Home » » Becermin ke Negeri Lancang Kuning

Becermin ke Negeri Lancang Kuning

Written By Unknown on Selasa, 15 Juli 2014 | 20.14

Becermin ke Negeri Lancang Kuning
(Catatan Seminar Nasional Bahasa Indonesia di Riau)

oleh Azwardi*

 Provinsi Riau, dengan ibu kota Pekan Baru, merupakan pusat tamaddun Melayu. Kemajuan di segala bidang cukup kentara terlihat di bumi Lancang Kuning ini. Data konkret tentang segala informasi penting terkini dan terhangat yang berkaitan dengan Provinsi Riau, Kota Pekan Baru, dan sekitarnya dengan mudah dan cepat dapat kita temukan melalui portal pusat informasinya yang telah meyediakan akses informasi online secara lengkap. Selain memiliki sumber daya alam yang melimpah, provinsi ini juga kaya akan peradaban; bahasa, sastra, dan budaya. Semuanya terbina dengan sangat baik. Pada kesempatan ini saya hendak berbagi sekelumit cerita tentang sebuah kesan yang berbeda mengenai political will pemerintah di bidang pemberdayaan bahasa, sastra, dan budaya di daerah ini.
            Beberapa waktu yang lalu, tepatnya 21-23 Desember 2010, Pemda Riau mengundang pakar bahasa sastra dan budaya, gubernur, rektor, ketua DPRD, kepala dinas pendidikan dari seluruh Indonesia, dan undangan lainnya dari negeri jiran. Saya termasuk salah seorang yang terundang dalam event tersebut. Rupanya, sang penguasa provinsi kaya migas itu punya hajatan besar, yakni meyelenggarakan sebuah Seminar Nasional Bahasa Indonesia. Tak tanggung-tanggung, milyaran rupiah dialokasikan untuk itu. Seluruh peserta seminar yang diundang, pembiayaannya, mulai dari tranportasi, akomodasi, dan konsumsi, serta fasilitas lain berkelas VIP; bintang lima, sepenuhnya ditanggung Pemda Riau. Sangat apresiatif untuk sebuah kegiatan yang tak banyak disukai orang ini.
            Dasar pemikiran kegitan tersebut sederhana saja. Mereka sangat apresiatif terhadap bahasa, sastra, dan budayanya. Bahasa, sastra, dan budaya merupakan jatidiri suatu bangsa. Bahasa menunjukkan bangsa, sastra melukiskan estetika, dan budaya mencerminkan etika. Kesantunan berbahasa, bersastra, dan berbudaya menentukan harmonisasi bangsa. Terlebih lagi, bahasa Melayu Riau yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia, sehingga tulisan Utamakan Bahasa Melayu dipampang di sudut-sudut strategis wilayah dan kota mereka. Dalam rumusan hasil seminar nasional tersebut, antara lain, digelindingkan kesepakatan penting bahwa bahasa Indonesia direkomendasikan menjadi bahasa Perserikatan Bangsa-Bangsa dan akan segera dibangun monumen bahasa Melayu di Riau. Luar biasa.
            Dalam seminar tersebut, antara lain, berkembang wacana bahwa karya-karya besar berbahasa Melayu justru sangat banyak tercipta di Aceh. Sastrawan besar Aceh tempo dulu berhasil menelorkan karya-karya agung yang monumental yang substansinya berbicara tentang petuah-petuah bijak yang semuanya dirangkai dengan bahasa Melayu yang mendayu-dayu, santun, dan penuh pesona makna. Tersebutlah, di antaranya, Nuruddin Arraniry dengan “Tajus Salatin”-nya, Hamzah Fansuri dengan “Syair Perahu”-nya, Syamsuddin as-Sumatrani dengan “Kitab Martabat Tujuh”-nya, dan Abdurrauf al-Singkili dengan “Miratuth Thullab”-nya. Aceh memiliki sastrawan besar yang berkarya dengan bahasa Melayu yang banyak dibandingkan dengan pemilik bahasa Melayu itu sendiri. Di Riau, yang sangat terkenal mungkin Raja Ali Haji dengan “Gurindam Dua Belas”-nya. Berdasarkan kenyataan tersebut, semestinya, Acehlah yang lebih apresiatif terhadap pembinaan, pengembangan, pelestarian tradisi baca-tulis ini.
            Ada beberapa catatan yang terpetik dari apa yang dilakukan oleh Pemda Riau tentang wujud kepeduliannya terhadap kemajuan bahasa, sastra, dan budayanya. Pertama, mereka sangat apresiatif terhadap eksistensi bahasa daerahnya, yakni bahasa Melayu Riau di samping bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Hal ini tecermin dari komunikasi nonformal mereka yang bangga dan penuh percaya diri menggunakan bahasa daerahnya. Bahkan, dalam komunikasi formal pun mereka kerap meng-insert kosakata bahasa daerahnya. Kedua, mereka sangat peduli terhadap eksistensi lembaga-lembaga daerah, seperti Lembaga Adat Melayu (LAM), Komunitas Sastra Melayu, Yayasan Tenas Effendy, dan Yayasan Sagang. Pemberdayaan lembaga-lembaga seperti itu mendapat prioritas dari pemerintah. Mereka sangat yakin dan percaya bahwa simbiosis mutualime dari kepedulian dan kemitraan harmonis ini,  buahnya adalah dari lembaga-lembaga tersebut terorbit budayawan, sastrawan, dan semiman yang dapat menjadi pihak pengekpos, pembuka akses, yang mengartikulasikan dan melestarikan kearifan-kearifan lokalnya. Ketiga, mereka menjunjung tinggi adat lokalnya. Dalam setiap momentum, bukan hanya dalam perhelatan lokal kedaerahan, melainkan dalam setiap perhelatan nasional kenegaraan pun, mulai dari para undangan, peserta, dan panitia kegitan, mereka konsisten memakai pakaian adat beratribut daerah; pakaian adat Melayu. Mereka hakkul yakim bahwa upaya pengutan kapasitas kelembagaan lembaga-lembaga derah ini berdampak sangat positif terhadap kemajuan daerah, dan ini merupakan aset besar yang sangat potensial dalam percaturan regional, nasional, dan internasional.
            Aceh juga memiliki lembaga lokal, seperti MPU, MDP, MAA, Pusbada, Pusat Kajian Melayu, dan JKMA yang juga akan berperan strategis dalam memublikasi Aceh di kancah regional, nasional, dan internasional. Masalahnya adalah belum terlihat kepedulian serius pemerintah dalam upaya pemberdayaan lembaga-lembaga tersebut secara optimal sehingga terlihat “tajinya”. Khusus dalam hal pembinaan bahasa, sastra, dan budayanya juga tak terlihat komitmen yang berarti. Tampaknya, kemauan politik belum terlihat menusuk secara serius ke jantung sektor abstrak ini. Berdasarkan kenyataan yang teramati, langit apresiasi bahasa, sastra, dan budaya di di Tanah Rencong ini masih bergayut mendung kelabu. Tidak seperti Bumi Lancang Kuning, yang praktis cerah tak berawan.
            Beberapa indikator berikut merupakan bukti kemendungkelabuan atmosfier bahasa, sastra, dan budaya kita. Satu, pada saat Aceh masih memiliki banyak uang dari berbagai donatur, Pusat Studi Bahasa Daerah (Pusbada) gagal melaksanakan Semiloka Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh tersebab tak ada anggaran. Padahal untuk suksesnya acara tersebut, hanya diperlukan uang tak sampai setengah milyar. Kegiatan ilmiah tersebut sangat mendesak demi menyatukan berbagai varian bahasa masyarakat Aceh dalam bahasa tulisnya.
            Dua, berkaitan dengan pembangkitan minat baca masyarakat, pada saat BRR NAD-Nias sedang merehap rekon Aceh pascatsunami, pernah ada pembiayaan beberapa proyek penelitian kebijakan tentang pentingnya pembangunan taman bacaan di berbagai wilayah di Aceh. Setahu saya, sampai hari ini, rekomendasi penelitian tersebut belum terealisasi satu pun. Laporan-laporan penelitian tersebut hanya menjadi bahan dan laporan satgas tertentu saat itu demi cairnya uang dari kran-kran anggaran.
            Tiga, beberapa tahun silam di Universitas Syiah Kuala telah terbentuk sebuah lembaga kajian yang diberi nama Pusat Studi Bahasa Daerah (Pusbada). Namun, sampai sekarang lembaga ini tidak dapat berbuat apa-apa tersebab tak ada alokasi dana dari pihak-pihak yang berkompeten, baik dari internal kampus maupun pemda. Yang lebih sedih lagi, sekretariatnya pun belum “membumi”; masih berjalan-jalan. Jangankan uang, kantor pun enggan diberi. Sekali lagi, tak ada yang tertarik menginfestasikan modalnya di sektor abstak ini.
            Terakhir, sebagaimana terekspos di ruang surat pembaca Serambi Indonesia Edisi 29 Desember 2010, berkaitan dengan pelaksanaan Seminar Internasional Sastra Nusantara di MPBSI PPs Unsyiah, terlihat bahwa sesama pelaku sastra belum terjalin komunikasi yang harmonis dalam membangun citra komunitas serumpun. Yang terartikulasikan malah cercaan yang bernada mendiskreditkan suatu pihak di sidang khalayak.
            Riau memang negeri yang kaya akan sumber daya alam. Sama seperti Aceh. Namun, kesadaran akan pentingnya peningkatan sumber daya manusia menjadi prioritas pembangunan. Misalnya, dalam rangka memantik minat baca, Riau telah membangun gedung perpustakaan yang sangat megah; diberi nama Perpustakaan Soeman HS (nama seorang sastrawan nasional yang berasal dari daerah itu); memiliki 300.000 koleksi buku; segala fasilitas penuh kenyamanan terdapat di gedung pencerahan publik ini.
            Selain perpustakaan, ruang-ruang publik tumbuh subur di sana. Cukup banyak penerbitan yang terbit di daerah ini, antara lain, Koran Riau, Riau Pos, Riau Terkini, Riau Today, Detik Riau, Tribun Pekan Baru, Rakyat Riau, Riau Pesisir, Media Riau, Pekan Baru Pos, Batam Pos, Tribun Batam, Harian Pos Metro, Harian Batam New, Haluan Kepri, Koran Buruh, Suara Mahasiswa, dan Batamag.
            Dari mulut ke telinga kita selalu beretorika: yang burit itu kendi, yang merah itu saga, yang baik itu budi, yang indah itu bahasa; bahasa menunjukkan bangsa; gadöh aneuk mupat jirat, gadöh adat pat tamita. Ruh ungkapan-ungkapan penuh makna seperti itu tak pernah menyusup dalam jasad tersebab adab yang terjerembab. Selorohan berkesan dari seorang teman di sana, “Jangan datang ke negeri ini, kalau tak mau kantongmu kering; jangan lancang di negeri ini, kalau tak mau dirimu kuning” patut kita renungi. Saya sudahi sajalah tulisan ini, mengingat apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta. Demikian sitiran sang pujangga Melayu, Raja Ali Haji.


*Penulis adalah dosen FKIP Unsyiah.
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur