Home » » Dialek Bahasa Aceh

Dialek Bahasa Aceh

Written By Unknown on Selasa, 16 September 2014 | 11.08


Ilustrasi gambar, anggota BKA sedang bersih-bersih.
Secara teoretis setiap bahasa mempunyai dialek dan subdialek tersendiri serta wilayah pemakaiannya (peta bahasa). Bahasa Aceh, misalnya, memiliki empat dialek geografis, yakni dialek Aceh Besar, dialek Pidie, dialek Aceh Utara, dan dialek Aceh Barat (Asyik, 1978:1). Sementara itu, hasil-hasil penelitian mutakhir telah merekomendasikan bahwa dialek bahasa Aceh, selain empat dialek yang tersebut di atas, juga terdapat dialek Daya (di Kabupaten Aceh Jaya) dan dialek Selatan (di Kabupaten Aceh Selatan). Berkaitan dengan hal tersebut, Kushartanti, dkk (2005) mengatakan bahwa ragam bahasa dapat dibincangkan berdasarkan fungsinya dalam masyarakat yang multibahasa (seperti Aceh).
 
Sesuai dengan teori kesemestaan bahasa, bahasa-bahasa daerah, misalnya bahasa Aceh, memiliki dialek dan subdialek tersendiri yang antara dialek dan atau subdialek yang lain memiliki ciri pemerlaian (ciri pembeda). Selain itu, setiap bahasa tersebut juga mengalami perkembangan, baik menyangkut dengan sistem bahasanya maupun sebaran wilayah dan jumlah penuturnya. Perkembangan tersebut terjadi secara pesat dalam kurun waktu tertentu sehingga kemungkinan besar telah melampaui batas-batas yang ditetapkan terdahulu. 

Sumarsono dan Paina Partana (2002:9-10) mengemukakan bahwa dalam dialektologi (kajian tentang variasi bahasa) dipelajari berbagai dialek dan subdialek dari suatu bahasa yang tersebar di berbagai wilayah. Tujuannya adalah untuk mencari hubungan kekeluargaan di antara dialek-dialek itu. Selain itu, untuk menentukan sejarah perubahan bunyi atau bentuk kata serta maknanya, dari masa ke masa dan dari satu tempat ke tempat lain. Titik berat kajian terletak pada kata. Setelah ditemukan sejumlah kata yang mempunyai berbagai lafal bunyi dan bentuk pada sejumlah dialek di berbagai tempat, baru dibuat semacam peta, yakni peta dialek. Di dalam peta itu tertera garis-garis yang menghubungkan tempat satu ke tempat lain. Garis itu, yang disebut isoglos, menandakan di tempat-tempat yang dihubungkan oleh garis-garis itu ada persamaan bentuk (lafal) bagi sebuah kata tertentu. Misalnya,untuk kata “apa” ada tiga jenis lafal, yakni “[apa], [apo], dan [ape]”. Dapat dikatakanbahwa dialek suatu bahasa adalah salah satu sistem bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga yang menggunakan system bahasa yang berlainan meskipun mempunyai hubungan yang erat  (Ayatroheidi, 1983:1). 

Secara garis besar dialek bahasa Aceh dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni dialek Aceh dan dialek bukan Aceh. Dialek Aceh berarti dialek yang digunakan oleh penutur asli (native speaker) bahasa itu, sedangkan dialek bukan Aceh berarti dialek yang bukan digunakan oleh penutur asli bahasa itu. Dalam golongan kedua ini termasuk orang-orang yang belajar bahasa Aceh untuk berbagai keperluan, para pendatang (misalnya melalui program transmigrasi), serta masyarakat luas lainnya yang menggunakan bahasa Aceh, tetapi secara tanpa sadar mereka telah mencampurinya dengan unsur-unsur bahasa lain (seperti bahasa daerah tempat mereka berada atau bahasa Indonesia), yang dengan nyata dapat ditangkap, antara lain, melalui lafal bahasa Aceh mereka yang berbeda dari penutur asli. Semua dialek bukan Aceh ini diberi nama dialek kreol. 

            Dialek Aceh memiliki beberapa kekhasan. Kekhasan ini terutama terlihat dari lafal bahasa itu oleh para penutur asli. Kekhasan dialek itu merupakan hal yang wajar ada karena bahasa Aceh digunakan oleh para penduduk di berbagai tempat. Semua kekhasan ini masih dikatakan sebagai dialek karena masing-masingnya dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang daerahnya berdampingan. Beberapa dialek itu adalah sebagai berikut. 

Di Aceh Besar ada fonem /a/ di akhir kata yang di daerah-daerah tertentu terdengar diucapkan menjadi [a], [ə], atau [εa]. Kata hana ‘tidak ada’, misalnya, kadang-kadang diucapkan menjadi [hana], [hanə], atau [hanєa]. Ucapan [hana] dapat kita dengar, misalnya di sekitar Montasik, Krueng Raya, Indrapuri, Seulimum, dan Lam Tamot, ucapan [hanə] di Samahani, Ulee Lheue, dan Lhok Nga, serta ucapan [hanɛa] di beberapa tempat di Sibreh, Lam Manyang, Lam Jabat, dan Lam Badeuk. Di Aceh Besar juga terdapat fonem /s/ dan /r/, yang di daerah-daerah lain di Aceh secara berturut-turut merupakan frikatif-alveolar serta getar-alveolar, tetapi di sini diucapkan masing-masing menjadi frikatif-dental [θ] seperti th dalam thing (bahasa Inggris): [θah] ‘sah’, [θə] ‘satu’,  serta frikatif-velar-bersuara []: [o] ‘tumpah’, [θﻻah] ‘cuci’. 

Di Pidie, misalnya di Keumbang Tanjong, ada penambahan bunyi [i], seperti [pataih] ‘patah’, [broih] ‘sampah’, [pruih] ‘tiup’, apabila sebuah  kata berakhir dengan vokal dan kemudian disusul bunyi [h]. (Akan tetapi, bunyi [i] pada [bukaih] ‘bekas’ tidak menjadi ciri khas di daerah itu karena digunakan untuk membedakan dengan [bukah] ‘pecah’.) Di daerah-daerah lain di Aceh penambahan bunyi [i] seperti di atas tidak terdengar: [patah], [broh], [pruh]. Di samping itu, di Pidie juga terdapat bunyi vokal [u] yang di dalam dialek lain menjadi [ω] (ditulis eu) serta bunyi vokal [ω] yang di dalam dialek lain menjadi [u]. Pertukaran kedua bunyi ini kerap terdengar pada suku pertama kata dari kata bersuku dua atau kata bersuku tiga. Jadi, kata-kata di daerah lain seperti reubah ‘jatuh’, teubai ‘tebal’ diucapkan di Pidie menjadi [rubaih] dan [tubai], sedangkan kata-kata seperti rukok ‘rokok’, mupat ‘tahu tempatnya’ diucapkan menjadi [rωkɔk] dan [mωpat].      

            Di Aceh Barat pada umumnya digunakan beberapa klitik persona yang agak berbeda dengan di daerah-daerah lain. Di daerah itu klitik ku- untuk persona pertama ‘saya’ sangat lazim dipakai, misalnya hana ku-woe ‘saya tidak pulang’, tetapi di dialek-dialek lain agak dihindari karena dianggap tidak sopan. Bentuk yang lebih sopan sebagai pengganti klitik tadi adalah lôn- atau lông-: hana lôn-woe. Di pihak lain, klitik ta- untuk persona kedua ‘anda’, yang di daerah-daerah lain cukup sopan, misalnya dalam ho ta-jak ‘ke mana Anda pergi’, tetapi di Aceh Barat dihindari karena dianggap kasar. Mereka lebih suka menggunakan bentuk panjang gata ‘anda’, sapaan-sapaan lain sebagai persona kedua, atau geu- : ho gata-jak ‘ke mana Anda pergi’, ho ayah-jak ‘ke mana Bapak pergi’, ho Teungku jak ‘ke mana Teungku pergi’, ho geu-jak ‘ke mana Anda pergi’. Khusus tentang ­geu- ini, di daerah-daerah pemakaian bahasa Aceh yang lain, ia merupakan klitik persona ketiga ‘beliau’ sehingga di daerah-daerah tadi ho geu-jak akan diartikan menjadi ‘ke mana beliau pergi’. 

Di Kabupaten Aceh Jaya, misalnya di beberapa tempat di Kecamatan Jaya, ada juga kekhasan penuturan bahasa Aceh yang berhubungan dengan pemakaian diftong. Kata berdiftong [ɔə] seperti [barɔə] ‘kemarin’, [kamɔə] ‘kami’ dalam dialek lain diucapkan menjadi [barai] dan [kamai] di Lamno, Lamme, dan Pante Ceureumen, atau  [barɛ] dan [kamɛ] di Kuala Unga, Lambeusoi, Kuala Daya, dan Keuluang. Di pihak lain,  bunyi [a] pada akhir kata bahasa Aceh diucapkan menjadi [ə] dalam semua daerah tadi, misalnya [guda] ‘kuda’ dan [kaya] ‘kaya’ diucapkan menjadi [gudə] dan [kayə]. Khusus pada kata gata ‘anda’ diucapkan menjadi [gωtə], yang memperlihatkan bahwa ada pula perubahan bunyi [a] pada suku pertama kata tadi menjadi [ω]. 

Akhirnya, ada pula kekhasan bahasa Aceh di Aceh Utara, Bireuen, dan Aceh Timur, khususnya berkaitan dengan pemakaian enklitik. Pada umumnya di tempat-tempat lain di Aceh enklitik tidak terdengar ketika orang-orang berbicara dalam bahasa tersebut. Akan tetapi, khusus pada ketiga wilayah tadi, pemakaian enklitik sering sekali diucapkan orang ketika mereka bercakap-cakap, misalnya kamoe h’an ék-meuh meunyo gopnyan galak-geuh ‘kami tidak mau kalau beliau suka’. Di daerah lain semua enklitik seperti tadi, misalnya –meuh yang merujuk kepada kamoe ‘kami’ atau –geuh yang merujuk kepada gopnyan ‘beliau’, sangat jarang terdengar diucapkan orang. Tuturan tadi biasanya diucapkan menjadi kamoe h’an ék meunyo gopnyan galak.
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur