Ilustrasi gambar, anggota BKA sedang bersih-bersih. |
Sesuai dengan
teori kesemestaan bahasa, bahasa-bahasa daerah, misalnya bahasa Aceh, memiliki
dialek dan subdialek tersendiri yang antara dialek dan atau subdialek yang lain
memiliki ciri pemerlaian (ciri pembeda). Selain itu, setiap bahasa tersebut
juga mengalami perkembangan, baik menyangkut dengan sistem bahasanya maupun
sebaran wilayah dan jumlah penuturnya. Perkembangan tersebut terjadi secara
pesat dalam kurun waktu tertentu sehingga kemungkinan besar telah melampaui
batas-batas yang ditetapkan terdahulu.
Sumarsono dan
Paina Partana (2002:9-10) mengemukakan bahwa dalam dialektologi (kajian tentang
variasi bahasa) dipelajari berbagai dialek dan subdialek dari suatu bahasa yang
tersebar di berbagai wilayah. Tujuannya adalah untuk mencari hubungan
kekeluargaan di antara dialek-dialek itu. Selain itu, untuk menentukan sejarah
perubahan bunyi atau bentuk kata serta maknanya, dari masa ke masa dan dari
satu tempat ke tempat lain. Titik berat kajian terletak pada kata. Setelah
ditemukan sejumlah kata yang mempunyai berbagai lafal bunyi dan bentuk pada
sejumlah dialek di berbagai tempat, baru dibuat semacam peta, yakni peta
dialek. Di dalam peta itu
tertera garis-garis yang menghubungkan tempat satu ke tempat lain. Garis itu,
yang disebut isoglos, menandakan di
tempat-tempat yang dihubungkan oleh garis-garis itu ada persamaan bentuk
(lafal) bagi sebuah kata tertentu. Misalnya,untuk kata “apa” ada tiga jenis
lafal, yakni “[apa], [apo], dan [ape]”. Dapat dikatakanbahwa dialek suatu
bahasa adalah salah satu sistem bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat untuk
membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga yang menggunakan system
bahasa yang berlainan meskipun mempunyai hubungan yang erat (Ayatroheidi, 1983:1).
Secara garis
besar dialek bahasa Aceh dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni dialek Aceh
dan dialek bukan Aceh. Dialek Aceh berarti dialek yang digunakan oleh penutur
asli (native speaker) bahasa itu, sedangkan dialek bukan Aceh berarti
dialek yang bukan digunakan oleh penutur asli bahasa itu. Dalam golongan kedua
ini termasuk orang-orang yang belajar bahasa Aceh untuk berbagai keperluan,
para pendatang (misalnya melalui program transmigrasi), serta masyarakat luas
lainnya yang menggunakan bahasa Aceh, tetapi secara tanpa sadar mereka telah
mencampurinya dengan unsur-unsur bahasa lain (seperti bahasa daerah tempat
mereka berada atau bahasa Indonesia), yang dengan nyata dapat ditangkap, antara
lain, melalui lafal bahasa Aceh mereka yang berbeda dari penutur asli. Semua
dialek bukan Aceh ini diberi nama dialek kreol.
Dialek Aceh memiliki
beberapa kekhasan. Kekhasan ini terutama terlihat dari lafal bahasa itu oleh
para penutur asli. Kekhasan dialek itu merupakan hal yang wajar ada karena
bahasa Aceh digunakan oleh para penduduk di berbagai tempat. Semua kekhasan ini
masih dikatakan sebagai dialek karena masing-masingnya dapat dipahami secara
timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang daerahnya
berdampingan. Beberapa dialek itu adalah sebagai berikut.
Di Aceh Besar ada fonem /a/ di akhir kata yang di
daerah-daerah tertentu terdengar diucapkan menjadi [a], [ə], atau [εa].
Kata hana ‘tidak ada’, misalnya, kadang-kadang diucapkan menjadi [hana],
[hanə], atau [hanєa]. Ucapan [hana] dapat kita dengar,
misalnya di sekitar Montasik, Krueng Raya, Indrapuri, Seulimum, dan Lam Tamot,
ucapan [hanə] di Samahani, Ulee
Lheue, dan Lhok Nga, serta ucapan [hanɛa] di beberapa tempat di Sibreh, Lam Manyang, Lam Jabat, dan Lam Badeuk. Di
Aceh Besar juga terdapat fonem /s/ dan /r/, yang di daerah-daerah lain di Aceh
secara berturut-turut merupakan frikatif-alveolar serta getar-alveolar, tetapi
di sini diucapkan masing-masing menjadi frikatif-dental [θ] seperti th
dalam thing (bahasa Inggris): [θah] ‘sah’, [θə] ‘satu’,
serta frikatif-velar-bersuara [ﻻ]: [ﻻo] ‘tumpah’, [θﻻah] ‘cuci’.
Di Pidie, misalnya di Keumbang Tanjong, ada
penambahan bunyi [i], seperti [pataih] ‘patah’, [broih] ‘sampah’, [pruih]
‘tiup’, apabila sebuah kata berakhir
dengan vokal dan kemudian disusul bunyi [h]. (Akan tetapi, bunyi [i] pada
[bukaih] ‘bekas’ tidak menjadi ciri khas di daerah itu karena digunakan untuk
membedakan dengan [bukah] ‘pecah’.) Di daerah-daerah lain di Aceh penambahan bunyi
[i] seperti di atas tidak terdengar: [patah], [broh], [pruh]. Di samping itu,
di Pidie juga terdapat bunyi vokal [u] yang di dalam dialek lain menjadi [ω] (ditulis eu)
serta bunyi vokal [ω] yang di dalam dialek lain menjadi [u].
Pertukaran kedua bunyi ini kerap terdengar pada suku pertama kata dari kata
bersuku dua atau kata bersuku tiga. Jadi, kata-kata di daerah lain seperti reubah
‘jatuh’, teubai ‘tebal’ diucapkan di Pidie menjadi [rubaih] dan [tubai],
sedangkan kata-kata seperti rukok ‘rokok’, mupat ‘tahu tempatnya’
diucapkan menjadi [rωkɔk] dan
[mωpat].
Di Aceh Barat pada umumnya
digunakan beberapa klitik persona yang agak berbeda dengan di daerah-daerah
lain. Di daerah itu klitik ku- untuk persona pertama ‘saya’ sangat lazim
dipakai, misalnya hana ku-woe ‘saya tidak pulang’, tetapi di
dialek-dialek lain agak dihindari karena dianggap tidak sopan. Bentuk yang
lebih sopan sebagai pengganti klitik tadi adalah lôn- atau lông-:
hana lôn-woe. Di pihak lain, klitik ta- untuk persona kedua
‘anda’, yang di daerah-daerah lain cukup sopan, misalnya dalam ho ta-jak ‘ke
mana Anda pergi’, tetapi di Aceh Barat dihindari karena dianggap kasar.
Mereka lebih suka menggunakan bentuk panjang gata ‘anda’, sapaan-sapaan
lain sebagai persona kedua, atau geu- : ho gata-jak ‘ke mana Anda
pergi’, ho ayah-jak ‘ke mana Bapak pergi’, ho Teungku jak ‘ke
mana Teungku pergi’, ho geu-jak ‘ke mana Anda pergi’. Khusus tentang geu-
ini, di daerah-daerah pemakaian bahasa Aceh yang lain, ia merupakan klitik
persona ketiga ‘beliau’ sehingga di daerah-daerah tadi ho geu-jak akan
diartikan menjadi ‘ke mana beliau pergi’.
Di Kabupaten Aceh Jaya, misalnya di beberapa
tempat di Kecamatan Jaya, ada juga kekhasan penuturan bahasa Aceh yang
berhubungan dengan pemakaian diftong. Kata berdiftong [ɔə] seperti [barɔə] ‘kemarin’, [kamɔə] ‘kami’ dalam dialek lain diucapkan menjadi
[barai] dan [kamai] di Lamno, Lamme, dan Pante Ceureumen, atau [barɛ] dan [kamɛ] di Kuala Unga,
Lambeusoi, Kuala Daya, dan Keuluang. Di pihak lain, bunyi [a] pada akhir kata bahasa Aceh
diucapkan menjadi [ə] dalam semua daerah tadi, misalnya [guda]
‘kuda’ dan [kaya] ‘kaya’ diucapkan menjadi [gudə] dan [kayə].
Khusus pada kata gata ‘anda’ diucapkan menjadi [gωtə], yang memperlihatkan bahwa ada pula
perubahan bunyi [a] pada suku pertama kata tadi menjadi [ω].
Akhirnya, ada pula kekhasan
bahasa Aceh di Aceh Utara, Bireuen, dan Aceh Timur, khususnya berkaitan dengan
pemakaian enklitik. Pada umumnya di tempat-tempat lain di Aceh enklitik tidak
terdengar ketika orang-orang berbicara dalam bahasa tersebut. Akan tetapi,
khusus pada ketiga wilayah tadi, pemakaian enklitik sering sekali diucapkan
orang ketika mereka bercakap-cakap, misalnya kamoe h’an ék-meuh meunyo
gopnyan galak-geuh ‘kami tidak mau kalau beliau suka’. Di daerah lain semua
enklitik seperti tadi, misalnya –meuh yang merujuk kepada kamoe
‘kami’ atau –geuh yang merujuk kepada gopnyan ‘beliau’, sangat
jarang terdengar diucapkan orang. Tuturan tadi biasanya diucapkan menjadi kamoe
h’an ék meunyo gopnyan galak.
Posting Komentar