Home » » Mendesak Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh

Mendesak Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh

Written By Unknown on Selasa, 15 Juli 2014 | 20.29

Mendesak Pembakuan Ejaan Bahasa Aceh

(Refleksi Bulan Bahasa 2008)


oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
(Dosen PBSI FKIP Unsyiah)

Dalam UUD RI ’45 tercantum bahwa bahasa daerah merupakan bagian dari aset yang perlu dipelihara dan dibina. Sebagaimana bahasa Indonesia, Bahasa Aceh (BA) juga perlu dipelihara dan dibina. Pembinaan dan pemeliharaan BA perlu dilakukan secara bertanggung jawab oleh semua pihak, khususnya masyarakat Aceh. Secara hukum keberadaan dan pemeliharaan bahasa daerah termaktup di dalam UUD RI ’45. Selanjutnya, secara operasional, bahasa daerah dikuatkan dengan penegasan fungsi dan kedudukannya sebagai khazanah budaya bangsa. Jadi, sangat beralasan masyarakat Aceh peduli terhadap pemakaian BA yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah keilmuan yang berlaku.
BA merupakan salah satu bahasa daerah di NAD. Bahasa ini digunakan secara aktif sebagai sarana komunikasi antarwarga masyarakat NAD. Sebagaimana bahasa-bahasa lain di dunia, BA juga mempunyai kaidah-kaidah tertentu, antara lain, kaidah penulisan atau pewujudan fonem yang relatif berbeda bila dibandingkan dengan kaidah penulisan bahasa-bahasa lain.
Penulisan BA di berbagai tempat, misalnya media luar ruang, media massa cetak, media massa elektronik, dan media hiburan terlihat sangat beragam. Hal tersebut mencerminkan bahwa pemakaian BA ragam tulis sangat kacau. Hal ini terjadi, antara lain, karena pengguna BA belum memiliki legitimasi pemakaian kaidah sistem tulis atau ejaan yang secara formal disepakati oleh pihak-pihak yang berkompeten dan disahkan oleh pemerintah untuk selanjutnya digunakan oleh seluruh masyarakat pemakai BA secara konsisten. Dengan perkataan lain, pengguna BA, secara tegas, merasa belum memiliki pedoman baku mengenai kaidah ejaannya (meskipun sebenarnya sudah ada kaidah ejaan yang dihasilkan dalam Seminar Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Aceh tahun 1980 yang penyempurnaannya dilakukan oleh tim dari Universitas Syiah Kuala pada tahun 1979).
Dalam kenyataan penggunaan BA sehari-hari, khususnya bahasa tulis pada media luar ruang dan media massa sering kita jumpai pemakaian BA yang salah atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa tersebut. Cermati dan bandingkan pemakaian BA dalam konteks berikut (data salah dan data benar)!

No.
Salah
Benar
1.        
Bedoh Beurata, Makmu Sejahtera
Beudöh Beurata, Makmu Sijahtra
2.        
Neu Cuba Rasa
Neucuba Rasa
3.        
Krue seumangat Persiraja!
Kru seumangat Persiraja!
4.        
Wareèh
Waréh
5.        
Wareeh Wartel
Wartel Waréh
6.        
Angel Springbed
Rasakan lumpoé  nyang goét
Angel Springbed
Rasakan lumpoe nyang göt
7.        
Neu periksa yooh goh lom neu bloëi
Neuparéksa yôh goh neubloe
8.        
Launching Balee Raihan
Launching Balè Raihan
9.        
Rincoeng Meupucoek
Rincông Meupucôk
10.    
Aceh mulia sabee roe darah
Aceh mulia sabé rô darah
11.    
Saleum Group
Saleuem Group
12.    
BEUTAGALAK KEUTEUMPAT NYANG GLEH
JAGA HAI WAREH BEUCEUDAH LINGKA
BEUTAGALAK KEU TEUMPAT NYANG GLÉH
JAGA HAI WARÉH BEUCEUDAH LINGKA
13.    
PT PINTOE ACEH
PT PINTÔ ACEH
14.    
NA ATA DROE
KEUPEUI ATA GOB
NA ATA DROE
KEUPEUE ATA GOB
15.    
Jaringan Udeep Beusaree
gampoeng loen sayang
Jaringan Udép Beusaré
gampông lôn sayang
16.    
Nanggroe Aceh Seuramo Meukah
Hase Meulimpah Laot Dengon Glee
Nanggroe Aceh Seuramoe Meukah
Hasé Meulimpah Laôt Deungön Glé
17.    
Takzim keu guree meuteumeu ijazah
Takzim keu neubah meuteumeu hareuta
Takzim keu nabi meuteumeu syafaat
Takzim keu Allah meuteumeu syuruga
Takzim keu gurèe meuteumèe ijazah
Takzim keu nangmbah meuteumèe areuta
Takzim keu Nabi meuteumèe syafa’at
Takzim keu Allah meuteumèe syuruga
18.    
Meunyoe geumpa rayeuk plung laju ke teumpat yang manyang, bek to laôt
Meunyo geumpa rayek plueng laju bak teumpat nyang manyang, bèk toe laôt
19.    
rout plung ie beuna
röt plueng watèe ie beuna
20.    
brouh lam peukan bek lee ta pupoe
lam toeng tapasoe bak bineh jalan
oh uroe beungoh di cok lee moto
lueng jih hana dhoe ilee ie keuncang
brôh lam peukan bèk tapupö
lam tông
tapeuduek bak binéh jalan
’oh beungöh uroe jicok moto
lueng hana dhoe
ie jilé bagah
21.    
Bek tuwoe neupeu udep lampu honda
Bèk tuwö neupeu-udép lampu honda
22.    
Bengkel las Beudoh Beusaree
Bengkel las Beudöh Beusaré
23.    
Rumah Makan Ujông Batéé
Rumah Makan Ujông Batèe
24.    
Rangkang Ie Teube
Rangkang Ie Teubèe
25.    
Gampng Gleeh
Tanyoe Sehat
Gampng Gléh
Tanyoe Sihat
26.    
Grand Nanggroe Hotel
Hotel Grand Nanggroe
27.    
Cafe Ulee Kareng
Cafe Ulè Karéng
28.    
Jalan Inoeng Bale
Jalan Inöng Balèe
29.    
tuhoe
tuho
30.    
ASOE LHOK
ASOE LHÔK
31.    
SAWEU GAMPONG
SAWEUE GAMPÔNG
32.    
Hihayat Duek Pakat
Lee
Herman RN
Hihayat Duek Pakat
Herman RN

Jika diperhatikan secara saksama, dalam konteks tersebut terdapat banyak kesalahan, khususnya kesalahan penulisan. Penentuan salah-benar dalam kajian ini didasari atas kaidah normatif BA yang telah disepakati oleh ahli BA, yaitu merujuk kepada ejaan yang dihasilkan dalam Seminar Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Aceh tahun 1980 dan karya Asyik (1987). Sisten ejaan BA standar yang digunakan saat ini merupakan penyempurnaan dari ejaan lama yang disusun oleh tim dari Universitas Syiah Kuala pada tahun 1979.
Berdasarkan data yang teramati, kesalahan dominan terjadi pada penulisan kata dan huruf atau ortografi. Penulis tidak bisa membedakan secara tegas tanda-tanda diakritik dalam BA, yaitu grave (è), aigu (é), trema (ö), dan makron (ô). Kemudian, juga terdapat kesalahan penulisan persesuaian kata ganti orang. Selain itu, kesalahan juga terjadi akibat pencampuran penggunaan struktur bahasa Inggris dalam BA. Selain itu, kesalahan juga sering terjadi akibat penerjemahan bahasa secara tekstual, padahal secara teori kebahasaan bahasa tidak boleh diterjemahkan secara tekstual, tetapi harus diterjemahkan secara kontekstual (dipadankan). Hal tersebut perlu dilakukan sehingga kekakuan hasil terjemahan dapat dihindari.
Tiga tahun pascatsunami di Provinsi NAD telah terjadi perbauran budaya dan bahasa. Perbauran budaya dan bahasa, khususnya bahasa Inggris, tidak dapat dibendung. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari tingginya solidaritas dan mobilitas masyarakat, baik nasional maupun internasional dalam upaya rehab-rekon Aceh. Secara kebahasaan, akibat dari kondisi seperti itu, akhir-akhir ini penulisan BA pada media massa, khususnya media luar ruang cenderung mengebaikan kaidah bahasa yang baik dan benar.
Kesalahan berbahasa dapat terjadi pada bahasa ragam lisan dan ragam tulis. Kesalahan pada bahasa ragam tulis bersifat permanen. Akibatnya, kesalahan yang terjadi pada ragam tulis dapat memberi dampak negatif yang lebih luas dan lebih permanen. Pembaca akan meniru tulisan yang dibacanya, menjadi skemata, dan menulis pada tempat dan waktu yang lain. Kesalahan itu akan terus berulang jika tidak mendapat perhatian dan perbaikan yang semestinya. Oleh karena itu, kesalahan ragam tulis perlu segera ditanggapi dan diatasi.
Pihak-pihak yang berkompeten membina dan mengembangkan bahasa, seperti Balai Bahasa Banda Aceh, hendaknya memiliki program kerja rutin mengidentifikasi, mengakamodasi, dan menindaklanjuti segala permasalahan yang terjadi menyangkut dengan pemakaian BA oleh masyarakat. Kemudian, pelajaran BA sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal di Provinsi NAD hendaknya mendapat perhatian yang serius dari Dinas Pendidikan, baik terkait dengan penyediaan tenaga pengajar yang profesional maupun peyediaan buku-buku paket yang standar. Selain itu, siapa saja anggota masyarakat yang ingin menggunakan BA, khususnya BA ragam tulis hendaknya berkonsultasi dengan ahli BA.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan BA ragam tulis semakin mendapat tempat di kalangan masyarakat meskipun dalam penggunaannya terdapat banyak permasalahan. Sejak tahun 70-an, di wilayah yang dominan penutur BA,  BA sudah menjadi salah satu mata pelajaran yang diajarkan di SMP sebagai mata pelajaran muatan lokal. Kini, bahkan BA sudah diajarkan mulai SD sampai dengan SMP.
Permasalahan utama yang dialami oleh para guru dalam pembelajaran BA adalah tidak tersedia buku ajar yang representatif. Buku buku yang dipakai terpaku pada buku usang yang boleh dikatakan sudah “out update). Selebihnya ada beberapa buku yang penerapan kaidah ejaannya berbeda-beda antara buku yang satu dan buku lainnya.
BA  ragam tulis hingga saat ini masih ‘berbalut’ masalah, terutama menyangkut sistem penulisan.  Hal ini disebabkan belum adanya ejaan BA yang baku yang dapat menjadi acuan bagi para penulis BA. Pembakuan tersebut menjadi penting, antara lain, ketika para penulis dihadapkan pada kenyataan penulisan kata yang sama dengan makna yang jauh berbeda, semisal [kéh] ‘kantong’ dan [kèh] ‘korek api’, [lé] ‘oleh’ dan [le] ‘banyak’. Cara yang umum ditempuh oleh para penulis untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memberikan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi (Djunaidi, 2004:7). Namun, cara tersebut tetap merupakan masalah tersendiri. Para penulis beralasan bahwa penggunaan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal tidak praktis, tidak ada dalam mesin tik, dan membingungkan. Dalam sebuah lokakarya, Asyik (1992) mengemukakan bahwa sejak ejaan BA lahir pada tahun 1980, para penulis BA mulai terbagi ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah penulis buku pelajaran BA, yang dengan setia selalu menulis dengan sistem ejaan tahun 1980. Di pihak lain, golongan kedua adalah masyarakat umum, seperti penulis di surat kabar, majalah, penggubah lagu, atau penulis hikayat, yang tidak mau menggunakan tanda aksen, sirkonfleks, dan umlaut di atas vokal untuk membedakan bunyi-bunyi.
Ada dua catatan penting yang dapat dikemukakan berkaitan dengan pemakaian huruf-huruf di atas vokal. Catatan pertama adalah simbol huruf antara penulis yang satu dan penulis yang lain sering tidak sama dan bahkan ketidaksamaan kadang-kadang terdapat dalam satu tulisan. Hal ini tidak dapat dibiarkan karena salah satu ciri bahasa adalah mempunyai sistem. Catatan kedua adalah ada beberapa huruf yang ditampilkan itu dapat melahirkan kritik. Huruf ee sebagai pengganti huruf é dapat menuai kritik pada kata tertentu, misalnya asee ‘hasil’. Dalam bahasa Aceh ee dapat diartikan juga sebagai diftong, misalnya dalam kayèe ‘kayu’, abèe ‘abu’, batèe ‘batu’, sehingga kata asee dapat juga berarti ‘anjing’ karena dalam sistem tadi, kata ‘anjing’ akan ditulis asee. Demikian pula, huruf oe sebagai pengganti ô juga akan menghadapi tantangan pada kata tertentu, misalnya taloe ‘kalah’. Dalam bahasa Aceh oe adalah diftong, seperti dalam bloe ‘beli’, lakoe ‘suami’, kamoe ‘kami’, sehingga kata taloe ‘kalah’ dapat pula berarti taloe ‘tali’.
Kenyataan di atas memperlihatkan bahwa pembakuan ejaan BA sudah sangat mendesak. Pembakuan tersebut sangat diperlukan untuk, antara lain, (1) adanya suatu keseragaman dalam tata tulis BA, (2) adanya suatu rujukan yang menjadi acuan bagi para penulis BA, dan (3) mengkongkretkan BA sebagai bahasa yang bersistem. Oleh karena itu, pertemuan para tokoh masyarakat, instansi terkait, penentu kebijakan, dan para pakar bahasa, khususnya pakar BA, dalam suatu forum resmi untuk menghasilkan putusan bersama menyangkut pembakuan ejaan BA sepatutnya dapat  segera dilaksanakan. Pusat Studi Bahasa Daerah (Pusbada) Universitas Syiah Kuala telah menggagas dan sedang memprakarsai rencana pembakuan ejaan BA dalam sebuah pertemuan ilmiah (semiloka). Untuk itu, perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, khususnya pemerintahan Aceh.
Tujuan utama semiloka tersebut adalah sebagai berikut: (1) menghimpun berbagai pendapat dari berbagai kalangan tentang BA dan pemakaiannya sehingga diperoleh gambaran yang representatif tentang BA, (2) memaparkan kondisi terkini pemakaian BA ragam tulis oleh berbagai kalangan yang memperlihatkan adanya keragaman dalam penerapan ejaan BA sehingga diperlukan adanya kesamaan pendapat para ahli BA tentang pentingnya ragam tulis BA yang baku yang dapat menjadi acuan bagi para pemakai BA, khususnya dalam dalam berkomunikasi secara tulis; (3) melalui berbagai sudut tinjauan, tim perumus lokakarya dapat menghasilkan keputusan bersama tentang ejaan BA baku sebagai pedoman bagi masyarakat dalam pemakaian BA ragam tulis, dan (4) memperkokoh identitas BA sebagai sarana komunikasi masyarakat Aceh yang bersistem.

Berkaitan dengan hal itu, semiloka tersebut dapat melahirkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Aceh, Keputusan Bersama tentang Ejaan Bahasa Aceh Baku dalam lembaran resmi Pemerintah Aceh, qanun tentang kebijakan (policy) bahasa dan sastra daerah agar semua pihak terikat untuk melaksanakan kebijakan tersebut, dan masukan utama bagi penentu kebijakan di NAD untuk menyelenggarakan kongres bahasa daerah.
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur