Home » » Fonem, Alofon, dan Grafem dalam Bahasa Aceh

Fonem, Alofon, dan Grafem dalam Bahasa Aceh

Written By Unknown on Selasa, 16 September 2014 | 11.22

Pada hakikatnya bahasa merupakan perwujudan bunyi. Bahwa dalam perkembangan kemudian manusia mengenal tulisan dilakukan untuk mendokumentasikan segala sesuatu yang dituturkan itu secara lebih mudah. Akan tetapi, karena tulisan tidak dimiliki oleh semua bahasa, meskipun tanpa hal itu manusia masih dapat berbahasa, di dalam sebuah tata bahasa telaah bunyi selalu mendasari telaah tulisan atau tata aksara. Meskipun begitu, tidak semua bunyi menjadi perhatian ahli bahasa. Ia hanya menyelidiki bunyi-bunyi yang   dihasilkan oleh alat ucap manusia yang berperan di dalam bahasa. Bunyi itu dikatakan bunyi bahasa.

    Di antara bunyi-bunyi bahasa ada yang terdengar sangat berbeda, misalnya antara [p] dan [c], dan ada pula yang terdengar sangat mirip, misalnya antara [p] dan [b]. Jika di dalamnya ada satuan bunyi bahasa yang minimal yang dapat membedakan bentuk dan arti kata, bunyi itu dikatakan sebagai fonem. Di dalam ilmu bahasa fonem ditulis di antara dua garis miring: /.../. Jadi, dalam bahasa Aceh, misalnya, /o/ dan /ɔ/ adalah dua buah fonem karena kedua bunyi itu membedakan bentuk dan arti seperti dalam contoh berikut.

        bôh ‘isikan’     -     /boh/     :     boh ‘buah’       -     /bɔh/
        sôh ‘tinju’       -     /soh/      :     soh ‘kosong’    -     /sɔh/

    Fonem terdiri atas fonem segmental dan fonem suprasegmental. Jenis fonem yang dibicarakan di atas merupakan fonem segmental karena berwujud bunyi. Di samping itu ada pula fonem-fonem di dalam bahasa yang tidak berwujud bunyi, melainkan berwujud tambahan-tambahan terhadap bunyi, misalnya tekanan untuk menyatakan bahwa suku kata tertentu pada suatu suku kata mendapat tekanan yang relatif lebih nyaring daripada suku kata lain, panjang bunyi untuk menyatakan bahwa bunyi tertentu terdengar lebih panjang daripada bunyi yang lain, serta nada untuk menyatakan bahwa vokal (pada suatu kata) tertentu terdengar lebih tinggi daripada vokal pada suku kata yang lain. Tekanan, panjang bunyi, dan nada dikatakan sebagai fonem apabila membedakan arti kata di dalam suatu bahasa. Pada bahasa Batak Toba, misalnya, tekanan merupakan fonem suprasegmental dalam kata /bóntar/ dan /bontár/ karena perbedaan tekanan antara suku kata pertama dan suku kata kedua pada kata itu telah mengakibatkan kata tersebut berbeda arti. Jika mendapat tekanan pada suku kata pertama, kata itu berarti ‘putih’, tetapi jika mendapat tekanan pada suku kata kedua, kata itu berarti ‘darah’.       

Fonem dapat mempunyai beberapa macam lafal, yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Dalam bahasa Aceh, misalnya, fonem /p/ memiliki lafal yang berbeda antara jika ia terdapat pada awal kata atau suku kata dengan jika ia terdapat pada akhir kata atau suku kata. Dalam kata /pula/ ‘tanam’ fonem /p/ dilafalkan secara lepas, artinya kedua bibir yang terkatup dibuka untuk menghasilkan bunyi, untuk kemudian diikuti oleh fonem /u/. Di pihak lain, dalam kata /kap/ ‘gigit’ fonem itu dilafalkan secara taklepas, artinya kedua bibir tertutup rapat pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam bahasa tersebut fonem /p/ mempunyai dua macam variasi bunyi. Variasi itu dikatakan alofon karena perbedaan pelafalan suatu fonem tidak mengakibatkan perbedaan arti kata. Alofon dituliskan di antara dua kurung siku: [...]. Jadi, fonem /p/ yang diucapkan secara lepas ditandai menjadi [p], sedangkan fonem /p/ yang diucapkan secara taklepas ditandai menjadi [p>].

    Akhirnya, fonem perlu dibedakan dengan grafem. Fonem berkaitan dengan bunyi, sedangkan grafem berkaitan dengan huruf. Grafem dituliskan di antara dua kurung sudut: <...>. Kata gaki ‘kaki’, misalnya, terdiri atas empat huruf: g, a, k, i. Tiap-tiap huruf itu merupakan grafem, yakni <g>, <a>, <k>, <i>, dan tiap-tiap grafem melambangkan fonem yang berbeda, yakni /g/, /a/, /k/, /i/. Akan tetapi, persamaan representasi tertulis antara konsep-konsep itu tidak selalu mesti begitu. Banyak kata memperlihatkan bahwa huruf, grafem, dan fonem berbeda. Kata nggang ‘burung bangau’ terbentuk atas enam huruf, yakni n, g, g, a, n, g. Keenam huruf itu dilambangkan oleh tiga grafem di dalam bahasa Aceh, yakni <ngg>, <a>, <ng>, dan tiap-tiap grafem secara berturut-turut dilambangkan menjadi fonem /ŋ/, /a/, dan /ŋ/. Berdasarkan contoh ini terlihat bahwa grafem <ngg> terdiri atas tiga huruf, sedangkan grafem <ng> terdiri atas dua huruf. Grafem pertama melambangkan fonem /ŋ/, tetapi grafem kedua melambangkan fonem /ŋ/.

Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur