Alhamdulillah,
BH itu Urung Dipakai
oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
azwardani@yahoo.com
Dosen FKIP Unsyiah
Beberapa
tahun yang lalu saya pernah mendengar seorang praktisi pendidikan selevel
nasional berkata, “Ke depan, hanya PT yang ber-BH-lah yang bisa eksis
menyelenggarakan sistem pendidikan tinggi, yang tak ber-BH pasti kedodoran”.
Beliau menambahkan, “Lihat, bagaimana kencangnya UI, ITB, dan UPI karena mereka
telah ber-BH”.
Mulanya
saya bingung dengan selorohan sang praktisi itu. Ternyata beliau sedang
mewacanakan perguruan tinggi yang ber-Badan Hukum (ber-BH), yang berikutnya
dikenal dengan perguruan tinggi ber-BHMN (UI, ITB, IPB, UPI, UGM, UNAIR, dan
USU), dan terakhir santer dengan istilah Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Lembaga
penyelenggara pendidikan di seluruh dunia berbentuk badan hukum. Indonesia juga
ingin menuju ke sana melalui jembatan BHP karena hakikat BHP adalah
menghasilkan pendidikan yang bermutu di Indonesia. Ide dasarnya adalah amanat
UU Sisdiknas Pasal 24, dan Pasal 50 Ayat 6, serta Pasal 51 yang menyebutkan bahwa
perguruan tinggi itu harus otonom,
sedangkan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
itu dilaksanakan dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/ madrasah (MBS). Agar otonom dan MBS, perlu ada status
hukum.
Sebelum
Mahkamah Konstitusi (MK) menganulir undang-undang ini, sejak masa wacana,
rancangan undang-undang, sampai menjadi undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), pro dan
kontra terus menggelinding. Plus minus opini terus mengemuka. Mahasiswa
meradang, aksi demo pun tak terbendung. Sebagian SKS mereka telah dikonversikan
ke demonstrasi, yang menurut keyakinan mereka bahwa diam saja melihat
kemungkaran adalah dosa.
Kepada beberapa mahasiswa yang getol berdemo
BHP pernah saya tanyakan tentang substansi BHP. Mereka tidak tahu, nomor dan
tahun undang-undangnya saja tidak tahu. Lalu, saya tanyakan, “Mengapa kamu
berdemo? “Ikut meramaikan saja, Pak”, jawabnya”. Mahasiswa mestinya kritis
terhadap tindakan yang dilakukannya. Jangan gegabah mbalelo (ikut-ikutan). Bukan boleh atau tidak boleh berdemo, tetapi
mesti ada kajian terlebih dahulu.
Persoalan UU BHP sangat substansial, yaitu ideologi dan konstitusi.
Sebagaimana dikemukakan Ketua Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr.
Sutaryo bahwa UU BHP memiliki ideologi
'kongsi dagang' karena banyak mengacu kepada konsensus Washington yang
ditindaklanjuti dengan persetujuan World
Trade Organization (WTO) dan General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Menyangkut konstitusi negara karena,
menurut pakar pendidikan, Suwignyo Rahman, juga mengatur masalah alokasi
anggaran yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008
tentang Pendanaan Pendidikan. Di dalam PP diatur bahwa partisipasi masyarakat dalam pendidikan bersifat sukarela dan tidak
mengikat, sedangkan dalam UU BHP disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit sepertiga
dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan menengah (Pasal 14 Ayat
4). Selanjutnya, Pasal 41 Ayat 7 menyebutkan bahwa peserta didik menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional.
Berarti UU BHP menetapka pendanaan pendidikan dari masyarakat bersifat mengikat
atau memaksa, bukan lagi sukarela.
Punca
permasalahan BHP sebenarnya adalah pasal krusial yang menyatakan bahwa setiap peserta didik menanggung
sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Pasal ini
tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD ‘45) dan UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh
pendidikan yang bermutu. Pernyataan bahwa setiap warga negara bertanggung jawab (ikut bertanggung jawab) atas
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan bermakna bahwa negara ingin
lempar anduk dengan membebankan tanggung jawab besar kepada masyarakatnya. Hal
ini dipandang tidak fair. Oleh karena
itu, dalam sidang putusan uji materi, MK memutuskan bahwa UU BHP bertentangan
dengan UUD ‘45 secara keseluruhan. MK menyatakan bahwa UU BHP dinyatakan tidak
berlaku lagi karena menimbulkan banyak masalah baru dalam dunia pendidikan dan
melanggar sejumlah ketentuan dalam konstitusi. Atas ending ini, Menteri
Pendidikan, Muhammad Nuh, akan mereview ulang terhadap pelaksanaan UU BHP, dan menyatakan
siap menjalankan keputusan MK tersebut.
Pembatalan UU BHP, yang cikal bakalnya
adalah Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003, diprediksikan membawa permasalah baru
bagi sejumlah perguruan tinggi negeri yang sedang melakukan persiapan untuk
menjadi Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) terhambat. Para petinggi PTN
umumnya optimis terhadap prospek BHPP tersebut. Mereka memahami dan yakin bahwa
UU BHP sebenarnya akan mencegah terjadinya komersialisasi pendidikan karena
penghimpunan dana dari masyarakat oleh Perguruan Tingi Negeri (PTN) dibatasi.
PTN hanya diperbolehkan menghimpun dana dari masyarakat sebesar 30%, 50% dari
pemerintah, dan sisanya PTN boleh mencari sendiri, tetapi tidak boleh menarik
dari masyarakat karena jika ketahuan memungut biaya melampaui ketentuan akan
dikenakan sanksi administrasi.
Dalam pada itu, pemerintah tidak pasrah begitu saja atas putusan MK. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menyatakan
sudah mempersiapkan payung hukum lain setingkat peraturan menteri dalam bentuk
PP sebagai pengganti UU BHP. “Kita akan tetap membuat perguruan tinggi acceptable semua kalangan masyarakat,
tapi mutu tetap dijaga”, janji Wakil Mendiknas, Fasli Jalal (Serambi Indonesia, Edisi Sabtu, 10 April 2010).
Pada prinsipnya substansi UU BHP adalah nirlaba,
akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang mengharamkan adanya
komersialisasi. Namun, siapa yang dapat menjamin. Yang terjadi malah
sebaliknaya; BHPP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk
memberi peluang bagi calon mahasiswa berintelegensia rendah untuk merebut kursi
mahasiswa yang berintelegensia tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.
Program ekstensi di Fakultas Kedokteran misalnya, disinyalir telah
terkomersialisasi. Bagi siapa saja yang memiliki banyak uang, meskipun
intelegensianya rendah, bisa menempati kursi colon dokter itu. Akibatnya output yang tidak profesional, berdampak
pada kesalahan penanganan medis (malpraktik) kerap terjadi di mana-mana. Begitu
juga guru-guru yang terorbit dari program ekstensi. Bagaimana pendidikan bisa
berkualitas jika sang guru dipertanyakan keprofesionalannya karena tercetak
dari sistem input-proses yang tidak standar. Semestinya rekrutmen calon guru
dan calon dokter harus benar-benar potensial secara intelegensia,
bukan potensial secara finansial karena menyangkut langsung dengan fisik dan
psikis manusia.
Diratifikasinya WTO/GATS melalui UU
Nomor 7 Tahun 1994, yang memasukkan layanan pendidikan sebagai komoditas
perdagangan bebas sesuai dengan hukum pasar bebas merupakan bukti bahwa penetrasi
asing secara sistematis tampak dalam UU BHP. Artinya, pihak asing pun nantinya boleh
berinvestasi di ranah pendidikan hingga 49%, bahkan mungkin lebih.
Sehubungan dengan hal itu, cermati Pasal 4 Ayat 1 berikut! Dalam
pengelolaan dana secara mandiri, BHP didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu
prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa
lebih sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP,
maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali
ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan.
lebih sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP,
maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali
ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan.
Pesimis sisa hasil keuntungan
dikembalikan untuk peningkatan mutu layanan. Yang terjadi adalah
membagi-bagikan sisa keuntungan itu untuk meningkatan deposito pribadi. Di
samping itu, adanya kewenangan pihak
sekolah untuk memungut biaya lebih besar lagi dari masyarakat, akan berakibat
pada hanya kaum kaya (“peuet pha”)
yang boleh sekolah, sementara kaum miskin (“dua
pha”) hanya bisa pegang pena “cap
buya” (cangkul). Bukankah memperoleh pendidikan yang bermutu merupakan hak
setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh negara karena memang itu tugas
negara.
BHP diprediksi mempersempit peluang anak-anak
dari kalangan ekonomi lemah untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Dalam pasal
34 Ayat 3, misalnya, pemerintah dan
pemerintah daerah menanggung sekurang-kurangnya dua per tiga biaya pendidikan
untuk BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah untuk biaya
operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi
peserta didik pada BHPP berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai
standar nasional pendidikan. Selanjutnya, peserta didik dapat ikut menanggung
biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orang tua, atau
pihak yang bertanggung jawab membiayai (ayat 4). Biaya penyelenggaraan
pendidikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) yang ditanggung oleh seluruh
peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah atau pendidikan tinggi pada
BHPP atau BHPPD sebanyak-banyaknya satu per tiga dari seluruh biaya
operasional.
Berdasarkan konteks tersebut, berarti
bahwa UU BHP tidak sejalan dengan rencana strategis (renstra) Kemdiknas berkaitan
dengan perluasan akses pendidikan bagi masyarakat. Jika peserta didik harus
menanggung 1/3 dari seluruh biaya operasional, bagaimana halnya dengan nasib
anak-anak cerdas dari kalangan tak mampu? Bagaimana masa depan negeri ini kalau
dunia pendidikan hanya boleh dinikmati oleh anak-anak dari kaum kaya saja?
Potensi
terkomersialisasinya dunia pendidikan melalui BHP sudah banyak diprediksikan
orang dengan berbagai dasar analisis, termasuk sinyalemen Wakil Mendiknas,
Fasli Jalal, terhadap kebijakan PTN nakal selama ini. Komersialisasi pendidikan
akan bermuara pada proses pengebirian talenta dan potensi peserta didik. Anak
miskin potensial lagi brillian akan terdepak, sementara anak kaya bodoh lagi bengal
akan melakoni peran sandiwaranya di panggung pendidikan. Dampak dari
pengondisian ini apalagi kalau bukan terciptanya kejahatan yang sistemik; budaya
korupsi, kolusi, nepotisme, dan manipulasi (KKNM). Mari kita beranalogi, ibarat
bisnisman, setiap rupiah yang diinvesnya harus menghasilkan keuntungan.
Sejumlah uang yang dikeluarkan orangtua diharap memperoleh konvensasi berupa
kemudahan dalam mengincar pekerjaan atau jabatan. Konversinya, saat menjadi
pegawai/karyawan atau pejabat, mereka mengalkulasikan antara rupiah yang telah
dikeluarkan untuk menimba ilmu dan jaminan kesejahteraan yang akan diterimanya.
Jika gaji/upah dirasakan belum cukup untuk mengembalikan modal, mereka tak segan
menggerogoti apa saja dengan berbagai cara. Memang bak peng gadoh janggot, kata orang Aceh. Nauzubillahi minzalik.
UU BHP memang
merupakan amanah UU Sisdiknas (penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau
masyarakat berbentuk badan hukum). Namun, waktunya belum memungkinkan
diterapkan mengingat sebagian besar rakyat Indonesia masih morat-marit
ekonominya.
Selamat atas berbuahnya demo mahasiswa Indonesia.Untuk pintar kok susah, homhai.
Posting Komentar