Home » » Penelitian Bahasa Aceh

Penelitian Bahasa Aceh

Written By Unknown on Selasa, 16 September 2014 | 11.20



Sampai dengan saat ini karya-karya tentang bahasa Aceh belum begitu banyak dilakukan orang. Semua karya yang ada pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi tiga bidang utama: kamus, gramatika, dan sastra.


Peta bahasa Aceh.
Kamus bahasa Aceh pertama sekali dibuat oleh van Langen pada tahun 1889 untuk keperluan transkripsi sastra Aceh dari huruf Arab ke huruf Latin. Namun, karena bukan seorang ahli bahasa, van Langen mengalami kesulitan untuk memerikan lafal orang Aceh melalui sastra, yang pada umumnya disusun dalam bentuk kata-kata bersajak. Baru tiga tahun kemudian, pada tahun 1892, keluar sebuah kamus bahasa Aceh dari Snouck Hurgronje, dengan sistem ejaan yang lebih baik, yang diambilnya dari sistem ejaan bahasa Perancis karena vokal-vokal bahasa tersebut memiliki banyak persamaan dengan vokal-vokal bahasa Aceh. Karya Snouck kemudian menjadi pedoman dalam penulisan beberapa kamus bahasa Aceh yang terbit kemudian, misalnya yang ditulis oleh Kreemer (1931) atau oleh Djajadiningrat (1934). Akan tetapi, dalam periode berikutnya, terutama setelah bahasa Aceh memiliki sistem ejaan tersendiri pada tahun 1980 yang dihasilkan dari seminar bahasa Aceh di Universitas Syiah Kuala, sistem ejaan Snouck mengalami beberapa perubahan agar menjadi lebih sederhana, seperti huruf Arab ‘ain (ع) diganti dengan koma terbalik (‘) pada vokal sengau, huruf hamzah (۶) diganti dengan tanda petik (‘), serta tanda trema di atas huruf e (ë) dihilangkan. Perubahan itu telah mempengaruhi sistem penulisan kamus yang terbit berikutnya, misalnya Kamus Aceh Indonesia oleh Aboe Bakar dkk. pada tahun 1985.   
\
Berkaitan dengan sistem penulisan ejaan bahasa Aceh tadi, ada perkembangan menarik yang terjadi di dalam masyarakat pada saat ini. Dalam sebuah lokakarya Asyik (1992) mengemukakan bahwa sejak sistem ejaan bahasa Aceh lahir pada tahun 1980, para penulis bahasa Aceh terbagi ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah para peneliti dan penulis buku pelajaran bahasa Aceh, yang dengan setia dalam setiap tulisan mereka selalu menggunakan sistem ejaan tahun 1980 itu. Di pihak lain, golongan kedua adalah masyarakat umum, seperti penulis di surat kabar, majalah, penggubah lagu, atau penulis hikayat, yang tidak mau menggunakan tanda-tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi, misalnya antara kéh ‘kantong’ [keh] dan kèh ‘korek api’ [kɛh], antara le ‘banyak’ [lə] dan ‘oleh’ [le], antara boh ‘buah’ [bɔh], bôh ‘isikan’ [boh], dan böh ‘buang’ [bʌh]. Alasan mereka adalah tanda-tanda seperti itu tidak praktis, tidak ada dalam mesin tik, dan membingungkan mereka. 

Atas dasar keadaan demikian dalam masyarakat, Asyik lalu mengusulkan sebuah versi ejaan bahasa Aceh dengan menghilangkan saja semua tanda di atas vokal-vokal itu. Di samping itu, beliau juga mengoreksi beberapa kekeliruan sistem ejaan tahun 1980, seperti penulisan huruf b dalam rab ‘dekat’, tob ‘tikam’, yang semestinya adalah rap dan top karena tidak ada fonem /b/ di akhir kata-kata asli bahasa Aceh, serta penggabungan beu dan meu dalam beutoe ‘dekatkanlah’, meukön ‘jika bukan’, yang seharusnya ditulis terpisah menjadi beu toe dan meu kön karena beu dan meu pada contoh-contoh itu adalah kata, bukan prefiks. 

Akan tetapi, usul Asyik kurang mendapat tanggapan masyarakat. Para peneliti dan penulis buku bahasa Aceh yang belum mendapat pengetahuan linguistik secara memadai masih tetap menggunakan huruf b pada akhir kata-kata asli bahasa Aceh, misalnya gob ‘orang lain’, cob ‘menjahit’, grôb ‘melompat’. Mereka juga tidak memisahkan bentuk desideratif beu dengan kata berikutnya, misalnya beujra ‘biar jera’, beumaté ‘sampai mati’, yang seharusnya ditulis beu jra dan beu maté, serta tidak membedakan antara meu sebagai kata, yang ditulis terpisah dari kata berikutnya, misalnya dalam meu h’an ‘jika tidak’, yang mereka tulis meuh’an, dengan meu- sebagai sebuah prefiks, yang memang harus ditulis gabung, misalnya meuakai ‘berakal’.

Hal lain adalah tanda-tanda di atas vokal. Masyarakat umum memang tidak menggunakan tanda-tanda itu, tetapi mereka secara tidak konsisten menulis huruf-huruf lain sebagai pengganti tanda-tanda tadi. Sebagaimana dikemukakan Djunaidi (2000), vokal é seperti dalam maté ‘mati’ ditulis mate atau matee, vokal è seperti dalam hèk ‘letih’ ditulis hek atau heek, vokal ö seperti dalam böh ‘buang’ ditulis boh, boeh, atau bouh, serta vokal ô seperti dalam lôn ‘saya’ ditulis lon, loen, atau loun. Untuk itu, Djunaidi memberikan tiga catatan penting mengenai pemakaian huruf-huruf ini. Pertama, simbol huruf yang digunakan antara penulis yang satu dan penulis yang lain ternyata berbeda-beda. Misalnya, pada kata tôp ‘tutup’, ada yang menulis top, toep, atau toup. Perbedaan tata penulisan itu bahkan sering dilakukan oleh penulis yang sama dalam satu tulisannya. Misalnya, pada kata sôh ‘meninju’ mereka menulisnya sooh, tetapi pada kata bôh ‘mengisikan’ mereka menulisnya bouh, padahal dalam kedua kata itu digunakan fonem ô yang sama. Kedua, pemunculan huruf ee oleh para penulis sebagai pengganti huruf é akan mendapat hambatan pada kata-kata tertentu, misalnya pada kata asee ‘hasil’. Dalam bahasa Aceh ee dapat diartikan juga sebagai diftong, misalnya dalam kayèe ‘kayu’, abèe ‘abu’, batèe ‘batu’, sehingga kata asee dapat juga berarti ‘anjing’ karena menurut sistem tadi kata ‘anjing’ akan ditulis menjadi asee. Ketiga, pemunculan huruf oe sebagai  pengganti ô juga akan menghadapi tantangan untuk kata tertentu, misalnya pada taloe ‘kalah’. Dalam bahasa Aceh oe adalah diftong, seperti dalam bloe ‘beli’, lakoe ‘suami’, kamoe ‘kami’, sehingga kata taloe ‘kalah’ dapat berarti juga taloe ‘tali’. Ini semua menunjukkan bahwa jika memang ada keinginan agar semua tanda aksen, sirkonfleks, dan aksen hendak dihilangkan dalam kata-kata bahasa Aceh, perlu ditetapkan sejak sekarang sebuah sistem standar untuk menuliskan kata-kata seperti itu supaya terdapat keseragaman, yang merupakan bagian dari ciri sebuah bahasa, yakni bersistem.

Penelitian/penulisan tentang bahasa Aceh, antara lain, dalam Sulaiman (1979), Asyik (1972; 1978), Djunaidi (1992; 1996), Carlson (1983), Cowan (1948; 1974; 1981), dan Durie (1982; 1985; 1986; 1987). Semua hasil penelitian tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bidang kajian, yaitu fonologi dan leksikografi, morfologi dan sintaksis, serta cerita rakyat dan naskah kuno (lihat Djunaidi 1992).

Sebagaimana bahasa Aceh, bahasa-bahasa daerah lainnya, juga harus dapat menjadi objek pengkajian/penelitian/penulisan secara komprehensif substansi keilmuan setiap bahasa daerah tersebut dapat dipelajari dan dikembangkan sebagai bagian dari aset budaya bangsa. Berkaitan dengan itu, penelitian tentang bahasa-bahasa daerah yang ada dan berkembang di ACEH sangat urgen dilakukan, apalagi jika dikaitkan dengan politik bahasa Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 BAB XV (Di daerah-daerah yang memiliki bahasa sendiri, yang dipelihara oleh masyarakatnya baik-baik, misalnya bahasa Jawa, Sunda, dan Batak, bahasa itu akan dihormati dan dipelihara oleh negara. Bahasa itu merupakan sebagian dari kebudayaan bangsa yang hidup).
Inventarisasi hasil penelitian tentang bahasa Aceh sebagaimana tertera dalam tabel berikut.


No.
Peneliti
Tahun
Judul Penelitian
1.      
Budiman Sulaiman
1979
Bahasa Aceh
2.      
Abdul Gani Asyik
1972

3.      
Abdul Gani Asyik
1978
Bunyi Bahasa dalam Kata Tiruan Bunyi Bahasa Aceh
4.      
Cowan
1948

5.      
Cowan
1974

6.      
Cowan
1981

7.      
Mark Durie
1982

8.      
Mark Durie
1985

9.      
Mark Durie
1986

10.  
Mark Durie
1987

11.  
Carlson
1983

12.  
Abdul Djunaidi
1992
Morfosintaksis Bahasa Aceh: Analisis Tipologi Sintaksis
13.  
Abdul Djunaidi
1996
Relasi-relasi Gramatikal dalam Bahasa Aceh: Satu Telaah Berdasarkan Teori Tata Bahasa Relasional
14.  
Zaini Ali dkk
1984
Sistem Perulangan Bahasa Aceh
15.  
M. Adnan Hanafiah dan Ibrahim Makam
1984
Struktur Bahasa Aceh
16.  
Wildan
2002
Tata Bahasa Aceh
17.  
Azwardi
2002
Reduplikasi Verba Bahasa Aceh
18.  
Azwardi
2002
Onomatopoeia Reduplikasi Bahasa Aceh
19.  
Azwardi
2007
Analisis Kesalahan Penulisan BA
20.  
Armia
2005
Prefiks Verbal Bahasa Aceh
21.  
Armia
2005
Pronomina Persona Bahasa Aceh

Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur