Home » » Gurèe Acuh

Gurèe Acuh

Written By Unknown on Selasa, 15 Juli 2014 | 20.31

Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita tentang peringkat korupsi Aceh yang berada di urutan 2, kini berita miris tersorot lagi ke Aceh. Kali ini tamparan berat kembali menimpa pipi guru Aceh. Betapa tidak, berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) Aceh dikabarkan bahwa kualitas gurunya berada meuliplip pada peringkat 28 nasional. Hal tersebut berbanding lurus dengan kemampuan asuhannya. Kemampuan lulusan SMA/SMK/MA menembus PTN bertengger pada urutan 31 untuk jurusan IPA dan 25 untuk jurusan IPS (Serambi Indonesia, Rabu, 17 Oktober 2012).

Sudah terlalu sering tersiar ke ruang publik opini tentang buramnya kualitas guru Aceh. Opini tersebut, antara lain, Guru “Jadi-jadian” Zamzami (Serambi Indonesia Sabtu, 31 Juli 2010) yang membentangkan senarai komparasi guru dulu dan guru kini. Zamzami menggarisbawahi bahwa citra dan wibawa guru tidak mencerminkan kharisma pengajar yang sekaligus pendidik yang teladan. Selain itu, beliau menambahkan bahwa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) seperti Tarbiyah dan FKIP hanya mampu mencetak sarjana pendidikan yang bisa mengajar, tak berdaya mendidik. Kemudian, Guru, Ayo Hijrahlah! Muhibuddin Hanafiah (Serambi Indonesia Selasa, 27 November 2012) yang menyitir fenomena kezumutan pola pikir guru (tidak peduli atau acuh terhadap pengembangan profesinya). Ironisnya, meskipun tingkat kesejahteraan guru kini telah ter-up-grade secara signifikan, kompetensi, performansi, dan dedikasinya tetap seperti biasa (lage söt).

“Dengan anggaran pendidikan yang tidak kurang dari Rp900.000.000.000,00 (sembilan ratus milyar rupiah) hingga Rp1.000.000.000.000,00 (satu trilyun rupiah) per tahun, seharusnya mutu pendidikan Aceh layak berada di peringkat 10 nasional”, demikian ungkap Gubernur Aceh, Zaini Abdullah. Beliau menjanjikan bahwa ke depan tugas dinas pendidikan tidak boleh lagi mengurus proyek fisik, tetapi harus fokus pada peningkatan mutu. Dengan demikian, kualitas guru dan daya saing siswa (lulusan) dapat ditingkatkan dengan signifikan. Selama ini, disinyalir bahwa orang-orang yang terlibat sebagai pelaku dalam penentuan kabijakan pendidikan, mulai dari pihak dinas pendidikan sampai dengan pengelola sekolah lebih tertarik kepada proyek-proyek fisik, seperti pembangunan ruang kelas baru, musalla sekolah, dan pagar karena di sana ada tetesan fee.

Apakah benar kondisi guru di Aceh kini sudah seprihatin itu? Berdasarkan data yang terimput selama saya terlibat dalam panitia dan fasilitator sertifikasi di Rayon 1 Universitas Syiah Kuala sejak 2007 ditambah dengan beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh temam-teman di FKIP Unsyiah, ada beberapa cacatan miris yang dapat saya dadarkan di sini. Pertama, tampaknya standar kualitas guru kita sudah stagnan di standar kualitas minimal. Tahun 2012, nilai Uji Kemampuan Awal (UKA) calon peserta Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) rata-rata 30. Lebih tiga ribu guru terdepak dari rekrutmen calon peserta PLPG tersebut karena nilainya di bawah 30 (data Konsorsium Sertifikasi Guru Kemdikbud, Jakarta 2012).
Mereka yang lolos ke PLPG selanjutnya memperoleh pelatihan selama sembilan hari ful. Selama sembilan hari itu mereka didril berbagai kompetensi yang berkaitan dengan guru profesional. Mereka memperoleh up-dating dan up-grading wawasan kependidikan dan keguruan dari para ahli. Mulai dari workshop penyusunan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sampai dengan peerteaching (praktik mengajar) terus direview dan dievaluasi oleh para profesor, doktor, dan master silih berganti. Meskipun demikian, celakanya, ketika diuji kemampuan akhirnya, nilai mereka juga belum bergerak dari UKA. Panitia harus memanggil peserta sampai tiga kali untuk mengikuti ulang ujian akhir. Ini sebuah potret buram guru yang sedang berupaya meraih sertifikat pendidik untuk dapat disebut guru profesional. Meskipun demikian, kepada mereka ini tidak begitu urgen untuk dipersoalkan berlebihan karena mereka ini belum menikmati manisnya tunjangan sertifikasi guru yang besarnya sangat fantastis itu. Sesungguhnya yang patut dipermasalahkan adalah para guru yang telah dijustifikasi dan dinyatakan sebagai guru profesional yang ketika di-UKG-kan justru terindikasi bahwa mereka sangat tidak profesional. Guyuran anggaran pendidikan Aceh sebesar lebih kurang satu trilyun per tahun terlalu mahal untuk urutan prestasi 28 nasional.

Berdasarkan penelitian yang saya lakukan berkaitan dengan dampak sertifikasi guru, ada beberapa hal penting yang perlu juga saya kemukakan di sini. Pertama, meskipun telah ditambahkan pendapatannya dengan sangat signifikan setiap bulan, minat guru dalam meng-up-date dan meng-up-grade kompetensinya masih relatif rendah. Mereka enggan mengalokasikan sebagian dari tunjangannya itu untuk pengadaan berbagai sarana penunjang dan referensi yang berkaitan dengan pengembangan profesinya. Meskipun berkiprah di zaman modern, mereka belum dapat dikatakan sudah melek teknologi. Sedikit sekali guru yang tertarik memiliki komputer/notbook/labtop, padahal mereka berkewajiban memanfaatkan teknologi informasi (TI) untuk menunjuang perencanaan dan pelaksanaan pembelajarannya. Selain itu, sebagian besar guru juga tidak memiliki akun e-mail, akun facebook, dan akun twitter, padahal media-media komunikasi tersebut merupakan wadah sharing berbagai informasi yang secara signifikan akan berdampak pada akselerasi informasi dan memperkaya wawasan. Bagi mereka, ruang akses informasi yang kini kian terbuka lebar tersebut menjadi sia-sia belaka, padahal Presiden SBY telah mengintruksikan kepada semua aparatur negara untuk aktif di jejaring sosial. Boleh dikatakan bahwa, meskipun sudah dinyatakan secara eksplisit bahwa mereka adalah guru profesional, mereka belum pantas disebut guru profesional. Tidak ada peningkatan minat beli buku, minat beli komputer/notbook/laptop, minat baca buku, dan searching berbagai informasi di dunia maya. Buktinya, mereka tetap tidak berkarya ilmiah. Bahkan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang saban hari mengajar keterampilan menulis pun, misalnya, tetap sedikit sekali yang berkarya tulis. Bukankah memiliki karya tulis berkorelasi dengan minat baca, minat baca berkorelasi dengan minat beli buku, minat beli buku berkorelasi dengan semangat profesionalme. Semangat inilah yang sampai kini belum mekar meskipun sudah tergolong ke dalam barisan guru profesional atau guru bersertifikat.

Di sisi lain, meskipun sudah ditambah pendapatannya secara signifikan setiap bulan, mereka tetap berotasi pada kebiasaan-kebiasaan lama; mencari tambahan atau mencari komisi, seperti membuat kue untuk dititip jual di kantin sekolah/warung, nyambi bersawah di sela-sela jam kerja, atau menjadi makelar atau agen tanah atau kendaraan bermotor. Waktu luang yang dimiliki tidak dimanfaatkan untuk membaca berbagai literasi, memperluas wawasan, dan mempertajam kajian. Makanya, sangat jarang ditemukan guru yang memiliki perpustakaan pribadi yang mengoleksi berbagai referensi, khususnya yang berkaitan dengan profesinya, seperti kependidikan, keguruan, kebahasaan, kesastraan, serta keagamaan dan umum, padahal ini menjadi salah satu indikator bahwa yang bersangkutan adalah guru profesional. Uang yang dikucurkan pemerintah itu malah dialokasikan untuk hal-hal yang konsumtif; membayar beberapa tagihan kredit yang dipaksakan; peunyaket tabloe utang tapeuna, buku tak terbaca, waktu tersita untuk memelototi berbagai siaran televisi.

Dalam pada itu, solusi yang harus dilakukan agar guru yang telah dinyatakan sebagai guru profesional menjadi benar-benar profesional, antara lain, adalah sebagai berikut. Pertama, guru tertarik membangun perpustakaan mini di rumahnya. Setiap bulan guru rela menyisihkan minimal 10% dari penghasilannya untuk membeli masing-masing satu buku yang berhubungan dengan empat kompetensi (misalnya, satu buku yang berkaitan dengan kependidikan, satu buku yang berkaitan dengan keguruan (kompetensi pedagogik), satu buku yang berkaitan dengan bidang studi (kompetensi profesional), dan satu buku yang berkaitan dengan bidang keagamaan/sosial/umum (kompetensi kepribadian dan sosial). Kedua, guru mau mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pengadaan perangkat IT, seperti komputer/notbook/laptop beserta beberapa program aplikasi yang umum digunakan sebagai penunjang dalam aktifitas pekerjaannya. Ketiga, guru peduli terhadap peningkatan kualifikasi akademik dan pembaruan pedagogik melalui berbagai workshop serta mengaktifkan diri dalam berbagai organisasi profesi terkait, seperti KKG dan MGMP. Keempat, Pemerintan Aceh perlu membangun sebuah training center khusus untuk melatih guru secara kontinu, berkelanjutan sepanjang masa. Guru, pengawas, kepala sekolah, dan instruktur pada setiap level satuan pendidikan dipanggil secara estafet terus-menerus berulang-ulang silih berganti diberikan kesempatan untuk mengikuti seminar, lokakarya, pelatihan, dan workshop. Hal ini sangat mungkin dilakukan, seperti yang telah direncanakan Anas M. Adam (Serambi Indonesia Selasa, 29 November 2012) .

Program sertifikasi guru yang sedang digulirkan pemerintah telah membuat para guru bersertifikat tersenyum bahagia. Mereka telah memperoleh tunjangan yang sangat signifikan; penambahan pendapatan sebesar satu kali gaji pikok atau 100%. Berkaitan dengan kenyataan ini, akhir-akhir ini, calon mahasiswa ramai-ramai memilih atau menambahkan pilihannya pada pilihan colon guru. Potensi intelegensia calon pun tampak sudah lebih baik; tidak seperti beberapa tahun sebelumnya; yang diwarnai oleh boh-boh timon ceukok, dari komunitas kaum duafa pula. Artinya, LPTK tidak lagi dipandang sebagai institusi kelas dua. Berarti pula bahwa pilihan tersebut juga bukan atas dasar meuheuet, melainkan galak karena yang ditatap bukan aspek dedikasional, melainkan piranti finansial.

Sebagaimana tulis Raihan Iskandar (Serambi Indonesia Selasa, 27 November 2012), kita patut bergembira atas fenomena seperti itu. Namun, kita berharap bahwa siapa saja yang ingin menjadi mahasiswa colon guru harus memenuhi kriteria dan syarat utama, yaitu IQ, EQ, dan ESQ yang baik, dan didasari atas meuheuet. Dengan dua syarat utama itu, kelak, saat menjadi guru, yang bersangkutan dapat men-transfer knowladge dengan baik sehingga mencerdaskan anak didiknya dan mampu mengatrol moral ability. Selain itu, yang bersangkutan juga tidak berkeluh-kesah jika pendapatannya relatif rendah.

Kita semua sangat berharap agar Rp1,8 trilyun anggaran yang telah dianggarkan Pemerintah Aceh untuk tahun 2013 dapat mengeliminasi terjadinya “kiamat” di dunia pendidikan Aceh sehingga visi pendidikan Aceh untuk mewujudkan SDM berkualitas yang berdaya saing tidak menjadi mimpi belaka. Semoga rupiah sebesar itu tidak lagi “dihambur-hamburkan” sebesar-besarnya untuk membayar gaji guru atau membangun ruang kelas baru. Pokoknya guru harus bermutu, titik, bukan yang lain, karena hal itu merupakan kunci perbaikan pendidikan di Indonesia, kata Anis Baswedan, seperti dikutip Muhubuddin Hanafiah dan sebagaimana juga janji Pak Gubernur.

Dimuat di Serambi Indonesia, oleh Azwardi, Dosen FKIP Unsyiah
Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur