengan huruf India setidak-tidaknya telah ada di Aceh pada abad ke-14 lewat prasasti di Minjè Tujôh pada tahun 1380. Sejak masa itu bahasa Melayu mulai dikenal pula dengan nama bahasa Jawi terutama karena dihubungkan dengan tulisan Melayu berhuruf Arab sebagai akibat dari pengaruh agama Islam dan bahasa Arab yang masuk ke Aceh.

Di pihak lain interaksi di atas dapat pula dilihat sebagai hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan bahasa Aceh. Bahasa Indonesia telah mendominasi bahasa Aceh antara lain karena ada keharusan dari pihak pemerintah untuk menggunakan bahasa tersebut dalam berbagai keperluan formal seperti di sekolah, kantor-kantor pemerintah, dan pertemuan-pertemuan resmi lain. Hal itu belum lagi ditambah dengan adanya perkawinan antarsuku, mobilitas penduduk, dan modernisasi, yang sedikit demi sedikit  telah mengakibatkan bahasa Aceh mulai ditinggalkan oleh masyarakat.  Dominasi demikian bahkan telah terjadi pada antargenerasi. Keluarga-keluarga muda yang meskipun masih menggunakan bahasa Aceh, tetapi komunikasi dengan anak-anak mereka pada umumnya telah dilakukan dengan bahasa Indonesia. Hal itu tidak semata-mata terjadi di wilayah perkotaan, tetapi juga di desa-desa. Anak-anak desa yang tidak dapat berbahasa Indonesia bahkan menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Bahasa Indonesia pada saat ini dipandang sangat penting oleh orang-orang Aceh di desa-desa supaya anak mereka dapat menerima pelajaran di sekolah dengan baik dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Memang sama-sama kita maklumi bahwa ada kebijakan pemerintah yang membolehkan bahasa daerah digunakan sebagai bahasa pengantar di kelas permulaan pada jenjang pendidikan dasar di daerah-daerah terpencil, tetapi dalam kenyataannya hampir semua guru justru menggunakan bahasa Indonesia di daerah-daerah itu dengan berbagai alasan. 

Ketiga, globalisasi semakin menempatkan bahasa Aceh pada posisi subordinasi di dalam masyarakat pemakainya pada saat ini. Mereka mulai bertanya-tanya tentang keuntungan-keuntungan belajar bahasa Aceh karena mereka hanya melihat bahwa bahasa tersebut hanya digunakan untuk kepentingan komunikasi sehari-hari. Bahasa Aceh akan semakin ditinggalkan apabila dari sekarang tidak dipikirkan langkah-langkah baru untuk meredefinisi kembali peran bahasa tersebut di dalam masyarakat. Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran kepada mereka bahwa bahasa adalah mediasi pikiran, perasaan, dan perbuatan. Identitas dan kehidupan penutur serta nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya tidak dapat dihayati kecuali melalui bahasa itu sendiri karena keyakinan, sikap, perilaku, dan bahkan penilaian terhadap sesuatu selalu dinyatakan di dalam bahasa tersebut. Demikian pula, kekayaan-kekayaan  budaya, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, sistem kemasyarakatan, mata pencaharian, seni, dan religi, hanya dapat dipahami apabila dikomunikasikan dengan bahasa tersebut. Langkah kedua adalah dengan membuat suatu perencanaan bahasa, mulai dari merencanakan status bahasa agar bahasa Aceh memperoleh beban wahana (vehicular load) baru yang tidak semata-mata sebagai alat komunikasi sampai dengan  merencanakan korpus bahasa agar daya ungkap bahasa tersebut semakin meningkat dan berkembang sehingga mampu mewadahi beban wahana tambahan yang diberikan kepadanya.

Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur