Sampai dengan saat ini karya-karya tentang bahasa Aceh belum begitu banyak dilakukan orang. Semua karya yang ada pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi tiga bidang utama: kamus, gramatika, dan sastra.
Peta bahasa Aceh. |
Kamus bahasa
Aceh pertama sekali dibuat oleh van Langen pada tahun 1889 untuk keperluan
transkripsi sastra Aceh dari huruf Arab ke huruf Latin. Namun, karena bukan
seorang ahli bahasa, van Langen mengalami kesulitan untuk memerikan lafal orang
Aceh melalui sastra, yang pada umumnya disusun dalam bentuk kata-kata bersajak.
Baru tiga tahun kemudian, pada tahun 1892, keluar sebuah kamus bahasa Aceh dari
Snouck Hurgronje, dengan sistem ejaan yang lebih baik, yang diambilnya dari
sistem ejaan bahasa Perancis karena vokal-vokal bahasa tersebut memiliki banyak
persamaan dengan vokal-vokal bahasa Aceh. Karya Snouck kemudian menjadi pedoman
dalam penulisan beberapa kamus bahasa Aceh yang terbit kemudian, misalnya yang
ditulis oleh Kreemer (1931) atau oleh Djajadiningrat (1934). Akan tetapi, dalam
periode berikutnya, terutama setelah bahasa Aceh memiliki sistem ejaan
tersendiri pada tahun 1980 yang dihasilkan dari seminar bahasa Aceh di
Universitas Syiah Kuala, sistem ejaan Snouck mengalami beberapa perubahan agar
menjadi lebih sederhana, seperti huruf Arab ‘ain (ع) diganti dengan koma terbalik (‘) pada
vokal sengau, huruf hamzah (۶) diganti dengan tanda petik (‘), serta tanda
trema di atas huruf e (ë) dihilangkan. Perubahan itu telah mempengaruhi
sistem penulisan kamus yang terbit berikutnya, misalnya Kamus Aceh
Indonesia oleh Aboe Bakar dkk. pada tahun 1985.
\
Berkaitan dengan
sistem penulisan ejaan bahasa Aceh tadi, ada perkembangan menarik yang terjadi
di dalam masyarakat pada saat ini. Dalam sebuah lokakarya Asyik (1992)
mengemukakan bahwa sejak sistem ejaan bahasa Aceh lahir pada tahun 1980, para
penulis bahasa Aceh terbagi ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah para
peneliti dan penulis buku pelajaran bahasa Aceh, yang dengan setia dalam setiap
tulisan mereka selalu menggunakan sistem ejaan tahun 1980 itu. Di pihak lain,
golongan kedua adalah masyarakat umum, seperti penulis di surat kabar, majalah,
penggubah lagu, atau penulis hikayat, yang tidak mau menggunakan tanda-tanda
aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi, misalnya
antara kéh ‘kantong’ [keh] dan kèh ‘korek api’ [kɛh], antara le ‘banyak’ [lə] dan lé ‘oleh’ [le], antara boh
‘buah’ [bɔh], bôh ‘isikan’
[boh], dan böh ‘buang’ [bʌh].
Alasan mereka adalah tanda-tanda seperti itu tidak praktis, tidak ada dalam
mesin tik, dan membingungkan mereka.
Atas dasar
keadaan demikian dalam masyarakat, Asyik lalu mengusulkan sebuah versi ejaan
bahasa Aceh dengan menghilangkan saja semua tanda di atas vokal-vokal itu. Di
samping itu, beliau juga mengoreksi beberapa kekeliruan sistem ejaan tahun
1980, seperti penulisan huruf b dalam rab ‘dekat’, tob
‘tikam’, yang semestinya adalah rap dan top karena tidak ada
fonem /b/ di akhir kata-kata asli bahasa Aceh, serta penggabungan beu
dan meu dalam beutoe ‘dekatkanlah’, meukön ‘jika bukan’,
yang seharusnya ditulis terpisah menjadi beu toe dan meu kön
karena beu dan meu pada contoh-contoh itu adalah kata, bukan
prefiks.
Akan tetapi, usul Asyik kurang mendapat
tanggapan masyarakat. Para peneliti dan penulis buku bahasa Aceh yang belum
mendapat pengetahuan linguistik secara memadai masih tetap menggunakan huruf b
pada akhir kata-kata asli bahasa Aceh, misalnya gob ‘orang lain’, cob
‘menjahit’, grôb ‘melompat’. Mereka juga tidak memisahkan bentuk
desideratif beu dengan kata berikutnya, misalnya beujra ‘biar
jera’, beumaté ‘sampai mati’, yang seharusnya ditulis beu jra dan
beu maté, serta tidak membedakan antara meu sebagai kata, yang
ditulis terpisah dari kata berikutnya, misalnya dalam meu h’an ‘jika
tidak’, yang mereka tulis meuh’an, dengan meu- sebagai sebuah
prefiks, yang memang harus ditulis gabung, misalnya meuakai ‘berakal’.
Hal lain adalah
tanda-tanda di atas vokal. Masyarakat umum memang tidak menggunakan tanda-tanda
itu, tetapi mereka secara tidak konsisten menulis huruf-huruf lain sebagai
pengganti tanda-tanda tadi. Sebagaimana dikemukakan Djunaidi (2000), vokal é
seperti dalam maté ‘mati’ ditulis mate atau matee, vokal è
seperti dalam hèk ‘letih’ ditulis hek atau heek, vokal ö
seperti dalam böh ‘buang’ ditulis boh, boeh, atau bouh,
serta vokal ô seperti dalam lôn ‘saya’ ditulis lon, loen,
atau loun. Untuk itu, Djunaidi memberikan tiga
catatan penting mengenai pemakaian huruf-huruf ini. Pertama, simbol huruf yang digunakan antara
penulis yang satu dan penulis yang lain ternyata berbeda-beda. Misalnya, pada
kata tôp ‘tutup’, ada yang menulis top, toep, atau toup.
Perbedaan tata penulisan itu bahkan sering dilakukan
oleh penulis yang sama dalam satu tulisannya. Misalnya, pada kata sôh
‘meninju’ mereka menulisnya sooh, tetapi pada kata bôh
‘mengisikan’ mereka menulisnya bouh, padahal dalam kedua kata itu
digunakan fonem ô yang sama. Kedua, pemunculan huruf ee oleh para penulis sebagai pengganti huruf
é akan mendapat hambatan pada kata-kata tertentu, misalnya pada kata asee
‘hasil’. Dalam bahasa Aceh ee dapat diartikan juga sebagai diftong,
misalnya dalam kayèe ‘kayu’, abèe ‘abu’, batèe ‘batu’,
sehingga kata asee dapat juga berarti ‘anjing’ karena menurut sistem
tadi kata ‘anjing’ akan ditulis menjadi asee. Ketiga, pemunculan huruf oe
sebagai pengganti ô juga akan
menghadapi tantangan untuk kata tertentu, misalnya pada taloe ‘kalah’.
Dalam bahasa Aceh oe adalah diftong, seperti dalam bloe ‘beli’, lakoe
‘suami’, kamoe ‘kami’, sehingga kata taloe ‘kalah’ dapat berarti
juga taloe ‘tali’. Ini semua menunjukkan bahwa jika memang ada keinginan
agar semua tanda aksen, sirkonfleks, dan aksen hendak dihilangkan dalam
kata-kata bahasa Aceh, perlu ditetapkan sejak sekarang sebuah sistem standar
untuk menuliskan kata-kata seperti itu supaya terdapat keseragaman, yang
merupakan bagian dari ciri sebuah bahasa, yakni bersistem.
Penelitian/penulisan tentang bahasa Aceh, antara lain, dalam
Sulaiman (1979), Asyik (1972; 1978), Djunaidi (1992; 1996), Carlson (1983),
Cowan (1948; 1974; 1981), dan Durie (1982; 1985; 1986; 1987). Semua hasil
penelitian tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bidang kajian, yaitu
fonologi dan leksikografi, morfologi dan sintaksis, serta cerita rakyat dan
naskah kuno (lihat Djunaidi 1992).
Sebagaimana bahasa Aceh, bahasa-bahasa
daerah lainnya, juga harus dapat menjadi objek pengkajian/penelitian/penulisan
secara komprehensif substansi keilmuan setiap bahasa daerah tersebut dapat
dipelajari dan dikembangkan sebagai bagian dari aset budaya bangsa. Berkaitan
dengan itu, penelitian tentang bahasa-bahasa daerah yang ada dan berkembang di
ACEH sangat urgen dilakukan, apalagi jika dikaitkan dengan politik bahasa
Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 BAB XV (Di daerah-daerah
yang memiliki bahasa sendiri, yang dipelihara oleh masyarakatnya baik-baik,
misalnya bahasa Jawa, Sunda, dan Batak, bahasa itu akan dihormati dan
dipelihara oleh negara. Bahasa itu merupakan sebagian dari kebudayaan bangsa
yang hidup).
Inventarisasi
hasil penelitian tentang bahasa Aceh sebagaimana tertera dalam tabel berikut.
No.
|
Peneliti
|
Tahun
|
Judul Penelitian
|
1.
|
Budiman Sulaiman
|
1979
|
Bahasa Aceh
|
2.
|
Abdul Gani Asyik
|
1972
|
|
3.
|
Abdul Gani Asyik
|
1978
|
Bunyi Bahasa dalam Kata Tiruan Bunyi Bahasa
Aceh
|
4.
|
Cowan
|
1948
|
|
5.
|
Cowan
|
1974
|
|
6.
|
Cowan
|
1981
|
|
7.
|
Mark Durie
|
1982
|
|
8.
|
Mark Durie
|
1985
|
|
9.
|
Mark Durie
|
1986
|
|
10.
|
Mark Durie
|
1987
|
|
11.
|
Carlson
|
1983
|
|
12.
|
Abdul Djunaidi
|
1992
|
Morfosintaksis
Bahasa Aceh: Analisis Tipologi Sintaksis
|
13.
|
Abdul Djunaidi
|
1996
|
Relasi-relasi
Gramatikal dalam Bahasa Aceh: Satu Telaah Berdasarkan Teori Tata Bahasa
Relasional
|
14.
|
Zaini Ali dkk
|
1984
|
Sistem Perulangan Bahasa Aceh
|
15.
|
M. Adnan Hanafiah dan Ibrahim Makam
|
1984
|
Struktur Bahasa Aceh
|
16.
|
Wildan
|
2002
|
Tata Bahasa Aceh
|
17.
|
Azwardi
|
2002
|
Reduplikasi Verba Bahasa Aceh
|
18.
|
Azwardi
|
2002
|
Onomatopoeia Reduplikasi Bahasa Aceh
|
19.
|
Azwardi
|
2007
|
Analisis Kesalahan Penulisan BA
|
20.
|
Armia
|
2005
|
Prefiks Verbal Bahasa Aceh
|
21.
|
Armia
|
2005
|
Pronomina Persona Bahasa Aceh
|
Posting Komentar