Karakter Binatang dalam Ungkapan Bahasa Aceh
Karya Azwardi
Bahasa Aceh (BA) merupakan salah satu bahasa daerah di Provinsi Aceh. Bahasa ini digunakan secara aktif sebagai sarana komunikasi antarwarga masyarakat Aceh. Dalam BA, sebagai penguat makna komunikasi tentang suatu konteks sering digunakan ungkapan, terutama ungkapan-ungkapan yang disandarkan tamsilannya pada berbagai referen, seperti benda-benda, manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang.
Ungkapan-ungkapan tersebut umumnya digunakan untuk mendeskripsikan keadaan, perangai, atau tindakan seseorang yang dipandang positif atau negatif, yang harus diikuti atau dijauhkan.Dalam ungkapan BA, penggunaan simbol-simbol verbal yang disandarkan tamsilannya pada referen benda-benda, manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang dimaksudkan untuk memperlancar komunikasi dan memperkuat makna suatu konteks. Tanpa menggunakan bentuk-bentuk tersebut rasanya akan mengurangi kelancaran komunikasi.
Sebagai contoh, seseorang yang berbicara mengenai profesional dan proporsional dalam bekerja tidak lupa menambahkan sebuah ungkapan untuk memperkuat tentang apa yang telah dikemukakannya. Ungkapan tersebut adalah, “Geutanyo bèk lagè bue drop daruet!” Artinya, ‘Kita jangan seperti kera menangkap belalang’. Maksudnya, dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti ini, yaitu orang yang serakah atau tamak terhadap suatu materi.
Ungkapan di atas ditujukan kepada orang yang tidak fokus terhadap suatu pekerjaan; banyak pekerjaan ditangani, namun satu pun tak ada yang selesai dikerjakan. Ibarat monyet atau kera yang sedang menangkap belalang, ditangkapnya satu belalang, dijepitnya di ketiak kiri; lalu ditangkapnya belalang kedua, dijepitnya di ketiak kanan; kemudian ditangkapnya lagi belalang ketiga dengan tangan kiri sehingga belalang pertama lepas, dan seterusnya. Monyet tersebut tetap lapar tanpa dapat memakan seekor belalang pun, padahal jika satu dapat satu dimakan, monyet tersebut sudah kenyang.
Berdasarkan teori memetik dan sosiolinguistik, bahasa (dan sastra) mencerminkan masyarakatnya. Karakter, tabiat, perangai, dan prototipe suatu bangsa, antara lain, dapat ditelusuri melalui rekaman kebahasaan atau kesastraan yang dimiliki bangsa tersebut. Rekaman tersebut merupakan kristalan pengalaman yang terjadi secara berulang-ulang sehingga terformulasi dalam rangkaian kata, frasa, klausa, atau kalimat yang secara bentuk dan makna mengikat sebuah gagasan yang memiliki nuansa makna yang sangat kuat. Rangkaian kata, frasa, klausa, atau kalimat yang sarat akan makna itu, antara lain, disebut ungkapan.
Dalam masyarakat Aceh, para penyampai pesan, baik lisan maupun tulisan sering membumbui pesan-pesannya itu dengan berbagai ungkapan yang sesuai dengan konteks pembicaraan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memantapkan pemahaman tentang apa yang disampaikannya. Sebagai penguat rasa atau makna komunikasi tentang suatu konteks sering digunakan ungkapan yang relevan, sebagai “bumbu penyedap”, terutama ungkapan-ungkapan yang disandarkan tamsilannya pada berbagai referen, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia, dan benda-benda alam lainnya. Ungkapan-ungkapan tersebut umumnya digunakan untuk mendeskripsikan, menganalogikan, dan mengumpamakan karakter, tabiat atau perangai Perhatikan dua contoh berikut ini!
(1) lagè leumo tapeutengoh lam mon (seperti lembu diangkat dari sumur)
Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak tahu berterima kasih, tak bisa membalas budi. Dalam konteks kehidupan terdapat manusia yang ditamsilkan seperti ini, yaitu tidak berterima kasih atas jasa-jasa yang diberikan orang lain kepadanya. Ibarat seekor lembu yang terperosok terjatuh ke dalam sumur, lalu diangkat oleh orang ke permukaan, dan selamatlah ia. Ketika sudah kokoh berdiri, orang yang mengangkatnya dari lubang sumur tersebut diseruduknya. Orang seperti ini, dalam ungkapan bahasa Indonesia disebut “orang yang tidak tahu diuntung”. Amanat atau pesan moral yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah janganlah kita seperti kacang lupa akan kulitnya.
(2) lagè talhat kulét pisang bak takue kaméng (seperti mengikat kulit pisang di leher kambing)
Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang tidak amanah, tak dapat dipercaya. Ibarat pada leher kambing kita ikat kulit pisang, tak mungkin kambing membiarkan kulit pisang tersebut, pasti segera dimakannya. Bukankah kulit pisang merupakan makanan kambing. Diharapkan menjaga sesuatu, malah dia yang merusaknya. Berharap memelihara sesuatu, malah dia yang membinasakannya. Sama halnya ibarat kita menyuruh jaga rumah pada seorang maling, pasti rumah kita dimalinginya.
Tamsilan ini senada dengan ungkapan Aceh berikut. Taharap keu pageue keubeue lam padé; taharap keu reusôk jantông nyang thôk até. Amanat atau pesan moral yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah serahkan urusan kepada orang yang amanah, orang yang dapat menjaga dan memeliharanya.
Berdasarkan data yang teramati dapat dikatakan bahwa kesan yang tersirat dalam ungkapan bereferen binatang BA adalah bahwa orang Aceh memosisikan orang-orang yang memiliki moral tercela setara dengan binatang. Jenis binatang yang direpresentasikan sesuai dengan tingkat tabiat atau sifat cela yang dimiliki manusia tersebut. Ada kecenderungan bahwa orang Aceh agak ekstrim dalam hal penggunaan diksi dalam ungkapannya. Binatang yang dirujuk pun cenderung kepada binatang-binatang yang kurang bersahabat dengan manusia.
* Azwardi, dosen FKIP Unsyiah
Posting Komentar