Home » » Alhamdulillah, BH itu Urung Dipakai

Alhamdulillah, BH itu Urung Dipakai

Written By Unknown on Kamis, 17 Juli 2014 | 09.59

Alhamdulillah, BH itu Urung Dipakai

oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
azwardani@yahoo.com
Dosen FKIP Unsyiah


        Beberapa tahun yang lalu saya pernah mendengar seorang praktisi pendidikan selevel nasional berkata, “Ke depan, hanya PT yang ber-BH-lah yang bisa eksis menyelenggarakan sistem pendidikan tinggi, yang tak ber-BH pasti kedodoran”. Beliau menambahkan, “Lihat, bagaimana kencangnya UI, ITB, dan UPI karena mereka telah ber-BH”.

        Mulanya saya bingung dengan selorohan sang praktisi itu. Ternyata beliau sedang mewacanakan perguruan tinggi yang ber-Badan Hukum (ber-BH), yang berikutnya dikenal dengan perguruan tinggi ber-BHMN (UI, ITB, IPB, UPI, UGM, UNAIR, dan USU), dan terakhir santer dengan istilah Badan Hukum Pendidikan (BHP).

        Lembaga penyelenggara pendidikan di seluruh dunia berbentuk badan hukum. Indonesia juga ingin menuju ke sana melalui jembatan BHP karena hakikat BHP adalah menghasilkan pendidikan yang bermutu di Indonesia. Ide dasarnya adalah amanat UU Sisdiknas Pasal 24, dan Pasal 50 Ayat 6, serta Pasal 51 yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi itu harus otonom, sedangkan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah itu dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ madrasah (MBS). Agar otonom dan MBS, perlu ada status hukum.

        Sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menganulir undang-undang ini, sejak masa wacana, rancangan undang-undang, sampai menjadi undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), pro dan kontra terus menggelinding. Plus minus opini terus mengemuka. Mahasiswa meradang, aksi demo pun tak terbendung. Sebagian SKS mereka telah dikonversikan ke demonstrasi, yang menurut keyakinan mereka bahwa diam saja melihat kemungkaran adalah dosa.  

  Kepada beberapa mahasiswa yang getol berdemo BHP pernah saya tanyakan tentang substansi BHP. Mereka tidak tahu, nomor dan tahun undang-undangnya saja tidak tahu. Lalu, saya tanyakan, “Mengapa kamu berdemo? “Ikut meramaikan saja, Pak”, jawabnya”. Mahasiswa mestinya kritis terhadap tindakan yang dilakukannya. Jangan gegabah mbalelo (ikut-ikutan). Bukan boleh atau tidak boleh berdemo, tetapi mesti ada kajian terlebih dahulu.

        Persoalan UU BHP sangat substansial, yaitu ideologi dan konstitusi. Sebagaimana dikemukakan Ketua Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Sutaryo bahwa UU BHP memiliki ideologi  'kongsi dagang' karena banyak mengacu kepada konsensus Washington yang ditindaklanjuti dengan persetujuan World Trade Organization (WTO) dan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Menyangkut konstitusi negara karena, menurut pakar pendidikan, Suwignyo Rahman, juga mengatur masalah alokasi anggaran yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Di dalam PP diatur bahwa partisipasi masyarakat dalam pendidikan bersifat sukarela dan tidak mengikat, sedangkan dalam UU BHP disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit sepertiga dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan menengah (Pasal 14 Ayat 4). Selanjutnya, Pasal 41 Ayat 7 menyebutkan bahwa peserta didik menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional. Berarti UU BHP menetapka pendanaan pendidikan dari masyarakat bersifat mengikat atau memaksa, bukan lagi sukarela.

        Punca permasalahan BHP sebenarnya adalah pasal krusial yang menyatakan bahwa setiap peserta didik menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Pasal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD ‘45) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu. Pernyataan bahwa setiap warga negara bertanggung jawab (ikut bertanggung jawab) atas keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan bermakna bahwa negara ingin lempar anduk dengan membebankan tanggung jawab besar kepada masyarakatnya. Hal ini dipandang tidak fair. Oleh karena itu, dalam sidang putusan uji materi, MK memutuskan bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD ‘45 secara keseluruhan. MK menyatakan bahwa UU BHP dinyatakan tidak berlaku lagi karena menimbulkan banyak masalah baru dalam dunia pendidikan dan melanggar sejumlah ketentuan dalam konstitusi. Atas ending ini, Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh, akan mereview ulang terhadap pelaksanaan UU BHP, dan menyatakan siap menjalankan keputusan MK tersebut.

        Pembatalan UU BHP, yang cikal bakalnya adalah Pasal 53 UU Nomor  20 Tahun  2003, diprediksikan membawa permasalah baru bagi sejumlah perguruan tinggi negeri yang sedang melakukan persiapan untuk menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) terhambat. Para petinggi PTN umumnya optimis terhadap prospek BHPP tersebut. Mereka memahami dan yakin bahwa UU BHP sebenarnya akan mencegah terjadinya komersialisasi pendidikan karena penghimpunan dana dari masyarakat oleh Perguruan Tingi Negeri (PTN) dibatasi. PTN hanya diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat sebesar 30%, 50% dari pemerintah, dan sisanya PTN boleh mencari sendiri, tetapi tidak boleh menarik dari masyarakat karena jika ketahuan memungut biaya melampaui ketentuan akan dikenakan sanksi administrasi.

        Dalam pada itu, pemerintah tidak pasrah begitu saja atas putusan MK. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menyatakan sudah mempersiapkan payung hukum lain setingkat peraturan menteri dalam bentuk PP sebagai pengganti UU BHP. “Kita akan tetap membuat perguruan tinggi acceptable semua kalangan masyarakat, tapi mutu tetap dijaga”, janji Wakil Mendiknas, Fasli Jalal (Serambi Indonesia, Edisi Sabtu, 10 April 2010).

        Pada prinsipnya substansi UU BHP adalah nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang mengharamkan adanya komersialisasi. Namun, siapa yang dapat menjamin. Yang terjadi malah sebaliknaya; BHPP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berintelegensia rendah untuk merebut kursi mahasiswa yang berintelegensia tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu. Program ekstensi di Fakultas Kedokteran misalnya, disinyalir telah terkomersialisasi. Bagi siapa saja yang memiliki banyak uang, meskipun intelegensianya rendah, bisa menempati kursi colon dokter itu. Akibatnya output yang tidak profesional, berdampak pada kesalahan penanganan medis (malpraktik) kerap terjadi di mana-mana. Begitu juga guru-guru yang terorbit dari program ekstensi. Bagaimana pendidikan bisa berkualitas jika sang guru dipertanyakan keprofesionalannya karena tercetak dari sistem input-proses yang tidak standar. Semestinya rekrutmen calon guru dan calon dokter harus benar-benar potensial secara intelegensia, bukan potensial secara finansial karena menyangkut langsung dengan fisik dan psikis manusia.

        Diratifikasinya WTO/GATS melalui UU Nomor 7 Tahun 1994, yang memasukkan layanan pendidikan sebagai komoditas perdagangan bebas sesuai dengan hukum pasar bebas merupakan bukti bahwa penetrasi asing secara sistematis tampak dalam UU BHP. Artinya, pihak asing pun nantinya boleh berinvestasi di ranah pendidikan hingga 49%, bahkan mungkin lebih.

        Sehubungan dengan hal itu, cermati Pasal 4 Ayat 1 berikut! Dalam pengelolaan dana secara mandiri, BHP didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa
lebih sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP,
maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali
ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan.

        Pesimis sisa hasil keuntungan dikembalikan untuk peningkatan mutu layanan. Yang terjadi adalah membagi-bagikan sisa keuntungan itu untuk meningkatan deposito pribadi. Di samping itu,  adanya kewenangan pihak sekolah untuk memungut biaya lebih besar lagi dari masyarakat, akan berakibat pada hanya kaum kaya (“peuet pha”) yang boleh sekolah, sementara kaum miskin (“dua pha”) hanya bisa pegang pena “cap buya” (cangkul). Bukankah memperoleh pendidikan yang bermutu merupakan hak setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara karena memang itu tugas negara.

        BHP diprediksi mempersempit peluang anak-anak dari kalangan ekonomi lemah untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Dalam pasal 34 Ayat 3, misalnya, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung sekurang-kurangnya dua per tiga biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik pada BHPP berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan. Selanjutnya, peserta didik dapat ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orang tua, atau pihak yang bertanggung jawab membiayai (ayat 4). Biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah atau pendidikan tinggi pada BHPP atau BHPPD sebanyak-banyaknya satu per tiga dari seluruh biaya operasional.

        Berdasarkan konteks tersebut, berarti bahwa UU BHP tidak sejalan dengan rencana strategis (renstra) Kemdiknas berkaitan dengan perluasan akses pendidikan bagi masyarakat. Jika peserta didik harus menanggung 1/3 dari seluruh biaya operasional, bagaimana halnya dengan nasib anak-anak cerdas dari kalangan tak mampu? Bagaimana masa depan negeri ini kalau dunia pendidikan hanya boleh dinikmati oleh anak-anak dari kaum kaya saja?

        Potensi terkomersialisasinya dunia pendidikan melalui BHP sudah banyak diprediksikan orang dengan berbagai dasar analisis, termasuk sinyalemen Wakil Mendiknas, Fasli Jalal, terhadap kebijakan PTN nakal selama ini. Komersialisasi pendidikan akan bermuara pada proses pengebirian talenta dan potensi peserta didik. Anak miskin potensial lagi brillian akan terdepak, sementara anak kaya bodoh lagi bengal akan melakoni peran sandiwaranya di panggung pendidikan. Dampak dari pengondisian ini apalagi kalau bukan terciptanya kejahatan yang sistemik; budaya korupsi, kolusi, nepotisme, dan manipulasi (KKNM). Mari kita beranalogi, ibarat bisnisman, setiap rupiah yang diinvesnya harus menghasilkan keuntungan. Sejumlah uang yang dikeluarkan orangtua diharap memperoleh konvensasi berupa kemudahan dalam mengincar pekerjaan atau jabatan. Konversinya, saat menjadi pegawai/karyawan atau pejabat, mereka mengalkulasikan antara rupiah yang telah dikeluarkan untuk menimba ilmu dan jaminan kesejahteraan yang akan diterimanya. Jika gaji/upah dirasakan belum cukup untuk mengembalikan modal, mereka tak segan menggerogoti apa saja dengan berbagai cara. Memang bak peng gadoh janggot, kata orang Aceh. Nauzubillahi minzalik.

        UU BHP memang merupakan amanah UU Sisdiknas (penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum). Namun, waktunya belum memungkinkan diterapkan mengingat sebagian besar rakyat Indonesia masih morat-marit ekonominya.

Selamat atas berbuahnya demo mahasiswa Indonesia.Untuk pintar kok susah, homhai.


Share this article :

Posting Komentar

Facebook
 

Bahasa Terstruktur Cermin Pikiran Teratur